Dan malam itu, bunga-bunga bahagia tumbuh tak hanya untuk Kaisar dan Narumi — tapi mulai merekah di hati Senja dan Jingga juga.Suasana hangat menyelimuti pelataran tempat resepsi ketika sesi foto bersama dimulai. Latar belakang dihiasi bunga berwarna putih gading dan hijau zamrud—simbol ketulusan dan harapan baru. Narumi berdiri di samping Kaisar, tersenyum sambil menahan genangan haru yang tak henti mengalir dari matanya sejak akad.Bu Prasasti dan Pak Bagus, berdiri di sisi kiri Narumi, masing-masing memegang tangan anak perempuan yang dulu sempat hilang dari pelukan mereka. Dewa, dengan setelan abu muda, berdiri tegap di belakang mereka, meletakkan tangan di pundak Narumi sebagai tanda pengakuan dan proteksi seorang kakak.Bu Hermina dan Pak Wiyoko, meski sempat terluka oleh kenyataan bahwa Narumi bukan anak kandung mereka, kini ikut tersenyum tulus. Mereka tahu, cinta tak selalu datang dari darah—tapi dari waktu yang mereka habiskan bersama Narumi sel
“Yaaaah! Natayaaa!”“Wah, jodohmu deket, Nay!”Sorakan itu mengalir di antara tawa. Tapi di antara semua keramaian itu, hanya satu tatapan yang membuat waktu terasa melambat.Wala.Dari tepi kerumunan, ia memandang Nataya. Tidak ada senyum menggoda. Tidak juga cemburu. Hanya sebuah tatapan yang tenang... dan terbuka. Nataya menangkap tatapan itu, lalu — seperti mendapat keberanian dari bunga di tangannya — ia melangkah perlahan menghampiri.Wala menunggu.Saat mereka berdiri berhadapan, bunga itu masih di tangan Nataya. Dengan suara pelan, ia bertanya:“Kamu percaya pada tanda?”Wala menatap bunga itu, lalu mengangkat bahu ringan.“Kadang tanda cuma jadi tanda... Tapi bisa juga jadi awal.”Nataya tersenyum. Tak manis, tapi hangat.“Mau nemenin aku mulai awal itu?”Wala tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengulurkan tangan. Nataya meletakkan bunga itu di tangan Wala, lalu merek
Narumi mengangguk. “Dan sekarang, aku tahu… rumah itu bukan bangunan. Tapi kamu.”Pelataran pesta malam itu diterangi lampu temaram dan irama gamelan modern yang lembut mengalun. Semua tamu mengenakan busana elegan berwarna pastel — satu harmoni yang membingkai keindahan penyatuan dua keluarga besar.Nataya berdiri di dekat meja minuman, gelas mocktail di tangannya, matanya memandangi keramaian dengan wajah datar. Di balik senyumnya yang ditarik ringan, ada gelisah yang belum tuntas.Di kejauhan, Wala baru saja selesai berbincang dengan Pak Nusantara dan Bu Naomi. Ia mengenakan batik biru tua dengan garis emas, wajahnya tenang namun matanya menyapu pelataran, seolah mencari seseorang… atau sesuatu.Dan saat itu—Tatapan mereka bertemu.Nataya sedikit mengangkat alis, ragu apakah akan berbalik atau bertahan. Tapi langkah Wala sudah lebih dulu bergerak, mantap, tak terburu-buru. Ada jeda panjang saat keduanya berdiri berhadapan, su
Matahari pagi bersinar lembut. Langit membiru jernih, seakan turut merayakan cinta yang telah melalui badai dan ujian panjang.Narumi berdiri di balik tirai putih di ruang rias. Gaun adat modern menghiasi tubuh mungilnya, dan di lehernya… kalung peninggalan yang dulu pernah hilang. Kalung yang menjadi saksi perjalanan panjang menemukan siapa dirinya.Kaisar, mengenakan beskap gagah, menatap cermin. Napasnya dalam. Kali ini, bukan karena takut… tapi karena hatinya dipenuhi rasa syukur.Di ruang pelaminan, dua keluarga besar: Gumilar dan Dewangga, duduk berdampingan. Pak Nusantara dan Bu Naomi berada di depan. Wala pun hadir, dengan senyum tulus, meski masih menyisakan luka dalam diam.Akad nikah dimulai.“Saya nikahkan dan kawinkan putri kandung saya, Narumi Dewangga… dengan engkau, Kaisar Gumilar, dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”Suara itu menggetarkan dada semua yang hadir.“Saya terima nikahnya…”Suara
Tinggal hitungan hari menuju pernikahan Kaisar dan Narumi. Segalanya nyaris sempurna. Undangan telah dikirim, dekorasi siap ditata, dan kedua keluarga besar sibuk mempersiapkan hari sakral itu.Namun, ketenangan itu pecah di sore yang mendung.Di rumah keluarga Dewangga, suara keras dari halaman depan membuat semua orang terkejut.“KAISAR!!! AKU TIDAK AKAN BIARKAN KAU MENIKAHI WANITA ITU!!!”Suara wanita itu melengking, tajam menusuk udara. Pintu pagar didobrak oleh seorang wanita bergaun merah mencolok, wajahnya dipenuhi amarah dan air mata. Dialah Vanya — wanita yang pernah menjadi kekasih Kaisar bertahun lalu, dan belum pernah benar-benar pergi dari pikirannya.Nataya yang berada di teras langsung berdiri.“Siapa kamu?! Mau bikin malu di rumah orang?!”Vanya menepis tangan penjaga yang mencoba menahannya, berlari ke tengah halaman, dan berdiri menghadang Kaisar yang baru saja turun dari mobil bersama Narumi.“KAISAR! Kamu bilang kamu sayang aku! Kamu gak mungkin lupa! Kamu janji me
Sejenak tak ada yang bicara. Dunia seakan berhenti. Sunyi. Hening yang tidak memberi ruang bagi napas. Lalu… suara isakan pelan pecah. Bu Prasasti menutup wajahnya, menunduk dalam tangis haru yang tertahan terlalu lama. Pak Bagus mengusap bahunya, sementara matanya berkaca-kaca. Narumi masih duduk, tak bergerak. Ia tak tahu harus tertawa, menangis, atau terdiam. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dewa langsung berlutut di sampingnya, menggenggam tangannya kuat-kuat. “Kamu pulang, Narumi… kamu benar-benar pulang,” bisiknya lembut. Di sudut ruangan, Kaisar menghela napas perlahan, kemudian menatap Wala. Wala berdiri diam. Lama. Sorot matanya kosong, seolah menunggu sisa harapan untuk menguap seluruhnya. Lalu ia mengangguk pelan. Sekali. Tegas. Ia melangkah maju. Semua orang menatapnya, menunggu apa yang akan ia lakukan. Wala berhenti di depan Narumi, dan dengan suara serak ia berkata, “Kamu memang bukan darah dagingku, tapi kamu akan selalu jadi bagian dari hidupku, Narumi. Maa