Share

Sudah Jatuh Masih Saja Tertimpa Tangga

Aku diam–diam merenungkan apa yang tengah menimpaku sampai aku tak merasakan kalau teman–teman kerjaku sudah datang dan melihatku yang sedang terdiam di tempat duduk di balik etalase.

“Heh, Arin! Ngapain kamu duduk termenung di sini? Apa yang sedang kau pikirkan?!” tegur Diana dengan menyenggol lenganku.

Aku di kejutkan dengan teguran Diana yang tiba–tiba. Apa yang sedang aku pikirkan langsung hilang seketika.

Aku memandang sekeliling, toko sudah ramai dengan kedatangan teman–temanku dan juga pembeli yang mulai berdatangan.

Diana yang masih saja di sampingku rupanya masih menunggu jawabanku. Akan tetapi, aku masih enggan menjawab dan bercerita karena aku harus mulai bekerja.

Aku mulai bekerja dengan melayani beberapa orang yang sedang menanyakan stok baju untuk ukuran mereka. Aku pun mulai mencarikan apa yang sedang mereka minta. Aku menjadi sibuk sekali karena toko memang lagi ramai sekarang, tapi enak sekali dengan aku sibuk, aku menjadi terhibur.

Beberapa jam kemudian, pengunjung yang datang ke toko sudah tak sebanyak tadi hanya beberapa orang saja. Aku pun akhirnya bisa beristirahat karena yang melayani mereka adalah temanku.

Aku mengambil sebotol air mineral yang ada di tasku. Aku mulai meneguknya dan kemudian menaruhnya kembali ke dalam tas. Aku kembali duduk dan menunggu giliranku melayani calon pembeli.

Tiba–tiba Diana datang menghampiriku dan membawa ponselnya. “Arin, kamu sudah melihat ini?” Diana menunjukkan postingan Helia yang tadi sudah aku lihat.

Aku menganggukkan kepalaku dan mulai memalingkan wajahku dari hadapan Diana. Mataku mulai berkaca–kaca karena aku kembali mengingat nasibku yang begitu buruknya. Cintaku yang tak di restui oleh Ayah sampai Reyhan memutuskan hubungan kami, tidak butuh waktu lama dia sudah memiliki kekasih baru yang kemudian diajaknya untuk menikah, terakhir aku malah di curigai oleh istri Reyhan.

Diana rupanya mengerti kalau aku sedang menahan air mataku. Dia langsung saja memegang bahuku dan berkata, “Sabar, kelak kamu akan mendapatkan jodoh yang benar–benar baik untukmu.”

Air mataku pun meleleh setelah mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Diana. Diana yang menyaksikan lelehan air mata ku langsung memberikanku tisu. Aku langsung mengusap air mataku sebelum teman yang lainnya tau.

Saat itu aku tiba–tiba juga teringat kalau Ayahku hendak menjodohkanku. Keadaanku pun semakin kacau. Aku memegang tangan Diana dan menatapnya dengan tatapan yang sendu. “Aku hendak di jodohkan oleh Ayahku, tapi aku tidak mau ...”

Diana langsung terbelalak dan kemudian dia menanyaiku, “Mengapa kamu menolak?”

“Aku ingin mencari pasangan hidupku sendiri,” jawabku dengan tanganku yang mengusap kembali tetesan air mataku.

Diana mencoba menenangkan diriku dengan mengusap pelan punggungku. “Sabar, kamu harus berbicara dengan baik kepada Ayahmu agar ayahmu tidak memarahimu.” Diana memang sudah tau dengan keadaan keluagaku dan juga watak dari Ayahku karena Diana memang teman terdekatku semenjak dahulu.

Aku menganggukkan kepalaku pelan dan kemudian aku kembali untuk mencoba menjadi seorang perempuan yang tegar.

**

Aku sudah selesai bekerja dan waktunya aku untuk pulang. Aku berpamitan kepada teman–temanku semua dan kemudian aku menuju ke tempat motorku terparkir.

Aku sudah menaiki motorku dan saat itu aku di panggil oleh Fia, temanku yang lain.

Sambil berlari Fia memanggilku, “Arin ...”

Aku berhenti dan menunggu Fia.

“Arin, aku boleh nggak pulang bareng sama kamu?” tanya Fia kepadaku.

Aku tersenyum, “Boleh, ayo!”

Fia langsung tersenyum dan buru–buru menaiki motorku. “Terima kasih,” ucapnya.

