Share

Maafkan Aku Ibu

Pagi–pagi benar aku sudah bersiap untuk berangkat. Berangat kerja dan setelah itu aku tak akan pulang lagi. Entah kemana tujuanku nanti yang jelas aku tak akan pulang lagi kerumah.

Aku semalam sudah memikirkannya matang–matang. Bahwa aku akan pergi meninggalkan rumah. Aku pun juga sudah bertekad untuk keluar dari tempatku bekerja. Mengapa aku harus berhenti bekerja juga? Ya karena kalau aku tetap disana, Ayahku pasti akan menjemputku dan memarahiku. Bukan lagi tamparan di pipi yang aku dapatkan, pasti aku akan mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari itu.

Aku melihat sekeliling kamarku, sedih rasanya akan meninggalkan kamarku tercinta yang sudah aku tempati selama bertahun–tahun lamanya.

Sekarang, aku akan berangkat bekerja untuk terakhir kalinya dan aku kali ini tidak akan membawa motor yang biasanya aku pakai.

Aku keluar kamar dan berpapasan dengan Ibuku. Sedih rasanya ketika aku melihat sosok ibu yang sangat menyayangiku, tapi aku terpaksa harus meninggalkannya. Aku tidak mau meneruskan perjodohan ini.

Aku menghampiri Ibuku dan hendak berpamitan kepadanya. “Assalamualaikum, Ibu.” Ku ucapkan salam kepada Ibuku dan kemudian aku bersalaman kepadanya.

Ibuku tersenyum kepadaku dan kemudian memegang pipiku yang sedikit memerah karena pukulan tangan Ayah kemarin. “Pipimu sudah tidak apa – apa?” tanya Ibu kepadaku.

Aku menggelengkan kepalaku dan kemudian menatap wajah Ibuku. “Ibu, Arin pamit untuk berangkat bekerja. Doakan Arin selama di luar sana ya, Bu?” Aku memohon pamit kepada Ibuku dan juga meminta doa Ibu. Doa Ibuku sangatlah penting bagi hidupku.

“Pasti, Ibu akan selalu doakan yang terbaik untuk Arin.”

“Ibu, jangan rindu kepada Arin, ya?” ucapku dengan senyuman yang aku buat–buat agar aku terlihat seperti sedang berbahagia, padahal aku mengucapkan kata–kata itu sebagai pesan kepada Ibuku karena aku hendak meninggalkannya.

Ibu tersenyum dan kemudian mengusap pelan kepalaku. “Ibu pasti akan selalu merindukanmu. Kamu adalah Putri kecil Ibu yang sangat Ibu sayangi.”

“Ibu kalau merindukan Arin, ingatlah kenakalan Arin yang selalu membuat Ibu kesal agar Ibu tak lagi merindukan Arin kembali.”

Ibu ganti memegang daguku. “Ibu tidak pernah kesal melihat tingkah lakumu,” ucapnya.

Aku langsung memeluk tubuh Ibuku. Aku benci sekali mendengar kata–kata sayang Ibu di saat dalam kondisi seperti ini. Please, jangan memberiku kata–kata yang membuatku tak sanggup untuk meninggalkanmu, Ibu.

Aku melepaskan pelukanku dan kemudian segera berpamitan, karena aku tak sanggup kalau harus mendengarkan kata–kata dari mulut ibuku lagi. “Arin pamit terlebih dahulu, Arin sayang sama Ibu.” Ku kecup Pipi Ibuku yang muai tampak kerutannya. Ibuku sudah tak lagi muda, tapi aku melihat semangat di wajahnya.

Ibu membalas mengecup keningku dan mulai melepaskan pegangan tangannya.

Akupun pergi meninggalkan rumah. Aku berjalan kaki untuk menuju ke ujung jalan dan mulai menunggu mobil angkutan umum yang arah tujuannya ke lokasi dimana tempatku bekerja berada.

Aku tidak terlalu lama menunggu mobil angkutan umum karena baru saja aku sampai di ujung jalan tiba–tiba mobil angkutan itu lewat. Aku pun mencegatnya dan langsung menaikinya.  

Di dalam mobil angkutan umum, aku merenung dan mengingat wajah ibuku. Aku sungguh merasa bersalah meninggalkannya, tapi aku kembali untuk membulatkan tekad, aku harus tetap pergi dari rumah.

