Share

Melihat Pahatan Tubuhku

Author: Mr.Dopamine
last update Last Updated: 2024-07-17 10:22:17

Luna semakin gugup. Detik itu ia menyadari bahwa hidupnya terjerumus di dalam sangkar pria kejam.

"Aku akan mandi. Segera." Luna beranjak, melangkah cepat. Saat melewati Bian, Luna justru malah terkilir dan terjatuh di atas pangkuan Bian dalam posisi duduk menyamping dan tanpa sengaja mencium leher Bian.

"Ma-maaf, aku.."

"Leher bukan titik pusat yang bisa merangsangku, Luna." Bisik pria itu dengan nada sensual di telinga Luna yang membuatnya bergidik ngeri. "Berhenti mengembuskan napasmu di sana." Dengan langkah cepat, Luna bangkit dan melangkahkan kakinya menjauhi Bian.

"Kamu mempunyai waktu sepuluh menit untuk membersihkan diri."

Luna masih gemetar meski ia sudah berada di kamar mandi, menutup rapat pintu toilet tersebut lalu berjongkok, memainkan kukunya yang dipotong rapi. Tabiat yang biasa ia lakukan saat ia merasa gugup.

"Jangan menangis... Jangan menangis, Luna. Ini bukan apa-apa. Kamu sudah terbiasa melewati kehidupan yang tidak beruntung seperti ini."

"Dua menit lagi, Luna."

Luna mengabaikan bak mandi yang ditaburi kelopak bunga mawar. Ia langsung menuju shower dan berdiri di bawahnya. Dinginnya air membuat tubuhnya tersentak kaget. Ia tidak berlama-lama di sana karena ia tahu Bian sedang menunggunya di sana. Dia tidak ingin cari perkara dengan membuat mood pria itu rusak.

Saat ia membuka pintu, dia kaget melihat Bian ada di depan pintu kamar mandi. Refleks ia mengencangkan tali kimononya.

"Kamu membutuhkan sesuatu?" Luna bertanya setenang mungkin walau sebenarnya dia kaget bukan main.

Bian melayangkan lirikan cepat padanya, seolah sedang menilai fisiknya.

"Pakianmu sudah ada di dalam lemari. Kenakan gaun satin turquoise."

"Hah?"

"Aku tidak akan mengulangi kalimatku dua kali dan aku tahu indra pendengaranmu tidak bermasalah sama sekali." Bian menjalankan kursi rodanya. "Jangan mematung di sana atau kamu ingin aku mengenakan pakaianmu."

"Aku bisa melakukannya sendiri. Satin tosca, ya, satin tosca, aku akan mengenakannya." Luna mempercepat la langkahnya menuju ruang ganti. Apakah mulai sekarang ia juga harus berpakaian menurut selera pria itu. Luna tentu saja tidak akan mau! Tapi untuk kali ini, ia tidak akan berdebat.

Namun saat ia mengenakan gaun satin yang dipilihkan Bian untuknya, Luna dibuat terkagum-kagum. Saat ia melihat pantulan dirinya di cermin, ia terkejut dengan betapa indahnya gaun tersebut di tubuhnya. Gaun itu panjangnya sampai ke mata kaki, dengan potongan yang pas di pinggang, memberikan siluet yang elegan. Kain satin yang lembut berkilau di bawah cahaya lampu, memberikan sentuhan glamor yang tak terbantahkan. Gaun itu memiliki detail renda halus di bagian leher dan ujung lengan, menambah kesan mewah dan anggun.

"Jika kamu sudah selesai, bantu aku mengganti pakaianku."

Luna segera keluar karena tidak punya alasan untuk berlama-lama di sana. Melihatnya muncul, Bian memandangnya dengan ekspresi tidak terbaca.

"Bagaimana aku akan mengganti pakaianmu?" Luna mengamati penampilan Bian yang dibalut jas mewah dari desainer ternama.

"Senyamanmu saja."

Jawaban apa pula itu. Jika Luna boleh jujur, keadaan dan situasinya sekarang jauh dari kata nyaman. Ia meragu apakah ia akan merasakan kenyamanan selama menyandang status istri dari seorang Bian.

"Sebelumnya aku belum pernah mengurus seseorang. Aku meragu jika aku bisa melakukannya. Aku_

"Mulailah dengan melepaskan dasiku." Bian menyela kalimat Luna. "Tubuhku sudah sangat lelah dan ingin segera berbaring."

Luna mengerutkan keningnya. Dasi? Hanya melepaskan dasi, apa pria itu juga butuh bantuan mengingat tangannya masih berfungsi dengan baik.

"Hanya melepaskan dasi, harusnya kamu bisa melakukannya."

"Jika ingin mengurusku, jangan lakukan setengah-setengah!"

Percuma menantang perintah Bian, Luna tidak akan mendapat kemenangan. Tidak ada gunanya mengulur waktu dengan berdebat, Luna juga sudah mengantuk.

