Beberapa hari kemudian, Narumi menemukan sepucuk surat di atas bantalnya. Tulisan tangan kasar, tak beridentitas. Tapi kalimatnya menggetarkan:
“Untuk yang memperjuangkan darahnya dengan cinta,Aku tak akan biarkan mereka menyentuh satu helai rambut Aruna.Dunia ini sedang dikendalikan oleh tangan-tangan lama. Dan aku sudah bosan sembunyi.”— RPertemuan mereka berlangsung di reruntuhan hangar militer lama, di wilayah yang tak tercatat secara legal.Rafael kini berambut panjang, tubuh penuh bekas luka. Tapi matanya... masih menyala seperti dulu."Sudah saatnya aku membayar utang nyawa, Kaisar.""Aruna mungkin bukan anakku. Tapi dia bisa jadi obor terakhir dari dunia yang tak kita selamatkan dulu."Kaisar menggenggam tangan Rafael.“Selamat datang kembali ke dunia nyata.”Dengan Rafael, mereka mengaktifkan jaringan lama bernama "Tangan Ketiga", sebuah sisa pasukan bayangan yang dulu mengundurkan diri dari sisteBel masuk berbunyi. Aula sekolah ramai, dipenuhi siswa yang berlarian menuju kelas. Gosip tentang Aruna yang sempat “menghilang” masih belum reda. Bisikan-bisikan terdengar tiap kali ia lewat di koridor:“Katanya dia punya hubungan rahasia sama Ezra, lho.”“Eh, jangan-jangan gosip tentang dia sering keluar malam itu beneran?”“Kenapa Ezra selalu nempel sama dia sekarang? Gila, kayak bodyguard pribadi.”Aruna hanya menarik napas dalam, mencoba menahan diri agar tidak terpancing. Kini ia berusaha berjalan lebih tegak, tak lagi berlari dari bisikan. Sesekali matanya melirik Ezra yang berjalan setia di sampingnya. Tatapan dingin Ezra ke arah siswa yang berbisik sukses membuat beberapa orang buru-buru menunduk.Namun, justru itu yang memicu gosip baru.“Ezra terlalu protektif, aneh banget.”“Mereka pasti nyembunyiin sesuatu.”Aruna sempat merasa sesak, tapi setiap kali Ezra menatapnya seolah berkata tanpa suara: “aku di sini, tenang.”—A
Malam itu lebih gelap dari biasanya. Hanya lampu sorot dari gedung olahraga yang berkedip di kejauhan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah basah akibat hujan sore tadi. Aruna berdiri di tengah halaman, memeluk tubuhnya sendiri, napasnya terengah-engah. Nadira berada beberapa langkah di sampingnya, tangan masih gemetar meski mencoba menenangkan diri. Ezra berada sedikit di depan, matanya menelusuri setiap sudut, siap menghadapi ancaman yang bisa muncul dari mana saja.Suara radio samar dari dalam tas Nadira memecah keheningan: “Misi terakhir dimulai. Target: uji batas psikologis dan emosional kalian.”Aruna menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Apa maksud mereka dengan uji psikologis…?”Nadira menggigit bibirnya, menatap Aruna. “Ini tidak hanya tentang fisik… mereka tahu kelemahan kita. Mereka akan mencoba memisahkan kita.”Ezra menekankan tangan mereka bertiga. “Apa pun yang terjadi… kita harus tetap bersama. Jangan biarkan merek
