“Bunda, Ayah sadar!” pekik Syifa bahagia. Gadis kecil itu menghambur ke arahku. Mendekap tubuhku erat-erat sambil tersenyum ke arah Mas Faisal.
“S-syi-fa ….”
Ya Allah, Mas Faisal menyebutkan nama anak kami. Suaranya lirih. Seperti orang menggumam, tapi aku bisa mendengar jelas bahwa itu adalah memanggil nama Syifa.
“Iya, Ayah. Syifa di sini. Ada Bunda juga. Ayah bangun, yuk? Kita main.” Syifa kembali mendatangi Mas Faisal. Menggenggam tangannya yang kurus, lalu menciumi punggung tangan yang menampakkan urat-urat berwarna hijau tersebut.
“M-mi-la ….”
Mas Faisa
Bagian 39 “Kita harus hubungi orangtuanya Faisal, Mil. Bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi anaknya.” Mas Sofyan berkata kepadaku seusai kami menjenguk Mas Faisal. Aku yang duduk di kursi depan, langsung terhenyak. Menghubungi Ummi dan Abi? Bukankah kata petugas rumah sakit dan orang lapas yang tadi menjenguk Mas Faisal nomor mereka tak aktif? “Kan, nomornya dibilangin nggak aktif, Mas,” ucapku sambil menarik napas. Aku sekilas melirik ke belakang. Syifa sudah terlelap di atas tempat duduknya sambil mengenakan sabuk pengaman. Sedari tadi dia sibuk bercengkerama dengan ayahnya. Kasihan anak itu, pikirku. Dia pasti sangat lelah karena sepulang sekolah memang belum istirahat. 
BAGIAN 40 “Eh, ayo pada masuk. Jangan berdiri di depan pintu saja.” Ummi langsung mempersilakan kami untuk masuk. Gerak-geriknya begitu canggung dan kikuk. Ketika aku dan Mas Sofyan memasuki ruang tamu milik Ummi, terasa olehku lantai yang berdebu. Bahkan kaki ini serasa menginjak butir-butir pasir yang kasar. Ya Allah, Ummi. Sudah tak lagi bersih sekaligus terawat istanamu sekarang. Sofa hijau emerald di tengah ruangan pun tampak tak secemerlang dulu kala. “Ummi, ini ada sedikit oleh-oleh.” Mas Sofyan meletakan bingkisan tadi di atas meja kaca di depan kami. Kulihat sekilas, Ummi tampak berbinar matanya. “Masyaallah, baik sekali kalian. Eh, siapa namamu? Ummi lu
BAGIAN 41 “Mila, Karmila mantan menantuku.” Abi memanggilku dengan suaranya yang serak. Degupan jantungku kian cepat tatkala terdengar derap langkah kaki sekaligus bunyi ketukan tongkat di ubin. Mau tak mau, aku mengangkat kepala. Terkesiap aku menatap sosok yang tengah dipapah oleh suamiku dan Ummi. Lelaki itu tampak sangat lesu, kurus, dan bahkan … rambutnya kini semakin tipis dan hampir botak penuh di bagian depannya. Ya Allah … ini Abi? Abi yang dahulu masih segar bugar dan tampak begitu gagah, mengapa kini berubah sangat drastis hingga aku hampir saja tak lagi mengenalinya. “A-abi ….” Aku memanggil beliau dengan suara lirih. Mulutku sempat menganga heran untuk setengah detik, tapi lekas kusadari bahwa keterkejutanku ini tentu tak akan membuat sosok Abi nyam
BAGIAN 42 Mas Sofyan sampai ke rumah kami tepat pukul 21.00 malam. Pria itu sejak siang mengurusi keperluan Mas Faisal dan memfasilitasi kedua orangtuanya untuk menjenguk putra semata wayang mereka. Aku sebenarnya tak enak hati dengan Mas Sofyan. Baik hati sekali pria itu. Dia rela berletih-letih di sela kesibukannya mengajar sebagai dosen, hanya untuk mengurusi orang lain yang bukan bagian penting dalam hidupnya. Kusambut kehadiran Mas Sofyan dengan penuh suka cita. Bahkan, Syifa yang sudah mengantuk pun, rela terjaga hanya untuk menunggu kehadiran sang papa sambungnya. “Papa! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa sambil menghambur ke arah Mas Sofyan. Bocah kecil itu memeluk papanya dengan sangat erat. Mas Sofyan yang bahkan belum bertukar pakaian sejak pagi itu pun
