“Atau korban pertama. Kita tak tahu pasti. Tapi... aku akan membantumu menemukannya.” “Kenapa kau membantu kami sekarang?” tanya Nadiya.“Karena... aku ingin menghancurkan Umbra. Dari dalam. Dan hanya kalian yang punya kunci akhir.”Lalu keheningan kembali hadir.Nadiya memandangi Dara. Wajah yang pernah jadi saingan. Pernah jadi sahabat. Dan kini... berada di antara dua sisi: pengkhianat atau penebus.“Satu kesalahan lagi, Dara... dan aku sendiri yang akan memutuskan jalurmu.”Dara tersenyum kecil.“Itu adil. Karena kau satu-satunya yang pernah aku percaya tanpa rencana.”“Kita mulai kapan?” tanya Kenzo. “Malam ini. Karena besok... Florence takkan pernah sama.”Mereka berdiri hampir bersamaan.Di tangan Nadiya, chip itu terasa seperti bara.Dan dari jendela kafe, siluet seorang pria berjubah abu-abu tampak mengamati dari kejauhan. Dia tak dikenal, tapi ada lambang seri
Setelah perjalanan emosional dari Napoli, Nadiya menerima pesan terenkripsi dalam bentuk lukisan digital—sebuah gambar siluet gadis berdiri di bawah pohon maple yang tampak seperti dirinya sendiri, tapi dengan goresan tinta bertanda D.A.Di bawahnya hanya ada satu baris pesan:"Kita sama, tapi jalur kita berbeda. Temui aku di tempat di mana bayangan tak bisa bersembunyi."— DKoordinatnya menunjuk ke Roma, di taman yang menghadap museum seni. Villa Borghese, tempat penuh ketenangan yang ironis bagi dua jiwa penuh luka.Nadiya datang lebih awal, mengenakan mantel krem dan syal biru laut yang diberikan Kenzo sebelum berpisah di stasiun Termini.Dara muncul tanpa suara. Rambutnya kini lebih pendek, wajahnya lebih tenang, tapi sorot matanya masih seperti badai yang belum selesai.Tak ada pelukan. Tak ada salam.Hanya... tatapan dua orang yang tahu bahwa satu kalimat bisa menyelamatkan atau menghancurkan."Kamu makin
Langit Genoa berwarna kelabu keperakan saat kereta Frecciarossa melaju cepat dari Florence. Dari balik jendela, Nadiya memandangi siluet pelabuhan tua yang mulai terlihat di kejauhan — tempat kisah ini akan melompat ke babak yang lebih kelam, dan mungkin... lebih jujur.Di sampingnya, Kenzo memegang sebuah map lusuh berisi arsip tua dengan inisial “L.M.” — konon, pelukis misterius yang pernah menjadi ikon avant-garde Italia, sebelum menghilang tanpa jejak. Tapi menurut informasi rahasia dari arsip galeri gelap di Tokyo, L.M. adalah mantan agen seni dari jaringan rahasia Umbra yang kabur setelah melihat hal yang tak seharusnya.Mereka tiba di penginapan kecil dekat Vicolo delle Grazie, jalan sempit berundak dengan bangunan batu tua.“Pasti di sinilah tempat terakhirnya,” bisik Nadiya sambil menatap pintu studio tertutup di ujung gang.Kenzo mengangguk. “Arsip menunjukkan, dia biasa dipanggil Maestro Ombra. Tapi sekarang orang-orang memanggilnya—pel
Florence tak hanya menyambut Nadiya dengan kemegahan arsitektur Renaisans dan aroma kopi yang kuat. Kota ini juga mempertemukannya dengan bayang-bayang yang tidak ia undang. Hari pertama program artist-in-residence, Nadiya mengenakan apron putih dan menggenggam kuas dengan tangan sedikit bergetar. Di ruang studio kaca besar, bersama seniman-seniman muda dari seluruh dunia, ia merasa kecil… tapi kuat. Lalu masuklah Agnese Bellotti, seniman senior dengan reputasi tinggi dalam komunitas seni Eropa. Berambut perak seperti kabut pagi dan bibir tajam seperti pisau palet, wanita itu mendekati kanvas Nadiya dan berkata dalam bahasa Inggris yang tajam: “Your strokes… they’re emotional. But messy. Like someone who still hasn’t resolved their past.” Nadiya hanya menatapnya, menahan reaksi. Tapi matanya menyala. Ia tahu ini bukan hanya kritik teknik. Ini penghakiman diam-diam terhadap siapa dirinya. Tak b
“Aku udah maafin semua, Kenzo. Tapi ternyata... masa laluku belum selesai maafin aku.”– NadiyaHanya seminggu setelah malam mereka saling menyelipkan surat—saling menjawab dalam sunyi yang penuh makna—cinta Kenzo dan Nadiya tampak seperti sedang tumbuh dalam damai. Namun, kedamaian itu ternyata adalah mata air yang mengalir di atas batu tajam yang selama ini tersembunyi.Malam itu, Kenzo mengantar Nadiya pulang seusai kelas tambahan fotografi. Mereka tertawa, membicarakan hal sepele, hingga Nadiya tampak melirik jam dengan gelisah.“Kenapa?” tanya Kenzo.“Jam segini... dia biasanya muncul.”“Dia?”Sebelum sempat menjawab, motor tua dengan knalpot bising berhenti mendadak di ujung jalan kecil. Dari balik helm gelapnya, seorang pria bertubuh kurus menatap tajam ke arah Nadiya. Wajah Kenzo mengeras.“Jangan bilang itu...”“Rafi,” gumam Nadiya, suaranya nyaris tak terdengar.Rafi bukan sekada
Aku sering merasa rusak. Bukan karena luka fisik, tapi karena bagian dalamku seperti pecahan kaca tajam, dingin, dan pantulan masa lalu itu… menyakitkan.Kenzo gak pernah pakai kata-kata besar. Dia gak maksa aku ngomong, gak minta aku jelaskan kenapa aku tiba-tiba diam tiga hari, atau kenapa aku nangis di kamar mandi hanya karena dengar lagu lama.Tapi entah bagaimana, dia selalu ada.Duduk. Diam. Bernapas bersamaku.Dan aku mulai menyadari…Dia mendengarkan bahkan saat aku tak berkata apa pun.Suatu sore, aku pulang lebih dulu dari terapi. Aku tahu dia pasti di taman belakang, tempat favoritnya baca komik lama.Aku buat teh lemon panas. Dia benci lemon. Tapi aku tambahkan madu karena dia selalu bilang, "yang pahit tetap bisa jadi manis kalau kita tahu caranya."Saat dia masuk ke ruang belakang, aku geser gelas itu ke arahnya tanpa berkata apa-apa.Dia hanya tersenyum kecil… lalu menatapku.“Lemon ya?”“A