“Pak Nusantara, bertahun-tahun kami mencarinya. Putri kami... hilang sejak bayi karena diculik. Saat kami tahu Narumi adalah anak kami, hati saya seakan runtuh. Tapi di saat yang sama, saya tahu... Tuhan menitipkannya pada orang yang tepat. Kami tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Bapak. Tapi hari ini, ijinkan kami menyambung silaturahmi yang pernah terputus.”
Pak Nusantara akhirnya duduk. Tangannya gemetar saat menyentuh kertas hasil tes itu. Tapi ia tak membaca—ia menatap Narumi.“Kamu... anak dari darah mereka. Tapi kamu juga tumbuh dalam rumah ini. Dalam pelukan kami. Kamu punya dua rumah, dua cinta, dan sekarang dua keluarga yang siap menjagamu.”Air mata Narumi akhirnya jatuh. Ia berlutut di hadapan Pak Nusantara dan Bu Prasasti, lalu memeluk kaki keduanya bersamaan.“Terima kasih... untuk dua kehidupan yang kalian berikan padaku. Tanpa kalian, aku bukan siapa-siapa.”Pak Bagus mendekat, meletakkan tangannya di pundak Pak NusanSuasana sekolah kembali normal, tetapi bisik-bisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu mulai menyelimuti koridor. Gosip kecil yang dulu hampir memecah Aruna dan Ezra kini kembali terdengar tetapi ada perbedaan penting: kali ini, Aruna dan Ezra lebih solid secara emosional. Di lorong utama, sekelompok siswa berbisik pelan saat Aruna lewat, menatapnya dari ujung mata. Beberapa ponsel tampak siap merekam, namun Aruna melangkah dengan kepala tegak, tatapan mantap, dan bahu tegap. Ezra menyusul di belakangnya, lengannya sengaja tidak menyentuh Aruna, namun selalu cukup dekat untuk memberikan rasa aman. Aruna berkata dalam hati, “Biarkan mereka berbicara… aku tahu kebenaran. Aku tahu Ezra ada di sisiku.” Mereka tiba di kelas, duduk di bangku yang sama seperti biasa, dan meski bisik-bisik masih terdengar, keduanya saling bertukar pandang dengan senyum tipis kode diam bahwa mereka tak terganggu oleh gosip yang mencoba mengintimidasi.
Ezra dengan suara rendah dan getir, “Aruna… kau tahu aku cuma untukmu, kan? Raska… dia hanya teman. Tapi… jujur, aku merasa cemburu. Aku merasa takut… takut kalau aku tidak cukup untukmu.”Aruna menatapnya, matanya basah tapi ada keberanian baru di sana. “Ezra… aku nggak ingin menyakiti perasaanmu. Aku… aku cuma manusia biasa. Aku punya rasa takut, punya keraguan… dan kadang aku nggak bisa mengendalikan rasa cemburu ini. Tapi aku… aku ingin kau tahu… aku masih memilihmu. Selalu.”Ezra menunduk, merasakan dada bergetar. Dia merasakan kelegaan, tapi juga rasa bersalah karena cemburunya hampir membuatnya menuduh Aruna tanpa dasar.Ezra menarik napas panjang, lalu bersuara lembut, “Aruna… aku janji. Aku akan melindungimu, walaupun dunia menentang. Tapi aku juga… akan belajar mempercayaimu, karena aku tak ingin ketakutanku merusak kita.”Aruna sedikit tersenyum, menumpahkan air mata yang tertahan, dan perlahan meraih tangan Ezra. Tangan merek
Kembang api latihan terakhir malam itu meledak di langit merah, emas, biru. Wajah Aruna sedikit terangkat, refleks menatap indahnya. Raska menoleh ke arahnya, dan sesaat waktu seperti berhenti: Aruna dengan mata basah, langit menyala di belakangnya.Raska menerka-nerka dalam hati, Dia nggak seharusnya sendirian melawan ini semua…Aruna masih duduk di samping Raska, memeluk lututnya. Hening di atap begitu hangat, hanya sesekali suara angin dan letupan kembang api latihan. Raska menyodorkan cokelat itu, senyum samar masih menghiasi wajahnya, seolah ia bisa membaca kegelisahan Aruna tanpa kata-kata.Tiba-tiba, dari tangga besi yang menurun ke atap, terdengar suara langkah tegas: “Aruna!”Aruna menoleh cepat, detak jantungnya langsung melonjak. Di ujung tangga berdiri Ezra, matanya menyala antara marah dan cemas. Ia melihat Aruna duduk dekat Raska, tangan mereka hampir bersentuhan—momen rahasia yang tak sempat ditutup oleh keduanya.
