Share

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

Aku dan Syarif sudah ada di warung untuk melakukan sarapan. Aku juga sudah diantar untuk membeli kartu perdana oleh Syarif, bahkan kartu perdana yang baru saja aku beli masih saja aku pegang dan belum aku simpan di dalam tasku.

Kupermainkan kartu perdana yang masih ada di dalam bungkusnya itu sambil untuk menunggu makanan pesananku datang.

“Buat apa sih kamu membeli kartu perdana?” Lagi-lagi Syarif menanyaiku tentang kartu perdana yang baru saja aku beli.

“Cuma ingin ganti nomor saja,” jawab ku. Aku tidak mengatakan sejujurnya kepada Sarif karena aku aku masih belum siap untuk menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, kepada Syarif. Maklumlah aku dan Syarif masih baru saja kenal.

Syarif menatapku seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan. Akan tetapi, dia tidak menanyaiku lagi dan dia memilih diam.

Aku dan Syarif pun saling diam dan tidak ada pembicaraan lagi di antara kita sampai makanan yang kita pesan sudah disajikan di meja kita.

“Ayo, makan.” Syarif mengajakku untuk segera menyantap makanan yang ada di depan kita.

Aku yang mulai tadi merasakan lapar segera saja menyendokkan sendok ku ke makanan yang ada di hadapanku, bahkan aku hampir saja terlupa untuk membaca doa.

Aku makan dengan lahapnya karena mungkin aku yang sedang benar-benar terasa lapar dan ditunjang dengan masakan warung itu yang begitu lezatnya.

Tak membutuhkan waktu yang lama, aku dan Syarif pun sudah menyelesaikan sarapan pagi kita. Piring-piring di depan kita pun sudah tampak kosong, bahkan minuman yang ada di gelas pun sudah  tinggal beberapa teguk saja.

“Alhamdulillah.” aku tak lupa mengucapkan syukur ketika aku sudah merasakan kenyang.

Syarif tampak tersenyum melihatku kemudian dia mencoba untuk menanyaiku, “Bagaimana makanan di sini enak atau tidak?” Syarif meminta pendapatku.

Aku menganggukkan kepalaku dan mulai mengambil ponsel yang ada di tasku.

Aku mencoba untuk mengaktifkan ponsel yang sekarang ada di tanganku. aku ingin tahu, apakah ada yang sempat menghubungi atau mengirimkan pesan kepadaku.

Baru saja ponsel aku aktifkan banyak sekali notifikasi yang masuk kedalam ponselku. Panggilan telepon yang tidak terjawab dan juga pesan-pesan singkat.

kucoba untuk membuka log panggilan karena aku ingin tahu siapakah yang sudah menghubungi nomor ponselku ini. Ayah, Mbak Dea, Mbak Silvi dan Diana, mereka telah menghubungi ku kemarin. Akan tetapi, aku tidak ada keinginan sama sekali untuk membalas telepon mereka.

Sekarang ku non aktifkan kembali ponselku.

“Ayo, kita berangkat!” aku mengajak Syarief untuk berangkat ke mall guna mencari lowongan pekerjaan bagi ku. Sedangkan ponselku, aku taruh kembali ke dalam tasku. Aku tidak berniat untuk membaca pesan yang telah masuk ke ponselku untuk saat ini.

Syarif terdiam, dia tidak langsung mengindahkan ajakan ku. Dia malah sibuk menatap wajahku. Entah apa yang sedang dia pikirkan tentangku.

Aku membalas tatapan mata Syarif. “Ayo ...” ajak ku kembali.

Syarif baru beranjak dari tempat duduknya ketika aku mengajak dia untuk kedua kalinya.

Aku dan Syarif pun pergi ke mall untuk mencari lowongan pekerjaan untukku.

Aku menemukan beberapa toko pakaian yang memasang pengumuman bahwa mereka mencari pegawai baru. aku pun mulai mencatat persyaratan-persyaratannya agar aku tidak lupa. Aku pun berniat untuk memasukkan lamaran pekerjaan ku ke tempat-tempat tersebut.

Setelah aku rasa sudah cukup, akupun mulai mengajak Sarif untuk pulang. “Pulang, yuk!”

“Apakah urusanmu di sini sudah selesai?” tanya Syarif, “Apabila kamu masih ingin mencari lowongan pekerjaan yang lain, aku siap untuk mengantarkanmu.”

aku menggelengkan kepalaku. “Sudah cukup, sementara ini saja dulu. aku akan mencoba untuk memasukkan lamaranku ke tempat-tempat ini.”