"Aku akan mulai membuka dasimu kalau begitu." Luna mengulurkan tangan.

"Hm, tidak usah sungkan." Bian menyahut dengan enteng yang justru membuat Luna gugup. Jarak wajah keduanya juga sangat dekat.

"Melepas dasi, Luna. Bukan mencekikku."

"Hah? Maaf." Luna terlalu panik hingga tanpa sadar justru menarik tali simpulnya. "Jangan memandangiku, kamu membuatku gugup."

Bian dengan patuh mengalihkan tatapannya dengan mendongak ke atas.

"Jangan mendongak."

Bian mulai kesal. Dia tidak suka diperintah dan lehernya juga mulai sakit. "Jadi kemana aku harus melihat?!"

"Sudah lepas. Aku berhasil melepaskannya." Luna tersenyum lebar seolah ia baru saja melepaskan pekerjaan hebat yang luar biasa.

"Haruskah aku memberimu penghargaan?"

"Eh?"

"Sembari kamu memikirkan hadiah apa yang kamu inginkan, bagaimana jika kamu mulai melepaskan jasku."

Membuka jas bukan sesuatu yang sulit. Luna melakukannya dengan cekatan. Pekerjaannya lebih mudah karena Bian bekerjasama dengan baik dengan merentangkan kedua tangannya.

Begitu jas terlepas, Luna baru menyadari jika dirinya berada dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dengan hati-hati, ia mulai membuka kancing kemeja Bian satu per satu. Di usianya yang sudah dewasa, Luna belum pernah melihat tubuh pria secara langsung.

Bian hanya diam menunggu, sementara Luna mengulurkan tangan untuk membuka kancing pertama di leher. Tangannya beralih ke kancing kedua, dan jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Saat ia membuka kancing ketiga, Luna mulai merasa keringat dingin.

Dada Bian mulai terlihat, dengan bulu-bulu halus yang menghiasi. Jemarinya semakin meluncur ke bawah, membuka lebih banyak kancing, dan terungkaplah pemandangan yang membuat kedua pipinya terasa begitu panas. Otot perut yang sempurna layaknya sebuah pahatan.

Luna menahan debaran jantungnya yang semakin kencang. Meski gugup, ia mencoba menjaga agar wajahnya tidak menunjukkan kecangungan.

"Apa ada yang salah dengan tubuhku? Mengapa wajahmu merah seperti itu?"

Nyaris Luna tersedak mendengar pertanyaan tersebut. Apa yang harus dirinya katakan mengenai hal itu? Tidak mungkin Luna mengakui bahwa ia merasa gugup melihat tubuh Bian

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Happy Ending

    Tepuk tangan kembali menggema, kali ini lebih meriah. Luna menatap Bian dengan mata berkaca-kaca, tidak mampu berkata apa-apa selain tersenyum. Ia mengambil mikrofon kecil yang disodorkan salah satu tamu, mencoba menguasai dirinya."Terima kasih, Mas Bian," katanya, suaranya sedikit bergetar tetapi tetap penuh ketulusan. "Kamu selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah meminta apa-apa selain cinta darimu, dan kamu memberiku lebih dari itu. Kamu memberiku keluarga, kebahagiaan, dan cinta yang tak pernah habis. Aku juga mencintaimu, lebih dari apa yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."Seketika suasana terasa semakin emosional. Beberapa tamu bahkan terlihat menyeka air mata mereka, terharu oleh keintiman yang mereka saksikan. Dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya, Bian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ayo kita potong kuenya," katanya, membawa mereka kembali ke momen yang lebih santai.Setelah mereka memotong kue bersama, suasana berub

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Kamu Lah Takdirku

    Luna terus menelusuri setiap halaman buku jurnal yang diberikan Bian kemarin. Tulisan tangan suaminya terasa seperti suara dari hatinya sendiri, mengalir dengan kejujuran dan kerinduan yang tak terbendung. Setiap kata menggambarkan perjalanan emosional seorang pria yang berusaha keras mencari istri yang hilang, menanggung penyesalan yang mendalam atas kegagalannya selama setahun penuh. Air mata membasahi pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan. Ini bukan tangisan sedih; ini adalah tangisan karena cinta yang begitu nyata, begitu tulus.Ketika pintu kamar mereka terbuka, Luna mendongak, mendapati sosok Bian berdiri di sana. Cahaya dari luar ruangan menyinari pria itu, menegaskan aura ketenangan yang selalu menyelimutinya. "Hei, aku memberikan jurnal ini bukan untuk membuatmu menangis, Sayang," ujarnya, melangkah masuk dan langsung duduk di depannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Luna, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Sentuhan itu bukan hanya lembut, tetapi juga penuh ci