Aruna menghantam meja dengan tinjunya. Semua siswa langsung terdiam. Matanya merah, wajahnya pucat, tapi nadanya dingin. “Kalau kalian mau percaya kebohongan murahan, silakan. Tapi jangan sekali-sekali datang padaku seakan kalian lebih tahu hidupku.” Setelah itu, ia berbalik cepat, meninggalkan kelas. Di atap sekolah, ia berjongkok sendirian. Brosur itu sudah diremas hancur di tangannya. Angin sore berhembus, membawa serpihan kertas yang ia buang. Air mata akhirnya jatuh bukan karena lemah, tapi karena lelah. Aruna berujar pelan, hampir berbisik, “Aku sudah berusaha… sudah mencoba jadi lebih baik. Tapi… apa gunanya kalau semua orang tetap lihat aku seperti sampah?” Dia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Untuk pertama kali sejak lama, Aruna benar-benar merasa ingin menyerah. Langit sore menjelma keungu-unguan, bayangan bangunan panjang membelah cahaya matahari terakhir. Di sudut atap sekolah, Aruna duduk memeluk lutut. Sepatu ketsnya kotor karena debu,
Sekolah penuh warna: lampion, stan makanan, panggung musik.Café kelas Aruna laris karena pesona Aruna sebagai pelayan cosplay banyak murid cowok rela antre hanya untuk dilayani olehnya. Ezra muram sepanjang hari.Nadira sibuk di pusat informasi, dengan headset dan walkie-talkie seperti komandan perang.Raska memamerkan karya seni lukisnya, dan dengan lembut menarik Aruna untuk melihat. Ezra langsung menegangkan rahang.Seseorang menyebar foto yang tampak seperti Aruna sedang bersama “orang asing” di malam hari (hasil editan).Gosip itu menyebar cepat, menodai reputasi Aruna.Nadira yang tahu cara kerja gosip sekolah langsung bergerak mencari siapa dalangnya.Ezra menghadapi siswa yang mulai berbisik-bisik, melindungi Aruna dengan tatapan membunuh.Api unggun dinyalakan di lapangan sekolah. Semua murid berkerumun, tertawa, beberapa saling bergandeng tangan. Musik akustik mengalun pelan.Aruna duduk agak jauh, menatap nyala api yang bergoyang. Dari belakang, Ezra mendekat, menyampirkan
Ia akhirnya membuka semua isi hatinya.Nadira dengan nafas tersengal,“Sejak kecil aku dibentuk Umbra. Aku tidak tahu apa artinya memilih. Aku cuma tahu bagaimana cara taat. Dan tadi… aku sadar, untuk pertama kalinya aku ingin salah. Aku ingin salah demi kalian, bukan demi Umbra.”Suasana sunyi. Ezra menutup matanya, Aruna menggenggam tangan Nadira erat.Nadira akhirnya terisak di bahu Aruna. “Kalau kalian masih mau… izinkan aku belajar jadi manusia. Bukan pion.”Aruna mengangguk dengan lembut. Ezra tidak menjawab, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak menolak.Gudang yang jadi tempat persembunyian berubah jadi semacam “rumah sementara.”Aruna bangun lebih dulu, memasak sarapan seadanya telur orak-arik gosong setengah matang.Ezra menatap dengan alis terangkat.Ezra suara datarnya khas, “Kau yakin itu makanan? Atau bagian latihan survival?”Aruna menggertakkan gigi, “Diam dan makan. Kau masih hidup k