Bab 1
Tono ayah dari kekasihnya Narumi pun mengambil alih mikrofon dari host di pesta ulang tahun Tryan anaknya yang ke dua puluh tahun. "Mari kita sambut tunangan Tryan, yaitu ...." Tono menjeda ucapannya dan tersenyum menatap Narumi yang berada di depan panggung, sementara dirinya berada di atas panggung bersama istri dan juga anaknya. Narumi meremas gaunnya dengan perasaan senang luar biasa, kali ini dia akan dikenalkan pada khalayak ramai di pesta ulang tahun Tryan, kekasihnya. Akhirnya penantian selama 3 tahun, mereka akan melangkah ke tahap yang lebih serius. Senyum Narumi dan juga ayah Tryan masih mengembang, lalu laki-laki paruh baya itu mengambil napas sejenak, "Marilah kita sambut tunangan anak saya, Naila Mawardi." Deg! Jantung Narumi berdetak sangat kencang saat nama yang disebut oleh Tono adalah nama sahabatnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Tono salah mengucapkan namanya? Namun, itu sangat tidak mungkin. Tono tersenyum misterius setelah memanggil nama tunangan anaknya. Senyuman Tono melambangkan senyuman mengejek. Sorot lampu pun mengarah ke bawah panggung. Salah satu anak buah Tono meminta Narumi untuk menyingkir. Karena menghalangi jalan Naila. Terpaksa Narumi pun sedikit bergeser demi membuka jalan untuk Naila. “Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa Naila?” sorot mata Narumi mengarah ke Tryan bertanya-tanya. Saat Narumi menatap Tryan, kekasihnya itu berjalan mengarah ke arahnya. Dengan senyuman lebarnya. Narumi yang masih berharap pun membalas senyuman itu. "Kamu tidak mungkin mengkhianatiku kan?" gumam Narumi dengan mengulurkan tangannya berharap Tryan menghampirinya. Tapi, tak ada yang menggenggam tangannya. Ternyata Tryan berjalan melewati Narumi begitu saja. Seperti angin tak ber KTP yang tak terlihat, itulah Narumi saat ini. Bahkan tubuhnya terdorong-dorong oleh bodyguard. Mendorong mundur sedikit keras pada Narumi. Hampir terjatuh tapi Narumi masih bisa berdiri kembali. Narumi meremas gaunnya saat melihat Tryan mengecup kening Naila. Lalu Tryan menggendong Naila ala pengantin baru untuk dibawa ke atas panggung. Karena gaun yang Naila gunakan membuatnya sulit berjalan. “Lihatlah begitu romantisnya mereka. Aku ingin kembali muda, sayang,” ucap Tono, mengkode istrinya. Saat melihat keromantisan Tryan dan Naila. Yang di kode hanya tersipu malu saja. Sampai di atas panggung, sepasang kekasih itu memberi pertunjukan yang membuat semua tamu undangan seketika heboh. Tapi tidak untuk perasaan Narumi yang sakitnya tembus ke ulu hatinya. Rasa remuk redam begitu membuat kehancuran dunianya. Airmata yang tadi tertahan dipelupuk mata. Akhirnya meluncur begitu saja tanpa permisi. Membasahi kedua pipi Narumi yang tertutupi bedak tipis. "Aku tidak percaya ini," ucap Narumi, sambil menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang dia lihat di atas panggung. “Penghianat semuanya!” serunya terendam gemuruh suara para tamu undangan yang hadir. Narumi perlahan berjalan mundur lalu berbalik membelakangi panggung. Narumi berlari pergi meninggalkan acara itu. Entah mau kemana dia? Dia hanya terus berlari, bahkan mengabaikan panggilan dari beberapa orang yang mengenalinya. Selepas Narumi berlari, di atas panggung keromantisan Tryan dan Naila semakin terlihat nyata dan jelas. Tentu saja suara gemuruh tamu undangan yang bersorak-sorai senang akan keromantisan