Share

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama Bagian II

Deringan ponselku yang begitu keras membuat jantungku semakin berdetak dengan cepat. Ku seka keringatku yang mulai menetes ke wajahku. “Aku harus bagaimana?” pikirku dari dalam hati. Aku benar–benar di buat bingung dengan panggilan yang masuk ke ponselku. Panggilan telepon dari Ayahku.

Aku mendadak seperti orang yang sedang mengalami stress, mungkin karena hatiku yang tidak tenang. Tiba–tiba saja perutku melilit dan tak bisa aku tahan.

Ku tinggalkan begitu saja ponselku dan aku berlari untuk menuju ke kamar mandi.

Sesampainya aku di kamar mandi, perutku tiba–tiba saja tak terasa sakit kembali. “Ah, sungguh membingungkan.” Akupun segera keluar kembali.

Aku kembali memasuki kamarku dan duduk di atas ranjangku. Aku lirikkan mataku ke ponsel yang ada di sampingku. Panggilan telepon dari Ayah sudah tak lagi terdengar, aku segera mengambil ponselku dan segera ku non aktifkan kembali.

Ku ambil kartu perdana yang baru aku beli setelah itu aku gunakan di ponselku, sedangkan kartuku yang lama sementara ini tidak akan aku gunakan dan akan aku simpan dengan baik.

Ku aktifkan kembali ponselku, tapi aku sudah menggunakan nomor yang baru. Sehingga, tidak akan ada yang menghubungiku karena tidak ada yang tau dengan nomerku yang baru ini.

Aku yang lelah setelah seharian berkeliling dengan Syarif, akhirnya ingin sekali beristirahat. Aku taruh terlebih dahulu ponselku di atas meja untuk aku isikan daya setelah itu aku mulai merebahkan diriku.

Aku kembali memikirkan kata–kata Mbak Silvi. “Ya Allah, semoga Ibuku di berikan kekuatan dan tak selalu memikirkanku di sini,” gumamku dari dalam hati, “Ibu, aku di sini baik–baik saja.”

Matakupun mulai tertutup, tapi air mataku mulai merangkak dari celah–celahnya.

**

Sore hari.

Aku sudah terbangun dan juga sudah selesai mandi. Aku duduk di depan cermin sambil menyisir rambutku. Aku menyisir dengan pikiranku menerawang jauh. Aku sungguh penasaran dengan keadaan di kota lamaku.

“Diana …” Tiba–tiba saja aku teringat nama Diana. Akupun segera beranjak dari tempat dudukku dan mengambil ponselku.

Ku tekan nomor ponsel Diana yang sudah aku hafal karena aku ingin melakukan panggilan Video dengannya.

Ku tunggu sampai Diana menerima panggilan video ku, tapi lama sekali Diana menerimanya, sampai aku sempat berpikiran untuk mengakhirinya.

“Ariiin!” teriak Diana dari balik layar ponselku.

Aku segera saja menaruhkan jari telunjukku ke depan mulutku agar Diana tak meneriakkan namaku kembali. Aku takut kalau ada yang mengenalku dan mengetahui kalau aku sedang menghubungi Diana.

“Assalamualaikum,” ucapku dengan suara yang sangat pelan sekali.

“Waalaikumsalam,” jawab Diana dengan ikut–ikutan memelankan suaranya. “Arin, bagaimana kabarmu?” tanya Diana.

“Baik.”

“Arin, kamu ada dimana sekarang?” tanya Diana.

Aku tersenyum dan setelah itu menggelengkan kepalaku. “Maaf, aku masih belum bisa memberitahukanmu, tapi aku baik–baik saja kok di sini.”

“Sungguh, kamu baik – baik saja?” tanya Diana dengan raut wajahnya yang berubah penuh dengan kekhawatiran.

Aku mengangguk–anggukkan kepalaku. “Diana, bagaimana kabar di sana? Apakah Ayahku …” Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Diana sudah langsung menyahutinya.

“Ayahmu mencarimu ke rumahku, aku pun sampai ketakutan di buatnya. Ayahmu menunjukkan wajah yang tidak sabar sampai – sampai aku menemui Ayahmu dengan di dampingi oleh Ibuku.”

Aku segera saja menggaruk–garukkan tanganku ke kepalaku, padahal kepalaku tak terasa gatal sama sekali. Aku sungguh di buat malu oleh kelakuan Ayahku yang tak pernah bisa bersikap halus. Aku jadi tak enak hati kepada Diana.

“Maaf, memang Ayahku seperti itu dan tidak pernah bisa bersikap halus,” kataku kepada Diana.

“Ya, aku tahu kok. Aku sendiri tidak apa–apa, cuma Ibuku menjadi tahu ceritamu karena Ayahmu berbicara banyak di depan Ibuku.”

Ya Ampun, hatiku langsung saja terasa remuk. Apa kiranya yang di ceritakan oleh Ayahku kepada Ibunya Diana. Aku takut kalau cerita versi Ayahku malah membuatku semakin terpojokkan.

