BAGIAN 53 “Insyaallah nggak akan marah, Ummi. Ada apa, Mi? Aku sampai deg-degan dengarnya,” ucapku sembari memegang dada sendiri. “B-begini … Mil. Maaf ya, Mila sebelumnya. Ummi sama Abi kehabisan beras, gas, sama bumbu-bumbu dapur. Sedangkan, Ummi nggak pegang uang sepeser pun. A-apa boleh, Ummi pinjam uangnya Mila dulu?” Aku langsung mengembuskan napas lega. Oh, ternyata hanya mau pinjam uang, toh? Aku kira ada apa! Ummi membuatku terkejut saja. “Ya Allah, Mi. Ternyata, hanya itu masalahnya, toh?” tanyaku kepada Ummi. “I-iya, Mila. Ummi nggak enak mau ngomongnya ke kamu. Takut kalian risih. Soalnya, ini kan, masalah sensitif, Mila. Suamimu kira-kira ngebolehin nggak, ya?” Nada bicara Ummi terdengar sangat hati-hati. Dia pasti merasa sangat segan dan tak enakan. Apalagi, sekarang statusku bukanlah menantunya lagi. Namun, bagiku semua itu tidak ada masalah. Dia adalah nenek kandung dari anakku, Syifa. Apa salahnya untukku mem
BAGIAN 54 “Ckckck! Hebat kamu, Mila. Betul-betul hebat sekali. Mulutmu sangat membuatku terkejut, lho. Aku benar-benar syok rasanya!” ucap Mbak Reva sambil terus menerus menggelengkan kepalanya. Aku mendengus. Dia pikir, hanya dia yang syok? Dia pikir, cuma dia saja yang bisa menyudutkan orang lain dengan lidahnya yang setajam pedang itu? “Apa yang Mbak tuai adalah hasil dari apa yang Mbak tabur. Mbak lupa, seperti apa perkataan Mbak Reva barusan kepadaku? Kalau Mbak pengen aku hormat kepada Mbak, tolong lakukanlah penghormatan itu terlebih dahulu kepada lawan bicaranya Mbak. Maaf, di sini aku tidak mau berkelahi atau adu mulut.” Aku berucap dingin. Memperhatikan wajah Mbak Reva yang masih pias itu dari atas hingga ke bawah dengan ekspresi sengit. “Aku hanya ingin mengingatkan ya, Mila. Karma itu ada!” Aku terkekeh kecil. Aneh manusia ini. Apa-apaan dia membawa-bawa karma segala? Memangnya, aku habis melakukan apa?
BAGIAN 55 “Maaf ya, Mas. Sepertinya, dari ucapanmu ada yang salah dan membuatku kurang berkenan.” Kujawab dengan sangat sinis omongannya Mas Sofyan. Pria itu mendadak terkesiap. Ada penyesalan di air mukanya. “Bukan begitu—” “Bukan begitu apanya?” potongku bersungut-sungut. “Satu, aku tidak pernah memaksamu supaya menolong Mas Faisal. Dua, yang pertama mengajak untuk menemui dia di RSJ kan, kamu sendiri. Tiga, tolong jangan membuat aku yang seolah-olah sudah membebanimu dengan masalah ayahnya Syifa, ya! Sama sekali nggak apple to apple untuk membandingkan masalah Mbak Revamu yang berisik dan kurang ajar itu dengan masalahmu yang menolong Mas Faisal. Aku nggak suka kamu bikin seolah-olah aku punya utang budi yang besar gara-gara kamu menolong mantan suamiku, Mas!” Kutuding wajah Mas Sofyan tanpa ragu. Sebenarnya, aku enggan berbuat kurang ajar kepadanya seperti ini. Akan tetapi, rasa-rasanya ucapan Mas Sofyan yang tadi agak keterlalua
BAGIAN 56 Sehari sudah Mbak Reva berada di rumah kami. Setelah aku sempat bertengkar beberapa kali dengannya serta dengan suamiku sendiri, untungnya di pagi hari ini tak ada perdebatan yang begitu berarti. Aku bangun pagi-pagi, kemudian salat Subuh, tetapi tidak langsung turun ke dapur seperti kemarin. Kupinta izin kepada suamiku agar aku bisa beristirahat sejenak untuk berkutat di dapur. Mas Sofyan dengan penuh perhatian memberikanku izin. Dia bilang, aku bebas mau istirahat sampai jam berapa pun. Bahkan dia bilang kalau mau lanjut tidur lagi juga tidak apa-apa. “Kalau mau tidur lagi, ya tidur aja, Sayang,” ucap Mas Sofyan sambil mengusap-usap keningku. Pria yang baru selesai tadarus satu halaman Alquran itu menatapku manis. Sedang aku, tengah berbaring di atas kasur kami yang empuk sambil memainkan ponselku. “Nggak ah, Mas. Kan, nggak baik tidur habis salat Subuh. Aku baring-baring aja dulu, Mas. Nanti kalau masih capek, jam enam pagi baru tidur,”
