Bagian 29
“S-saya … janji. Tidak akan mengulangi semuanya … l-la-gi.” Terbata-bata Adelia berucap. Janji tinggal janji semata. Semua wartawan di depannya malah semakin menggila saja. Serbuan cemooh dari mulut mereka terdengar hingga ke televisi.
“Halah! Janjimu busuk, Del!” umpat Shintya geram.
“Paling-paling, kalau keluar dari sel dia ngulah lagi!” timpal Bi Dilah.
“Sudahlah. Kita doakan saja yang terbaik.” Mama, seperti biasa akan menenangkan kami agar tak berkomentar terlalu berlebihan. Namun, kegeraman kami tetap saja membara. Apalagi aku. Mulutku memang hanya diam, tapi sedari tadi kedua tanganku saling meremas kuat saking kes
Bagian 30 Kami semua berkumpul pagi-pagi sekali di ruang makan. Hidangan sudah siap sedia oleh tangan Bi Dilah yang cekatan. Aku dan Shintya juga ikut menemani beliau memasak sejak Subuh buta. Sengaja kami awal sekali bangun serta bersiap-siap sebab pukul 09.45 pagi pesawat kami sudah take off. Sementara pukul 07.30 ada waktu minimal untuk check in di bandara. Sekarang masih pukul 05.15 dan siap buat mengisi perut sebelum naik taksi ke bandara. Suasana di ruang makan masih agak tegang. Antara aku dan Mama, pastinya. Sejak kejadian tadi malam, aku belum juga teguran dengan beliau. Beliau yang lebih duluan cuek sekaligus mendiamiku. Aku pun belum mau juga mengajaknya berbicara. Bukan apa-apa. Aku masih agak jengkel. Sebab, kurasa bukanlah sebuah salah besar yang kuperbuat tadi malam. Aku masih agak keberatan dengan sikap Mama yang memarahi
Bagian 31Wartawan yang lain pun langsung menyerbu. Mereka semakin membabi buta bertanya. Namun, Mas Sofyan langsung menarik lenganku. Pria itu mengajak kami untuk menerobos kerumunan. “Maaf ya, semuanya. Kami harus beristirahat dulu. Besok kita ketemu lagi di Trens TV, ya,” ucap Mas Sofyan sopan sambil melambaikan tangannya ke depan para wartawan. “Mas, satu pertanyaan lagi. Kalau dibilang pebinor, Mas terima tidak? Soalnya, kan, Ibu Karmila masih bersuami.” Ya Allah, pertanyaan dari wartawan pria yang mengacung-acungkan kamera ponselnya tersebut membuatku sakit hati luar biasa. Akan tetapi, kami tak menggubrisnya. Aku terus berjalan dengan posisi tangan kiri yang menggandeng Syifa, sedang tangan kananku digandeng oleh Mas Sofyan. Ka
Bagian 32POV Author “Yak, jumpa kembali dalam Curahan Hati Wanita, Nggak Pake Rahsia-rahasiaan. Ahh!” Feni Melati selaku pembawa acara reality show CHW bangkit dari sofanya sambil membuat gerakan bibir seperti mendesah. Memang begitu geriknya apabila usai mengucapkan slogan acara mereka. ‘Nggak Pake Rahasia-rahasiaan, aah!’ Wanita bertubuh langsing dengan rambut lurus sepundak itu lalu menatap kamera dengan pulasan senyum yang menawan. Presenter berusia 42 tahun dengan celana panjang berwarna putih dan blus lengan terompet warna magenta itu lalu mulai berceloteh manja. “Gimana keadaannya pagi ini Buibu dan Pakbapak yang masih setia menonton saluran kebanggaan Indonesia, Trens TV selalu dinanti? Baik-baik pastinya, ya. Nggak ker
Bagian 33POV Author Haru yang biru terbit dalam sepanjang acara CHW di Trens TV. Cerita yang dituturkan oleh Tiffany panjang lebar telah membuat berjuta pasang mata kaum hawa yang tengah menonton di layar kaca, menitikan air mata sedih. Tak sedikit juga dari mereka yang geram dan langsung menjadikannya perbincangan hangat di sosial media. Taggar bertuliskan #SaveTiffany pun trending nomor tiga di Twitter dalam waktu singkat. Padahal, acara CHW masih berlangsung. Sungguh, Trens TV memang tak salah memilih bintang tamu Usai Tiffany bercerita, kini giliran Karmila. Perempuan yang hari ini mengenakan hijab syari menutupi hingga perutnya tersebut mulai menuturkan awal mula kejadian. Dimulai dari Faisal yang pamit untuk pergi perjalanan dinas, hingga telepon dari sang mertua. Bahkan, tim CHW yang telah mengumpulkan bukti rekam