BAGIAN 43 Aku pagi-pagi sekali bangun. Bahkan sebelum azan Subuh berkumandang pun, aku memilih untuk membuka mata lebar-lebar meski sebenarnya aku masih agak mengantuk. Ya, mau bagaimana lagi? Perintah Mas Sofyan tak mungkin aku abaikan begitu saja. Apalagi ini menyangkut masalah saudara kandungnya. Gegas aku keluar kamar. Rumah terasa sunyi dan sepi. Bahkan pembantu kami, Bi Dilah, belum terjaga dari tidurnya. Aku pun berjalan menuju dapur. Membersihkan setiap sudut dapur yang sebenarnya sudah dibereskan tadi malam oleh Bi Dilah. Tak hanya membereskan dapur, aku juga menyiapkan bumbu-bumbu yang akan dipakai untuk memasak pagi ini. Bumbu yang kupakai semuanya kuulek sendiri. Tidak ada yang me
BAGIAN 44 Saat aku kembali ke kamar untuk salat Subuh, kudapati Mas Sofyan sudah bangun dan mengangkat telepon di atas ranjang. Pria itu duduk dengan muka yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan. Kutatap dia dengan penuh tanya di kepala. Siapa yang menghubungi suamiku pagi-pagi begini? “Iya, Mbak. Siap. Aku sudah pesan ke istriku untuk makanan yang mau pengen.” Ucapan Mas Sofyan membuatku tertegun sejenak di ambang pintu. “Siap, Mbak. Jam delapan aku sudah standby di bandara. Mbak Reva nggak usah khawatir nunggu lama di sana.” Mas Sofyan lantas melirik ke arahku. Dia mungkin sudah menyadari bahwa ada istrinya di ambang pintu sini. “Sini,” ucap Mas Sof
BAGIAN 45 Setelah mandi sambil sempat bersimbah air mata lara, aku keluar dalam keadaan telah memakai handuk di kepala dan kimono putih yang menutupi tubuh hingga lutut. Kulihat, Mas Sofyan turun dari ranjang kala melihat aku datang dengan langkah yang sedikit ragu. Pria itu menatapku. Tatapannya tampak teduh. Namun, tetap saja aku sedikit kikuk. Mengingat, di telepon tadi sikapku memang sangat kekanakan ketika berbicara dengan Mbak Reva. “Salat duluan, Mila. Aku juga mau mandi,” ucap Mas Sofyan. Bicara pria itu lembut. Dia juga terlihat senyum sambil menenteng handuk dan pakaian ganti. Aku yang sudah deg-degan kini mulai lega. Syukurlah, dia tidak marah, pikirku. “Iya, Mas. Aku salat duluan, ya.”&
BAGIAN 46 Akhirnya, dengan sedikit menaruh perasaan kesal, aku pun bergerak atas instruksi Pak Dosen tersayang. Gegas aku memasak di dapur. Membuatkan menu-menu makanan yang diminta oleh Mbak Reva—si ratu sejagad. Bi Dilah bukannya tak ikut jengkel. Walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga, tetapi beliau sudah seperti mamaku sendiri. Paham benar dengan apa yang tengah kurasakan. “Mbak Mila, sabar-sabar ya, Mbak. Semoga, kedatangan nyonya besar itu tidak membuat kita jadi semakin spaneng.” Bi Dilah menguatkanku saat beliau tengah fokus memasak rendang daging sapi dan sup iga di satu kompor yang sama. Sedang aku sendiri, tengah menghidangkan kepiting asam manis yang baru saja selesai kuangkat dari wajan.&n