Rumahku dan Fia memang tidak berdekatan, tapi untuk menuju ke rumahku, Aku harus melewati rumah Fia terlebih dahulu. Jadi, arah tujuan kita sejalan.

Aku mengendarai motorku dengan sedikit cepat. Aku ingin segera sampai rumah dan beristirahat di kamarku. aku ingin mengistirahatkan pikiranku karena akhir–akhir ini aku memang terlalu banyak masalah yang mengganggu pikiranku.

Beberapa menit kemudian, aku memberhentikan motorku untuk menurunkan Fia. Yah, aku sudah sampai di depan rumah Fia.

“Rin, terima kasih ya?” ucap Fia karena dia telah menumpang motorku untuk pulang kerumahnya.

“Ya, sama–sama.”

“Enggak mampir ke rumahku dulu? Kita istirahat dulu di dalam.” Fia mengajakku untuk mampir ke rumahnya.

Aku menggelengkan kepala. “Tidak, terima kasih. Mungkin lain kali saja kalau ada waktu,” jawabku. Aku menolak ajakan Fia dengan halus agar dia tidak tersinggung.

“Baiklah, hati–hati di jalan.”

“Ya.” Aku langsung melajukan motorku kembali dan meneruskan perjalananku untuk pulang.

Aku langsung memarkirkan motorku di halaman ketika aku sudah sampai di rumah kemudian aku masuk dan mengucapkan salam, “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab ibuku.

Aku langsung menghampirinya dan kemudian bersalaman dengannya. Tampak senyuman menghiasi wajah ibuku. Ibu yang sangat menyayangiku dan ibu yang sangat penyabar untuk menghadapi tingkahku. Aku sangat menyayanginya.

“Arin, ada tamu di dalam. Ibu berharap, kamu menemuinya dengan baik, jangan membuat masalah dan jangan membuat Ayahmu marah,” pesan ibu kepadaku.

Aku mengerutkan dahiku dan bertaya, “Siapa bu?”

“Saudara jauh ibu.” Ibu mulai menarik pelan tanganku untuk menemui tamu yang ibu maksud barusan.

Saat sudah berada di ruangan tamu, aku melihat lima orang yang tampak asing bagiku. Memang kata ibu mereka adalah saudara jauh, tapi aku benar–benar tidak pernah sekalipun bertemu dengan mereka.

“Arin, duduk sini dekat Ayah!”

Aku mengerutkan keningku sekali lagi karena Ayahku bersikap manis terhadapku, padahal pagi tadi kami sempat bertengkar.

Aku menuruti perkataan Ayah. Aku duduk di sampingnya dan kemudian Ayah mengenalkanku kepada tamu–tamu itu.

“Ini Arin, anak perempuan saya yang terkecil.”

Aku tersenyum kepada mereka semua dan mereka membalas senyumanku.

“Cantik, sama persis dengan fotonya ...”

Foto? Ada apa dengan foto? Apakah mereka sudah mengetahuiku dengan melihat fotoku?

“Arin, ini budhe dan pakdhe dari desa. Mereka adalah saudara dari ibumu dan kami memang jarang bertemu.” Ayah mulai menjelaskan kepadaku tentang tamu–tamu yang sekarang ada dihadapanku. “Maka dari itu kami takut kalau suatu saat nanti tali persaudaraan kita terputus karena perbedaan jarak diantara kami sehingga kami berniat ingin menjodohkanmu dengan Putra dari Budhe dan Pakdhe mu ini.”

Aku langsung terkejut mendengar ucapan Ayah. Aku mulai awal sudah curiga dengan sikap manis Ayah, ternyata ini adalah tujuannya.

Aku menatap kearah ibuku dan ibuku mengedipkan matanya kepadaku. Aku mengerti apa yang dimaksud ibu bahwa aku harus tetap bersikap baik karena itu yang tadi ibu ucapkan kepadaku.

Aku menahan emosiku.

“Ilham, kenalkan ini Arin ...” Ayahku langsung mengenalkan diriku kepada laki–laki yang ada di hadapanku.

Laki–laki yang bernama Ilham itu langsung tersenyum kearahku dengan ramahnya, sedangkan aku hanya terseyum simpul saja.

Ingin rasanya aku pergi dari hadapan mereka semua dan masuk kedalam kamarku.

Aku benar–benar kecewa dengan sikap Ayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status