Bagian 34POV Sofyan “Sofyan, kenapa tidak bilang Ibu kalau kamu mau masuk tivi? Semua teman-teman Ibu menelepon dan minta penjelasan! Astaga, kamu ini ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba tersangkut ke masalah rumah tangga orang segala?” Ibuku menelepon sesaat setelah acara di Trens TV selesai. Aku yang baru saja hendak mengganti kostum di ruang wardrobe, langsung minta izin pada tim penata busana untuk menyingkir ke toilet yang kebetulan tak begitu jauh dari sini. Dadaku berdegup-degup tak keruan. Bagaimana tidak, ini menyangkut masalah Ibu. Wanita yang paling kucinta dan memang tak kuceritakan tentang masalah yang sedang mendera. Pun mengenai sosok Mila yang sejak lama diam-diam kukagumi. Beliau pasti akan marah besar sebab mengetahui semuanya malah lewat media, bukan dariku.&
Bagian 35 [Usai 14 Bulan Ditahan, Pria Yang Nikahi Sepupu Sendiri Demi 100 Juta Kini mendekam di RSJ Akibat Depresi Berkepanjangan] Tautan berita dengan judul yang sangat mengejutkan itu baru saja masuk ke ponselku. Anisa yang mengirim. Aku yang tengah asyik duduk membaca buku di taman samping rumah, langsung menginterupsi bacaanku, dan memberikan perhatian besar pada berita tersebut. “Rumah sakit jiwa?” Aku tersentak. Memang sudah lama tak mengikuti kabar tentang Faisal sejak putusan majelis hakim Pengadilan Agama mengabulkan permohonan ceraiku setahun lalu. Hidupku hanya kufokuskan untuk mengurus Syifa dan suami keduaku, Mas Sofyan. Terlebih, saat ini aku sedang mengandung dengan usia kehamilan 11 minggu dan bulan lalu baru saja pindah ke rumah baru yang mengharuskanku buat bekerja agak keras untuk menata barang-barang kami. Mas Sofyan memang masih mempekerjakan Bi Dilah. Namun, barang terlalu banyak dan tenaga Bi Dilah saja tak akan cukup buat
“Bunda, kita mau ngapain ke rumah sakit jiwa?” Syifa bertanya dengan sangat polos. Gadis mungil lima tahun yang baru kami jemput dari sekolah taman kanak-kanak tersebut menunjuk plang besar di depan halaman parkir RSJ Waras Hati. Aku saling pandang dengan Mas Sofyan. Syifa yang enggan duduk di bangku belakang dan memilih duduk di pangkuanku itu lalu menarik ujung hijabku. “Bun, rumah sakit jiwa itu tempat orang gila kan, Bun?” Hatiku perih mendengarnya. Batinku entah mengapa terasa robek. Apakah keputusanku untuk membawa Syifa ke sini salah? “Bukan or
Kami bertiga berjalan sambil bergandengan tangan satu sama lainnya. Menyusuri lorong demi lorong untuk menuju ruang rawat inap di mana Mas Faisal meningap. Setelah bertanya kepada suster jaga yang duduk di meja paling depan koridor ruang rawat inap, kami pun tahu di mana Mas Faisal kini sedang menghabiskan harinya. Di ruang Anggrek Mas Faisal sedang menginap. Didampingi oleh seorang suster perempuan berpakaian serba putih, kami bertiga pun dituntun untuk memasuki pintu bercat cokelat dengan dinding putih yang sudah agak mengelupas dindingnya. Aku syok saat melihat Mas Faisal sedang berbaring di atas ranjang, dengan kondisi kedua tangan dan kaki yang terikat di ujung tempat tidur. “Ayah!” Syifa menjerit. Anakku itu langsung berlari menuju tempat di mana