pasangan itu. Tapi ada juga beberapa tamu undangan yang tak suka dengan adegan diatas panggung. Mereka menganggap adegan itu hanya penceritaan yang terlihat sangat lebay. Di depan lobby, ada sebuah taksi yang baru saja berhenti untuk menjemput tamu. Tapi Narumi langsung masuk taksi itu. Narumi duduk dan tertunduk, melihat ponselnya yang berisi beberapa kenangan kebersamaannya dengan Tryan. Karena terlalu fokus pada kenangan di ponselnya. Mobil taksi itu pun berjalan sesuai alamat yang ada di dalam aplikasi. Sehingga sopir itu hanya fokus pada tujuannya. Tanpa bertanya lagi pada Narumi selaku penumpang. Hingga beberapa menit selanjutnya.. “Non, sudah sampai Non,” ucap sopir itu. Ini sudah beberapa kali si sopir memberi tahu Narumi sih. Tapi baru yang ini Narumi merespon ucapan sopir itu. “Loh Pak sampai mana ini?” tanya Narumi, kebingungan dan keheranan. “Kan sudah sesuai aplikasi?” “Sebentar, sesuai aplikasi? Apa maksudnya ya, Pak? Saya kan belum menyebutkan alamat kita tuju, kok? Aplikasi?” Narumi masih belum loading atau memang kapasitas kepalanya masih terjeda. Karena kejutan tadi yang menyesakkan itu. “Non bukan Mawar kuncup?” sopir itu menyebutkan nama pemesanan taksi. “Siapa sih dia, Pak?” Dan sekarang sopir itu pun paham juga jika penumpangnya bukan yang memesan taksinya. Ting! Ting! Sopir itu pun mendapatkan orderan lagi. Setelah menekan tanda selesai karena pesan baru masuk si pemesanan yang asli mengomeli sang supir yang lama datangnya. Ceklek! Belum selesai urusan dengan sopir taksi. Tangan Narumi ditarik keluar taksi. Hingga tubuhnya terjatuh keluar dari taksi. Narumi berusaha berdiri tapi kakinya terkilir. Bahkan kakinya terinjak-injak oleh orang yang menjadi penumpang taksi selanjutnya. Narumi mencoba berdiri untuk mengambil kembali ponsel yang terjatuh setelah ditarik dari taksi. Tapi tiba-tiba ada rombongan para wanita yang turun dari sebuah mobil vans yang baru datang. Berdesakan hingga tak menjadi jika Narumi masih membungkuk untuk mengambil ponselnya. Tapi sebuah dorongan kuat. Mengakibatkan tubuh Narumi pun ikut terdorong dan tertarik hingga masuk kedalam gedung club malam itu. Narumi akan memutartabadan agar dapat balik arah untuk keluar Club. Akan tetapi dia terjebak di rombongan para wanita ini. Narumi berusaha untuk melawan arus untuk keluar tapi sayangnya tenaganya kalah dengan mereka yang akan masuk kedalam club tersebut. Hingga sampai akhirnya Narumi dan para wanita tadi bisa berada di sebuah ruangan khusus dengan ruang tunggu yang dipisahkan dengan sebuah kamar didalamnya. Ceo tampan bernama lengkap, Kaisar Gumilar. Dia berdiri di depan pintu kamar itu yang dibatasi oleh beberapa bodyguard. Lalu Kaisar melihat ke seluruh wanita yang ada di ruangan. Kaisar pun mulai membuka suaranya memberikan instruksi untuk mempermudah jalannya acara tersebut. “Baiklah dengarkan baik-baik. Silahkan nomor pertama masuk setelah saya menutup pintu ini. Masuk sesuai nomor urutan yang diberikan bodyguard saya, jangan menyela. Terakhir, kalau masih ada peserta yang berada di dalam hingga lebih dari 10 menit. Maka Nomor urutan selanjutnya langsung gugur dan otomatis audisi saya nyatakan selesai! Jadi nomor setelah itu silahkan tinggalkan ruangan ini!” Saat ini nomor pertama pun melangkah masuk kedalam kamar tersebut. Namun, tak lama dari wanita yang baru saja masuk itu kembali keluar. Dengan