Share

Bolehkah Aku Membencimu Ayah

Aku duduk di ruang tamu dengan diam. Aku sama sekali tidak berniatan untuk meninggalkan tempat dudukku meskipun sebenarnya tujuanku pulang dari kerja adalah langsung pergi ke kamarku dan beristirahat.

Aku kecewa dengan perilaku Ayah. Dia terlalu memaksakan kehendaknya untuk menjodohkanku. Bahkan, sampai memberikan fotoku kepada saudara jauh ibu secara diam–diam.

Sekarang, aku benar–benar bisa merasakan gerakan emosiku. Emosiku yang mulai merambat dengan cepat ke kepalaku.

Menolak perjodohan ini? Ya, pasti akan aku lakukan. Aku benar–benar tidak mau di jodohkan layaknya dua orang kakakku.

Aku memang memiliki Kakak perempuan yang sekarang tinggal di rumah suaminya. Mereka menikah juga karena di jodohkan oleh Ayahku. Meskipun, awalnya Kakakku menolak perjodohan itu, Ayahku tetap memaksanya. Dia tidak perduli meskipun putrinya itu memohon kepadanya dengan berlinang air mata. Sungguh egois sekali.

Alasan kedua Kakakku menuruti kemauan Ayah, menikah dengan orang yang tak dicintainya karena mereka tak mau kalau Ayahku marah–marah kepadanya. Akan tetapi, itu semua tak akan berlaku padaku.

Aku tetap akan menolak perjodohan ini. Aku ingin Ayah sadar akan kelakukannya yang sok berkuasa dan memaksakan kehendaknya.

Pada saat aku diam dalam pemikiranku tiba – tiba ibu duduk di hadapanku. “Kamu kenapa, Arin?” tanya ibuku.

Aku memandang ibuku yang terlihat lelah di wajahnya. Yah, ibuku pasti lelah dengan kehidupannya, tapi dia yang benar–benar penyabar tidak pernah menyerah dengan hidupnya dan tak pernah sekalipun untuk mengeluh.

“Ibu, Arin tidak mau di jodohkan …”

Perkataanku langsung terputus di kala Ibu langsung memberikan isyarat dengan menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya.

Ternyata ibu melakukan itu karena Ayah datang menghampiri kami.

Ayah duduk di kursi, di samping Ibuku.

Baru saja duduk Ayah mulai membuka pembicaraan dengan memberikan pujian pada Ilham, putra dari saudara Ibu yang akan di jodohkan denganku. “Arin, Ilham cukup tampan dan sopan sekali anaknya, ya? Ayah sangat suka dengan dia.”

Emosiku yang benar–benar sudah ada di puncak tak mampu lagi untuk aku tahan. “Tapi, aku tidak menyukainya, Yah! Aku tidak mau di jodohkan!”

“Brak!!” Ayah langsung menggebrak meja di depannya. Lagi–lagi Ayah langsung marah kepadaku apabila aku menolak perjodohan. “Kamu jangan membuat malu keluarga! Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanmu dengan orang tua Ilham.”

Aku langsung berdiri dan siap–siap untuk pergi. “Mengapa Ayah langsung menyetujuinya? Mengapa Ayah tidak menanyakan terlebih dahulu kepadaku?!”

Ayah juga ikut berdiri dan hendak menghampiriku, tapi ditahan oleh Ibuku. “Ayah, sudah! Biarkan Ibu yang akan berbicara dengan Arin.”

“Ibu, Arin memang tidak menghendaki perjodohan ini. Arin menolak perjodohan ini!” selaku.

Ayah menyentakkan tangan Ibuku yang sedang memeganginya dan kemudian Ayah menghampiriku dan berdiri di hadapanku. “Kalau kamu tetap menolak perjodohan ini, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!!” ancam Ayah kepadaku.

“Baik,” jawabku. Aku langsung meninggalkan Ayahku dan pergi ke kamarku.

“ARIN!! ARIN!!” Ayahku marah dan memanggil–manggil namaku.

Aku tak mau kembali kehadapan Ayah. Lebih baik aku diam di dalam kamar dan mulai meratapi nasib burukku.

Aku duduk di sudut ranjangku dengan menekuk lututku kemudian aku di kagetkan oleh ketukan pintu yang sangat kasar.

“ARIN, BUKA PINTU!!”