Setelah semua berakhir, Aruna terengah, punggungnya menempel di dinding. Ezra menepuk bahunya, mata mereka bertemu, dan ada senyum kecil yang terselip di antara rasa lega dan kelelahan. Tidak ada kata-kata panjang cukup tatapan yang mengatakan: kita selamat lagi, bersama.Namun malamnya, ketika Aruna menulis di jurnalnya, hatinya tetap gelisah. Umbra tidak akan berhenti. Setiap langkah mereka di sekolah kini penuh pengawasan, setiap interaksi bisa saja menjadi jebakan. Tetapi ada satu hal yang ia sadari: bersama Ezra, ia tidak lagi merasa sendirian menghadapi bayangan itu.Malam itu, hujan turun lagi. Aruna menatap tetes-tetes air yang menetes di jendela kamarnya, mengingat malam sebelumnya ketika ia dan Ezra berbicara jujur di bawah hujan. Hati kecilnya berbisik, bahwa bahkan dalam ancaman, cinta mereka adalah benteng paling kuat.Malam itu, sekolah tampak sunyi. Lampu koridor berkedip lembut, angin malam masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Aru
Di kantin, saat mereka berjalan bersama, Raska muncul, mencoba menyapa Aruna. Aruna menoleh sejenak, tersenyum sopan, tapi tetap menjaga jarak. Ezra menangkap interaksi itu, hatinya sedikit panas bukan marah, tapi cemburu tipis yang kini lebih sehat, lebih manusiawi. Ia menarik tangan Aruna sebentar, sekadar menyampaikan, aku di sini. Aruna menatapnya, dan untuk pertama kalinya ia merasa lega karena perasaan mereka tidak lagi terguncang oleh bayangan masa lalu.Sore hari, latihan klub berlangsung. Aruna dan Ezra berdampingan, koordinasi mereka semakin mulus. Setiap gerakan, setiap aba-aba, bahkan senyum kecil saat salah satu dari mereka melakukan kesalahan semua terasa seperti ritual penyembuhan. Teman-teman mulai menyadari perubahan ini: ada chemistry yang stabil, kekompakan yang tidak bisa dipalsukan.Di sela latihan, Nadira mendekat, membawa berkas yang mungkin bisa memicu ketegangan lama. Namun Aruna menyambutnya dengan tenang, menatap Ezra sekilas untuk mendap
Air mata yang ditahannya akhirnya jatuh, bercampur dengan hujan di pipinya. Ia menggenggam pergelangan tangan Ezra erat-erat, seperti orang tenggelam yang baru menemukan tali penyelamat. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Aruna melepaskan pintu di belakangnya. Hujan deras terus menimpa jalan kota, tapi Aruna dan Ezra kini berdiri saling berhadapan, basah kuyup, tanpa ada lagi pintu yang memisahkan mereka dari dunia. Hanya hujan, dingin, dan malam yang menjadi saksi. Aruna menatap mata Ezra mata yang dulu membuatnya takut sekaligus merasa aman. Kini matanya penuh kekhawatiran, tapi juga kepastian. Suara hujan hampir menelan kata-kata mereka, tapi Ezra tetap memulai percakapan. “Aruna… aku nggak mau lagi kehilanganmu,” kata Ezra, suaranya berat, dipenuhi kepedihan dan ketegangan yang selama ini ia tahan. “Aku nggak peduli apa orang bilang. Aku nggak peduli gosip, tekanan sekolah, atau sisi gelap yang kamu ras
Aruna menggenggam erat tasnya. Hatinya penuh konflik.“Kalau aku masuk… semua yang kuusahakan bakal sia-sia. Tapi kalau aku pulang… aku harus hadapi semua tatapan, semua gosip, semua rasa sakit itu lagi.”Air matanya jatuh. Ia berdiri di ambang batas satu langkah bisa mengembalikannya ke jurang, satu langkah lagi bisa membawanya pulang.Saat ia hampir melangkah masuk, sebuah suara memanggil dari jauh.“Aruna!”Tubuhnya menegang. Ia berbalik dan bayangan seseorang muncul di ujung jalan, berlari ke arahnya.Hujan turun makin deras, menetes di rambut dan wajah Aruna, memburamkan pandangannya.Pintu besi di hadapannya bergetar oleh dentuman musik—seolah memanggil, menunggu hanya satu langkah untuk kembali menelannya.Penjaga pintu mengangkat alis. “Jadi, kau masuk atau tidak?”Aruna terdiam. Tangannya gemetar di gagang pintu.Suara di kepalanya makin riuh, “Masuk. Lupakan semua. Kau