Bagian 57 Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk tiga kali. Aku yang sedang enak-enaknya terlelap tidur demi mengusir lelah di tubuh, terpaksa harus membuka mata lebar-lebar. Terdengar, ketukan di pintu pun semakin cepat dan nyaring suaranya. Dahiku sampai mengernyit sendiri. Siapa yang dengan tidak sabarannya mengetuk pintu begitu? “Sebentar!” pekikku parau. Aku pun perlahan bergerak. Turun dari tempat tidur sambil mengucek-ngucek mata yang masih ‘sepet’. Refleks mulutku menguap lebar dan buru-buru kututupi dengan telapak. Masih mengantuk, pikirku. Padahal, pukul enam tadi pagi aku sudah tertidur saking lelahnya. Beginilah kalau sedang hamil muda. Syukur-syukur cuma capek dan ngantuk biasa. Untungnya tidak dengan drama mual muntah hingga masuk rumah sakit segala. Nauzubillah, sih! Ceklek! Aku membuka kunci kenop pintu. Sontak diriku kaget saat melihat Mbak Reva sedang memegang pergelangan tangan Syifa. Anakku sudah
Bagian 58 Aku menutup kembali pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kutuntun Syifa menuju ranjangku. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya sambil memanggul tas ransel berwarna pink. Sedari tadi, anak sulungku itu tak bicara. Wajahnya pun seperti sedih. “Syifa, Bunda minta maaf, ya. Tadi lama nggak nungguinnya?” tanyaku sambil duduk di samping Syifa. Kami berdua sama-sama duduk di atas ranjang. Kubantu Syifa untuk melepaskan jilbab seragam yang dia pakai. “Nggak kok, Bun. Cuma nunggu sebentar aja. Tadi, langsung dibawa sama Tante Reva makan. Terus dibeliin es krim sama cokelat juga. Tante Reva pas jemput Syifa baik banget, Bun. Bercanda juga sama Syifa. Cuma, kenapa pas sudah pulang jadi galak ya, Bun? Syifa jadi takut.” Kepala Syifa langsung kuraih dan kusandarkan dalam dekapanku. Aku semakin menyesal dan merasa bersalah saja sebab sudah membuat mentalnya terusik sebab kemarahan Mbak Reva barusan. Mbak Reva memang aneh. D
Bagian 59 Aku dan Syifa sudah selesai salat Zuhur berjamaah di kamar milik gadis kecil itu. Segera saja kutidurkan Syifa di atas ranjangnya. Tak memerlukan waktu lama, anak sulungku pun tertidur pulas setelah diselimutkan serta distelkan AC dengan suhu 23 derajat selsius. Gegas aku keluar dari kamar Syifa. Tentu dengan gerakan berjinjit supaya dia tidak kaget dan kembali terjaga. Setelah itu, aku berjalan cepat menuju ruang makan karena sudah merasa kelaparan yang teramat sangat. “Bi Dilah!” sapaku kepada pembantu setia kami yang ternyata tengah mencuci singkong di wastafel. Cukup banyak singkong yang dia cuci. Bonggolannya besar-besar. Mungkin kalau ditimbang nyaris sepuluh kilogram. Aku sampai kaget juga kenapa bisa ada singkong sebanyak itu. “Iya, Mbak Mila,” sahut Bi Dilah sambil menoleh. Raut wajah Bi Dilah tak tersenyum. Beliau malah terlihat lelah dan keringat di dahinya mengucur sebesar biji jagung. Lekas kudekati
Bagian 60 “Bercandamu itu sama sekali tidak lucu, Mil!” Mbak Reva terdengar sangat keki. Aku sih, mana mau peduli? Terserah dia mau bicara apa. Aku lanjutkan saja makanku tanpa mau menoleh ke belakang lagi. “Bi Dilah, Bi Dilah! Singkongnya udah dipotong-potong belum?!” Mbak Reva kemudian berteriak sekencang-kencangnya hingga telingaku terasa berdenging saking suara itu terdengar berisik. Kupandangi punggung Mbak Reva yang berjalan masuk ke arah pintu menuju dapur yang berada di sebelah timur. Aku hanya mengernyitkan dahi. Mbak Reva ini sangat-sangat tidak tahu diri. Kapan kiranya dia didepak suamiku dari rumah kami? Aku sudah muak dan bosan sekali melihat tingkah lakunya serta mendengar jerit demi jeritan tidak pentingnya. “Ini barusan dicuci, Mbak Reva. Baru mau dikupas sama dipotong-potong. Soalnya masih banyak tanah di kulitnya. Kalau dipotong langsung, bikin kotor talenan.” Terdengar olehku suara sahutan Bi Dilah. Suara itu jelas menunjukkan rasa kesal yang tertahankan. A