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Bahagia Selamanya

    “Sikapmu mencurigakan!” Luna tertawa ringan saat ia memukul lembut dada suaminya, namun segera menyerah dalam pelukannya. Dekapan Bian selalu berhasil meredakan segala kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Hangat, nyaman—seolah seluruh dunia berhenti berputar, memberikan mereka momen yang hanya milik mereka berdua. Luna menyandarkan kepalanya di dada Bian, merasakan detak jantungnya yang stabil, menenangkan. Tidak ada tempat ternyaman selain berada di sisinya, seolah Bian adalah oksigen yang ia butuhkan untuk bertahan hidup. Membayangkan hidup tanpa pria itu terasa tak mungkin lagi, dan setiap kali ada keraguan yang muncul, ia segera tenggelamkan dalam ketenangan pelukannya.“Kamu tahu aku mencintaimu,” bisik Bian di telinga Luna, suaranya rendah namun penuh keyakinan, mengirimkan getaran lembut yang langsung menusuk ke dalam hati Luna. Bian tidak perlu bersuara keras untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi istrinya—bisikan itu saja sudah cukup untuk mengukir janji tanpa kata-

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Kamu Yang Terindah

    “Kita tidak bisa mencampuri hubungan mereka,” ucap Bian, suaranya tenang namun penuh ketegasan. Dia telah mendengar cerita sebenarnya dari Luna—bagaimana Julian tidak menyentuh Sarena sama sekali, bagaimana situasi rumit itu hanyalah bayang-bayang dari ketidakpastian. Tetapi justru karena dia mengetahui kebenarannya, Bian merasa tidak berhak mengambil peran dalam keputusan yang hanya bisa diambil oleh Sarena sendiri. Hatinya berat, namun ia tahu apa yang harus dilakukan.“Sarena sudah jauh lebih dewasa. Dia pasti bisa menyikapi semua ini,” lanjutnya, seolah kata-kata itu diucapkan untuk menenangkan diri sendiri lebih dari sekadar memberi penegasan kepada istrinya. Dia ingin yang terbaik untuk Sarena, tanpa intervensi yang malah akan mengaburkan pilihan yang sebenarnya. Tapi, sebagai kakak, ada kekhawatiran yang tak bisa sepenuhnya ditepiskan. Ia tahu apa yang telah dilewati Julian, dan sebentuk kasih yang tak terucap tumbuh di hatinya.“Biarkan dia yang mengambil keputusan, Luna.” D

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Tentang Sarena

    “Mas…” panggilan lembut Luna meluncur, berusaha menuntut perhatian suaminya yang tengah tenggelam di depan layar laptop. Ada kelembutan sekaligus sedikit tuntutan dalam suaranya, seolah mengingatkan bahwa ia tidak suka diabaikan.Bian menoleh dengan cepat, menyadari bahwa istrinya menginginkan sesuatu lebih dari sekadar jawaban biasa. Senyuman manisnya muncul, memupus segala letih yang terasa. “Ya, Luna, ada apa? Kamu butuh sesuatu, Sayang?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.Luna tersenyum kecil, meski seulas kekhawatiran berbayang di matanya. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin berbincang.” Kata-katanya sederhana, tetapi tersirat sebuah keinginan untuk didengar dan dimengerti. “Mas sedang sibuk atau bagaimana?” Ia tak ingin mengganggu, tetapi ia juga membutuhkan suaminya untuk bersamanya, sepenuhnya.Bian menatapnya dengan tatapan lembut penuh kasih sayang, mendengar nada halus yang menyiratkan beban dalam kalimat Luna. Meski pekerjaannya belum selesai, ia tak akan pernah meninggalkan i

  • Terikat Pernikahan Dengan CEO Dingin   Julian Yang Malang

    Luna meremas tangan Sarena dengan lembut, mencoba meyakinkannya untuk terus bercerita. Tatapan penasaran yang dalam terpancar dari matanya, tak dapat disembunyikan oleh ekspresi tenangnya. “Lalu, apa sebenarnya masalahnya?” desaknya lagi, penuh rasa ingin tahu. Mengapa Sarena terlihat begitu sedih padahal ia dan Julian saling mencintai? Bukankah dua orang yang saling mencintai seharusnya menikah dan hidup bahagia?Namun, di dalam hatinya, Luna tahu bahwa pernyataannya itu tak sepenuhnya benar. Pernikahannya dengan Bian tidak dimulai dari cinta sejati; mereka menikah karena keputusan keluarga yang berujung pada pernikahan yang dipaksakan. Namun, seiring berjalannya waktu, cinta perlahan tumbuh di antara mereka. Takdir telah menenun kisah mereka dengan cara yang tak terduga, membawa mereka dari konflik menuju kedamaian, dari kecurigaan menjadi kepercayaan. Sekarang, mereka berada di tempat yang disebut dengan "akhir bahagia" – titik di mana cinta mereka telah melewati segala ujian."Aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status