Beberapa menit kemudian, mobil angkutan yang aku tumpangi telah berhenti di depan “Toko Busana”, tempatku bekerja. Aku pun turun dan langsung memberikan beberapa lembar uang kertas kepada sopir angkutan.

Aku berjalan untuk memasuki “Toko Busana” dan aku langsung menghampiri Ibu Dewi, pemilik “Toko Busana” tersebut. “Assalamualaikum …”

Ibu dewi melihat kearahku dan menjawab ucapan salam dariku, “Waalaikumsalam.”

Aku bersalaman kepada Ibu Dewi dan kemudian mulai menyampaikan tujuanku untuk berhenti bekerja di “Toko Busana” milik Ibu Dewi.

Awalnya Ibu Dewi melarangku untuk berhenti bekerja di sana dan menyuruhku untuk memikirkan ulang keputusan yang telah aku buat. Akan tetapi, aku yang sudah bertekad untuk berhenti bekerja tetap tidak mau mengurungkan niatku itu dan akhirnya Ibu Dewi memberiku izin.

Aku bekerja seperti biasa dan aku tidak memberi tahukan keputusanku untuk berhenti kerja kepada teman–temanku kecuali Diana.

Diana sendiri sempat kaget dengan keputusanku itu dan dia melarangku untuk berhenti kerja. Akan tetapi, setelah aku menceritakan permasalahanku akhirnya dia mengerti.

“Kamu akan tinggal dimana, Rin?” tanya Diana dengan menatap lekat–lekat wajahku.

Sambil memainkan jariku, aku mengangangkat bahuku. “Entah, aku masih tidak memiliki tujuan.”

Diana mengeritkan keningnya dan kemudian dia memegang tanganku. “Kamu itu perempuan, apakah kamu tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?”

Aku langsung mendongak dan menatap Diana. “Percayalah padaku, aku pasti bisa untuk menjaga diriku.”

Tiba–tiba Diana memelukku. “Aku pasti merindukanmu, Rin. Ingat, selalu kabari aku. Aku akan selalu ada untukmu.”

Aku menganggukkan kepalaku dan mulai melepaskan pelukan Diana. “Aku juga pasti merindukanmu. Kamu adalah teman terbaikku selama ini,” tak terasa aku jadi menitikkan air mataku.

Hari ini benar–benar hari yang sulit bagiku, dimana aku harus melepaskan orang–orang yang aku sayang, orang–orang yang benar–benar baik padaku dan ini semua karena Ayahku. Andaikan Ayahku mau mengalah terhadapku, mungkin aku tak akan meninggalkan mereka.

**

Setelah seharian bekerja, sekarang sudah waktunya untuk pulang. Aku pun juga bersiap–siap untuk meninggalkan toko dan setelah itu aku berpamitan kepada semua temanku dan juga Ibu Dewi.

Ibu Dewi memang seorang yang baik, di saat aku bersalaman padanya tiba–tiba dia memberikanku sebuah amplop putih dan dia berbisik, “Ini ada sedikit uang untukmu karena selama kamu bekerja disini kamu telah bekerja dengan baik. Arin, seandainya kapan–kapan kamu membutuhkan pekerjaan, kembalilah bekerja di sini. Ibu akan menerimamu kembali.”

“Terima kasih, Bu.” Aku dengan berat hati pergi meninggalkan Ibu Dewi dan tidak akan bekerja lagi untuknya.

Aku berjalan dan mulai mencegat mobil angkutan umum. Aku menaiki mobil angkutan umum untuk pergi ke terminal bus. Aku sementara ini akan pergi keluar kota dan tujuanku adalah kota malang. Kota yang terkenal dengan udaranya yang dingin.

Aku memutuskan untuk pergi kesana karena aku merasa kalau di sana akan lebih aman bagiku, mengingat di sana adalah kota pelajar, banyak sekali universitas disana dan otomatis banyak sekali anak sebayaku yang masih menempuh pendidikan disana.

Aku menjadi sedikit tenang setelah memiliki pemikiran seperti itu karena pastinya bukan hanya aku saja seorang gadis muda yang merantau di kota itu.

Aku sekarang sudah turun dari mobil angkutan dan kemudian aku berjalan untuk menaiki bus yang bertujuan kearah kota Malang.

“Bismillah, semoga aku bisa menjalani ini semua dengan baik karena ini adalah kali pertamaku hidup tanpa orang tuaku, terutama tanpa seorang Ibu yang selalu menyayangiku dan memberikan perhatian kepadaku. I Miss You, Mom.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status