“Baiklah kalau begitu aku antarkan kamu untuk pulang.”

Aku terdiam dan tidak langsung mengiyakan ajakan Syarif. Aku merasa tidak enak karena mulai tadi aku telah diantarkan oleh Syarif kemanapun. “Bagaimana kalau aku pulang sendiri saja? Toh rumah kosku ada di dekat sini. Aku bisa berjalan kaki.”

“Aku antarkan saja kamu agar aku merasa tenang. Jujur aku merasa tidak tenang apabila kamu berjalan sendiri seperti tadi malam.”

Aku benar-benar merasa senang ketika mendengar apa yang diucapkan Syarif barusan. Entah mengapa jantungku berdegup dengan kencang disaat aku menatap wajah Syarif untuk saat ini. Ah, mungkin aku terlalu berlebihan dan terlalu percaya diri untuk menilai bahwa Syarif menyukaiku.

“Baiklah.” Aku pun akhirnya menyetujui permintaan Syarif. Aku dan Syarif pun pulang ke rumah kostku yang terletak tak jauh dari Mall ini.

Hanya selang beberapa menit saja aku sudah sampai di depan rumah kostku. “Terima kasih, ya.”

Syarif menganggukkan kepalanya. “Kalau kamu ada apa-apa, kamu bisa menghubungiku.” Syarif mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya kemudian memberikannya kepadaku.

Setelah memberikan selembar kertas itu kepadaku, Syarif pun melajukan kembali motornya. aku melihat kepergian Syarif sampai benar-benar tak terlihat lagi.

Aku pun melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah kostku.

Saat aku sudah tiba di kamarku, aku pun mulai membuka kertas yang diberikan oleh Syarif kepadaku. Di dalam kertas itu ternyata bertuliskan nomor ponsel milik Syarif. Aku pun tersenyum-senyum karena aku akhirnya mendapatkan nomor ponsel laki-laki yang sangat memperhatikanku, meskipun aku dan dia baru saja mengenal.

Aku mulai mengambil ponselku kemudian aku mengingat tentang pesan singkat yang masih belum aku buka sama sekali.

Ku aktifkan kembali ponselku kemudian aku mulai membuka satu persatu pesan singkat yang telah masuk ke dalam ponselku.

Pesan pertama yang aku buka adalah pesan dari Mbak Dea. Dia menanyakan keberadaan ku dan juga memarahiku. Langsung saja aku tutup pesan dari Mbak Dea, karena hanya membuat beban dalam pikiranku saja.

Aku ganti membuka pesan dari Mbak Silvi, dia adalah mbakku yang satu lagi. Ku baca pesan dari Mbak Silvi. “Assalamualaikum Arin. Arin sekarang ada dimana? Mengapa tidak pulang ke rumah? Kasihan ibu, dia menangis terus karena menghawatirkan keadaanmu. Arin sayang, andaikata kita di hadapkan pada suatu masalah, ayolah kita bicarakan dan kita selesaikan baik–baik karena pelarian bukanlah jalan keluar yang baik hanya memperkeruh suasana saja. Pulanglah dik, kita semua sayang kepadamu.)

“Ibu ...” Air mataku mulai meleleh. Sungguh aku sedih bila harus memikirkan Ibuku terlebih lagi Mbak Silvi mengatakan kalau Ibu selalu menangisiku. Ingin aku menemui Ibu tanpa harus menemui Ayahku. Aku ingin menjelaskan kepada Ibu tentang keadaanku yang baik–baik saja agar Ibu tak lagi sedih memikirkan aku.

Air mata ini terus saja meleleh sedangkan pikiranku mencoba untuk mencari jalan keluar. Ah, mengapa tidak aku coba saja untuk membalas pesan dari Mbak Silvi hanya untuk memberikan keadaanku yang baik–baik saja.

Ku tuliskan kata demi kata pada aplikasi pesan singkatku. Hanya untuk memberitahukan bahwa diriku berada di tempat yang aman dan juga sedang dalam keadaan baik–baik saja. Aku pun tak lupa mengatakan salamku kepada Ibu dan juga pesanku kepadanya, supaya Ibu tak lagi memikirkan aku.

Ku kirimkan pesan itu ketika baru saja pesan itu terkirim tiba–tiba saja ponselku berdering. “Ayah?” Jantungku langsung berdegup dengan kencang, tanganku gemetaran dan keringat dingin mulai bermunculan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status