tangisannya juga wajah yang acak-acakan. Dan waktu terus bergulir, dari wanita nomor pertama hingga wanita sebelum Narumi semua sama saja. Semua masuk dan keluar dalam hitungan jari. Ada yang menangis dan marah-marah tak jelas. Hal itu membuat Narumi berdebar-debar, tangannya pun dingin sekali dan tremor melanda dirinya. Kini giliran Narumi yang masuk kedalam kamar tersebut. Dia menghela napasnya sebelum melangkah menuju pintu. Tangan Narumi yang dingin membuka pintu lalu melangkah masuk kedalam kamar. Satu langkah berdiri di depan pintu masuk kamar itu. Clik! Suara pintu itu terkunci otomatis. Saat melihat kedepan sana mata Narumi tercemari. Didepan sana pemandangan diluar nalar yang diciptakan oleh Kaisar. “Mendekatlah!” Saat Narum tidak ada pergerakan dari Narumi, Kaisar tersenyum sini. Kaisar langsung maju merengkuh tubuh Narumi… Cup! Ciuman pun terjadi.Aruna mulai sarapan bubur yang disiapkan Nadia dan Aurea.Tawa kecil terdengar di antara mereka, ringan tapi tulus.Namun di sela tawa itu, Aruna beberapa kali diam — matanya menerawang ke luar jendela.Bayangan Julia muncul di benaknya, dengan senyum ramah yang kini terasa menakutkan.Aruna dengan suara pelan, pada Ezra, “Ezra… aku merasa Julia belum selesai.”Ezra menatapnya serius lalu berkata, “Aku tahu. Dan aku juga nggak akan diam.”Ezra meraih tangan Aruna, menatapnya dalam-dalam.Tatapan itu bukan sekadar janji, tapi juga tekad, tekad untuk melindungi perempuan yang pernah, dan masih, menjadi rumah bagi jiwanya.Ruang rapat fakultas sore itu penuh ketegangan yang nyaris kasat mata.Di meja panjang berwarna kayu tua, duduk beberapa dosen senior, dua staf akademik, dan di ujung meja — Julia, dengan postur tegak dan senyum sopan yang nyaris sempurna.Di seberang sana, Ezra duduk dengan wajah tegang, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di bawah meja.Kertas laporan terbuk
Malam turun perlahan.Keluarga Aruna bergantian istirahat di ruang tunggu.Ezra tetap di dalam, duduk di kursi di samping ranjang Aruna, menatap wajah yang masih terpejam tapi tampak lebih tenang.Ia mengusap rambut gadis itu lembut, napasnya berat tapi penuh tekad.Ezra berbisik,“Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi. Termasuk dia.”Lampu di ruangan redup, suara hujan mulai turun di luar jendela.Dan di antara ketenangan semu itu, tangan Aruna bergerak sedikit seolah merespons suara yang begitu dikenalnya.Sinar matahari pagi menembus tirai tipis kamar rawat.Udara terasa bersih, tapi masih mengandung aroma antiseptik yang menusuk lembut.Burung-burung di luar mulai bernyanyi, kontras dengan sunyi yang masih menyelimuti ruang tempat Aruna terbaring.Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, matanya terbuka penuh jernih, sadar, dan tenang.Ia menatap langit-langit putih itu beberapa detik sebelum menoleh ke samping.Ezra ada di sana, tertidur di kursi dengan posisi memb
Air matanya jatuh seketika.Namun sebelum ia bisa membalas, kesadaran Aruna perlahan menghilang lagi diiringi suara sirine ambulans yang mendekat cepat.Suara sirene ambulans sudah berhenti, tapi gaungnya masih terasa di dada Ezra.Ia berdiri kaku di depan ruang Gawat Darurat, bajunya masih ternoda darah tipis dari pelipis Aruna saat tadi ia memeluknya di jalan.Lorong rumah sakit berbau antiseptik dan kecemasan.Lampu-lampu putih di atas kepala terasa menyilaukan, membuat waktu seolah berhenti di antara denyut langkah yang tak pernah tenang.Ezra menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat, tangan kirinya mengepal di dada.Setiap detik terasa seperti ujian yang memaksa napasnya tertahan.Ezra berkata dengan lirih, “Kamu baru saja mulai tersenyum lagi, Run… kenapa harus begini?”Langkah cepat terdengar di ujung koridor.Narumi, Kaisar, Kenzo, dan Aurea tiba dengan wajah panik.Raska dan Nadia men