Ku coba untuk menanyakan kepada Diana, apa yang di katakan oleh Ayahku pada waktu datang ke rumah Diana. “Di, apa yang di ceritakan oleh Ayahku saat berada di rumahmu?”

Diana terlihat diam dan setelah itu menggelengkan kepalanya. “Ya Cuma mengatakan masalah perjodohan saja, sih.”

“Sungguh?” tanyaku kepada Diana.

Diana kemudian menganggukkan kepalanya, namun Diana tiba – tiba saja mematikan panggilan teleponku.

Aku terkejut karena Diana tanpa pamit terlebih dahulu tiba – tiba saja mematikan panggilan videoku. Ada apakah?

Ku taruh ponselku kembali, tapi baru saja aku taruh ponselku tiba – tiba bergetar.

Ku ambilnya lagi dan aku lihat pesan yang masuk ke dalam ponselku. “Ah, dari Diana. Kenapakah dia langsung mematikan panggilan teleponku?”

Aku buka pesan dari Diana dan mulai aku baca. “Rin, maafin aku yang langsung mematikan panggilan telepon darimu. Aku terpaksa melakukan itu karena ada ibuku yang tiba–tiba saja ada di sampingku.”

Aku terdiam sejenak setelah membaca pesan singkat dari Diana. Aku berfikir, mengapa Diana melakukan itu, bukannya Ibunya selalu baik kepadaku selama ini. Apakah sekarang Ibunya Diana menjadi berubah sikapnya kepadaku, setelah Ayahku datang ke rumahnya?

Aku mendadak sedih karena Diana adalah teman baikku. Seandainya apa yang aku pikirkan memang benar bahwa Ibu dari Diana tak lagi menyukaiku, sungguh aku lagi – lagi menyayangkan sikap Ayahku.

“Ayah, mengapa kamu tega menghancurkan segalanya bagiku? Kekasihku telah meninggalkanku, masihkah sahabat baikku juga akan meninggalkanku cuma karena ulahmu?!” gumamku dalam hati.

Ku tenggelamkan kepalaku ke dalam lipatan tanganku. Aku kembali menangis dalam kesendirian.

Di dalam isakanku aku berharap ada seseorang yang datang untuk menghiburku dan menenangkan aku. Akan tetapi, itu tidaklah mungkin terjadi karena aku di sini hanyalah sendiri.

Beberapa menit aku tenggelam dalam kesedihan, tapi tiba–tiba saja ada yang mengetuk kamar kosku.

Ku usap air mataku dan ku buka pintu kamarku.

Seorang perempuan yang seumuran denganku sedang berdiri di depan pintuku. Ku lemparkan senyuman kepadanya. Kemudian ku coba untuk menanyainya, “Iya, ada yang bisa saya bantu?”

“Apakah benar saya berbicara dengan Mbak Arin?” tanya perempuan itu.

“Ya,” jawabku dengan menganggukkan kepalaku.

“Mbak Arin, ada tamu di luar. Dia sedang menunggu Mbak Arin dan memintaku untuk menyampaikan kepada Mbak Arin.”

“Tamu?” tanyaku.

“Ya, namanya Mas Syarif …”

“Oh, iya. Terima kasih, ya.” Aku segera menutup pintuku dan setelah itu aku berlari untuk ke luar rumah.

Ku lihat Syarif sudah menungguku di halaman dengan duduk di bangku yang ada di sana. Aku berjalan untuk menghampirinya.

“Syarif, ada apa kamu ke sini?” tanyaku.

Syarif tersenyum dan kemudian berkata, “Entah mengapa aku tak bisa sebentar saja jauh darimu …”

Hatiku terkejut dengan apa yang di sampaikan Syarif, bahkan aku mulai bertanya–tanya dalam hati, apakah ada yang akan pergi dan di gantikan seseorang yang datang untukku?

Tak terasa air mataku kembali menetes. Aku tak tahu, apakah itu air mata kesedihan ataukah air mata kebahagiaan yang keluar begitu saja.

Di saat aku sedang menangis, Syarif mulai mendekatiku dan langsung saja memelukku.

“Kamu kenapa?” tanyanya.

Aku menggeleng–gelengkan kepalaku. Aku hanya mampu untuk menitikkan air mataku, tapi aku tak mampu untuk berucap, bahkan dadaku sendiri terasa sesak.

Syarif membelai–belai rambutku dengan halusnya. “Ceritakan kepadaku, apa yang tengah terjadi kepadamu. Mungkin, dengan kamu cerita kepadaku aku bisa membantu untuk mencarikan solusi untukmu.” Lagi-lagi Syarif bersedia untuk menolongku. “Jangan menangis, aku tak bisa melihatmu menangis. Mungkinkah aku sekarang tengah jatuh cinta kepadamu?” bisik Syarif kepadaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status