Ah, Ayah masih saja mengejarku dan tidak mau untuk sekali saja mengalah kepada anaknya.

Aku diam dan pura–pura tidak mendengar panggilan dari Ayah.

“ARIN!!”

Akhirnya, aku pun menyerah. Ku langkahkan kakiku untuk membuka pintu kamarku.

Baru saja aku membuka pintu tiba–tiba Ayah melayangkan tangannya dan menampar mukaku. “PLAK!!”

Aku memegang pipiku yang terasa nyeri dan tak terasa butiran air mataku menetes dengan derasnya.

Ayah menatapku dengan melototkan matanya, sedangkan ibuku bersembunyi di balik punggung Ayah dengan mengusap matanya yang terlihat mulai berair.

“Kalau kamu tetap saja menolak perjodohan ini, pergilah dari rumah ini!! Ayah tidak mau memiliki putri pembangkang sepertimu!!”

Aku tidak melawan perkataan dari Ayahku, bukannya karena aku menyetujui perjodohan ini, tapi aku merasa kasihan kepada seorang perempuan yang kini terlihat menangis di balik punggung Ayahku.

Aku pun diam dan kemudian kembali memasuki kamarku. Aku tutup pintunya dan kemudian aku mulai merebahkan tubuhku. Ku pandang langit–langit kamarku dengan air mataku yang tetap mengalir dengan derasnya. Sesekali ku pegang pipiku yang terasa nyeri sekali akibat dari tamparan Ayah.

Mengapa aku bisa menjadi putri dari seorang Ayah yang egois dan tidak pernah mau mengalah untuk anaknya? Menyesal karena telah hadir dikeluarga ini? Enggak! karena aku masih memiliki Ibu yang benar – benar sayang kepadaku. Hanya Ibu lah alasanku untuh terus bertahan selama ini.

**

Aku tidak keluar sama sekali dari dalam kamarku, bahkan aku melewatkan makan malam dengan kedua orang tuaku.

Mungkin lebih baik kalau aku tetap di kamar daripada aku keluar dan bergabung dengan mereka dan menyebabkan sebuah pertengkaran lagi karena itu hanya membuat Ibuku akan bersedih.

Aku coba untuk mengotak atik ponselku. Aku coba menghibur diriku sendiri dengan memainkan ponselku, tapi tiba–tiba aku mendapatkan pesan dari Kakakku yang pertama, yaitu Mbak Dea.

Ku buka pesan singkat yang dia kirimkan untukku dan kemudian aku baca.

“Assalamualaikum, Arin. Mbak dengar,kalau Arin akan di jodohkan dengan saudara jauh Ibu dan Arin menolaknya sehingga memuat marah Ayah. Arin, sebaiknya Arin menuruti kemauan dari Ayah agar Ayah tidak marah–marah dan membuat Ibu menjadi ketakutan. Mungkin, awalnya Arin tidak akan bisa menerima perjodohan ini, tapi kalau seandainya Arin menjalaninya dengan ikhlas, insya alloh Arin akan menemukan kenikmatannya. Ingatlah, cinta akan tumbuh bila Arin sudah terbiasa hidup dengannya.”

Aku langsung menaruh ponselku dan tidak aku balas pesan dari Mbak Dea. Seharusnya Mbak Dea mendukungku agar aku tidak menjadi korban perjodohan layaknya dirinya. Akan tetapi, Mbak Dea malah mendukung langkah Ayah untuk menjodohkanku, berarti secara tidak langsung Mbak Dea membiarkan Ayah untuk terus memiliki sifat yang Egois dan sok berkuasa.

Aku kemudian beranjak dari tempat tidurku dan mulai menuju ke almariku yang berada di pojok kamar. Ku bukanya dan kuambil bajuku satu persatu kemudian aku taruh dalam tasku.

Ku tata dengan rapi baju–bajuku, sambil menata bajuku aku mulai berfikir, apakah ini adalah jalan yang terbaik untuk diriku? Untuk memperjuangkan hakku? Ataukah justru langkah ini yang membuat masalahku menjadi keruh? Akan tetapi, semangatku memberi pelajaran pada Ayah agar dia sadar akan sikapnya, membuatku tak bisa kalau harus menentang keinginanku.

Aku sendiri tak akan mau menuruti apa yang di katakan oleh Mbak Dea karena dengan mengalah terus kepada Ayah, maka selamanya Ayah akan selalu bersikap egois seperti itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status