Langit tampak cerah, tapi udara pagi terasa berat seolah menyimpan sesuatu yang akan pecah kapan saja. Lorong kampus ramai, penuh suara langkah dan bisik-bisik yang tak lagi tersembunyi. “Itu Aruna, kan?” “Iya, katanya gara-gara dia Kak Ezra dipanggil ke fakultas…” “Serius? Wah, kalau bener gitu, bisa gawat.” Bisikan-bisikan itu mengikuti Aruna ke mana pun ia melangkah. Setiap tatapan seolah menembus kulitnya. Bahkan beberapa teman kelompok yang dulu menyapanya kini berpura-pura sibuk, menunduk, atau menghindar. Aruna menelan ludah. Langkahnya gemetar tapi ia berusaha tegak. Suara di sekelilingnya makin lama makin jauh bukan karena reda, tapi karena pikirannya mulai kabur. Ezra duduk di depan meja Dekan Muda, rahangnya menegang. Di atas meja, ada beberapa berkas laporan “kedekatan tidak profesional” antara dirinya dan Aruna. Di sudut halaman, ada catatan kecil dari salah satu panitia… dengan nama Julia tertera sebagai pelapor tambahan. “Ezra, kamu tahu aku m
Lampu kamar redup.Hanya layar laptop yang menerangi wajah Julia, menyorot mata tajam yang penuh rencana.Di layar, terbuka beberapa jendela chat grup panitia dan dokumen laporan kegiatan.Di sudut layar, ada foto candid dari taman kampus sore tadi: Aruna berdiri bersama Ezra, tampak seperti sedang berbagi momen tenang.Julia menatap foto itu lama sekali. Bibirnya bergerak sedikit, seolah menahan sesuatu di dada yang tak bisa dijelaskan campuran iri, amarah, dan obsesi.Julia mendesis pelan,“Selalu dia…”“Selalu Aruna yang menarik perhatianmu, Ezra.”Tangannya meremas mouse dengan kuat, hingga bunyi klik keras terdengar beberapa kali.Tapi setelah itu, wajahnya kembali tenang — bahkan terlalu tenang.Ia mengatur napas, menarik senyum kecil yang penuh perhitungan.Julia dengan lirih, sambil menatap layar,“Baiklah… kalau simpati orang-orang mulai condong padamu, Aruna…”“Aku akan ubah simpati itu jadi kecurigaan.”Ia mulai mengetik cepat di layar laptop.Kalimat demi kalimat muncul di
Ezra menatap layar laptopnya, memperhatikan data manipulasi Julia dari hari sebelumnya.Raska mengetik cepat, sementara Nadia memeriksa beberapa nama panitia baru yang baru saja bergabung. “Ez, kamu sadar gak? Julia mulai dekatin panitia baru dan dosen pembimbing.”Ezra menatap tajam layar, “Ya. Dia mulai main di jalur akademik.” “Kalau gitu, kita juga harus main di jalur yang sama.”“Iya. Tapi bukan buat menyerang… buat mengungkapkan kebenaran dengan cara yang gak bisa dia bantah.”Tatapan Ezra tajam.Suara di ruangan itu pelan tapi tegas.Dan di luar sana, Julia sudah memulai perang halus yang jauh lebih berbahaya dari sekadar gosip.*Suasana kampus tampak seperti biasa: ramai oleh mahasiswa yang lalu lalang, suara tawa, percakapan ringan, dan derap langkah yang beradu di antara lorong-lorong panjang. Namun bagi Aruna, hari itu terasa berbeda.Entah kenapa, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat… dingin… dan penuh tanda tanya.Ia berjalan sambil memeluk buku di dada,