Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung.
"Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik.
Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."
Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh.
"Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya lebih gede dari di sini. Sebab tunjangannya banyak."
Revita pernah dengar kabar itu. Tapi rasanya tetap saja bikin bingung.
"Ini kesempatan, Revita. Kamu wanita cerdas sudah semestinya potensimu terus digali," imbuh supervisor bertubuh gempal itu.
Revita diam selama beberapa saat. Mencoba mengambil hal positif dari kejadian ini. "Tapi ini bukan karena bapak ingin membuang saya kan? Atau karena tenaga saya yang nggak dibutuhkan lagi di tim produksi?"
Pak Taufik tertawa. "Pikiranmu terlalu melantur, Revita. Kamu beruntung di sini. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Percayalah di pusat lebih baik daripada di anak cabang."
Supervisor itu terus meyakinkan. Puncaknya Revita akhirnya memutuskan untuk pergi ke pusat dan menandatangani pembaharuan perjanjian kerja. Teman-teman setimnya melepas Revita dengan tangisan. Padahal gedung tempatnya bekerja hanya bergeser beberapa ratus meter saja. Artinya mereka masih bisa bertemu kalau ingin.
"Sering-sering main ke sini."
"Jangan lupakan kami. Nanti di sana jangan sombong-sombong."
"Betah-betah ya di sana, Rev. Bejo banget sih kamu. Denger-denger di sana cowoknya ganteng-ganteng. Siapa tahu saja kamu ketemu jodoh."
Ucapan perpisahan teman-temannya membuat Revita sedih sekaligus geli. Dia sangat yakin bakal merindukan mereka.
Sekarang, pagi ini dia menginjakkan kaki di gedung baru. Masih satu induk perusahaan cuma sekarang dia berada di pusat setelah sebelumnya di cabang. Dan yang pasti dia bukan lagi mengurusi soal produksi dan operator. Dia akan bekerja di ruang full AC dan selalu menghadap komputer. Tidak ada lagi kegiatan berkeliling line produksi untuk mengawasi operator. Membayangkan saja sudah membosankan, monoton.
Kantornya ada di lantai 25. Terlalu tinggi. Lima lantai lagi tempatnya orang-orang penting perusahaan. Sebenarnya Revita agak cemas. Bekerja di pusat itu artinya peluang berjumpa dengan petinggi perusahaan ini lebih banyak daripada di cabang. Revita tidak suka bertemu dengan orang-orang itu. Dia sudah mati kutu duluan. Berhadapan dengan mereka dia merasa kecil. Katakanlah nyalinya ciut, tapi itulah yang dia rasakan.
Revita disambut baik oleh seorang wanita cantik yang sudah menunggunya di lobi saat dia bertanya kepada seorang resepsionis yang ada di front desk. Wanita itu mengenalkan diri sebagai Ayu, dari bagian pengembangan.
"Yuk, aku antar ke kantor kamu," ujar wanita itu setelah perkenalan mereka usai.
Revita dan Ayu memasuki lift setelah sebelumnya menempelkan ID card pada sensor. Tidak sembarangan orang bisa melewati lift tersebut. Hanya karyawan di gedung ini saja yang bebas masuk menggunakan lift tersebut.
"Nanti, Mbak Revita akan dibantu rekan kerja di sana. Jangan sungkan bertanya kalau ada yang nggak paham, ya," ujar Ayu lagi.
Revita tersenyum tipis dan mengangguk. Dia sedikit melirik dandanan wanita di sampingnya. Ciri khas wanita karir banget. Meskipun Revita sudah menyesuaikan, dia merasa tidak sepadan. Dia biasa mengenakan baju kasual, lalu saat memasuki pabrik, berganti dengan seragam produksi.
Beruntung dia memiliki pakaian formal yang sempat dibelinya beberapa tahun silam ketika masih di Surabaya.
"Mbak beruntung deh bisa ditempatkan di divisi yang biasanya CEO sering datang dan mantau," ucap Ayu.
Kabar itu cukup membuat hati Revita mencelus. Apanya yang beruntung? Didatangi petinggi perusahaan bagi Revita itu musibah. Dia paling sebal kalau orang-orang penting di pabriknya mengaudit gedung produksi. Sibuk dan ribut.
"Kenapa beruntung, Mbak? Bukannya itu horor?" tanya Revita meringis.
Wanita dengan sanggul kecil di sampingnya terkekeh. "Ya enggak dong. Wanita-wanita single pasti pada menanti kedatangan CEO kita. Jangan bilang kamu belum pernah melihat CEO kita."
Revita menggeleng. CEO-nya yang mana juga dia tidak tahu.
Ayu menutup mulutnya dengan tangan. Matanya yang mengenakan maskara tebal membulat. "Serius? Wah, kalau begitu kamu harus lihat nanti. Dijamin kesengsem. Jangankan yang single, yang udah double aja demen."
Revita meringis. Wanita dengan makeup natural itu jadi memikirkan CEO-CEO ganteng yang ada di Drama Korea.
"CEO kita itu gantengnya luar biasa. Ditambah lagi dia belum pake cincin alias masih available."
Revita lagi-lagi hanya meringis. Dia trauma sama lelaki ganteng. Jadi, dia tidak terlalu tertarik.
"Nama CEO kita itu Gavin, nggak semua beruntung bisa melihat dia meskipun bekerja dalam gedung ini."
Gavin? Nama yang tidak asing di telinga Revita. Mendadak dadanya berdebar. Dia mengenal seseorang bernama Gavin, tapi tidak mungkin Gavin yang sama. Gavin yang dia kenal mungkin sudah menikah dan memiliki anak. Bukan pria single seperti yang Ayu ceritakan.
"Oh gitu, ya, Mbak." Hanya itu tanggapan Revita. Sama sekali tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Revita bersyukur teman-teman satu divisinya menyambutnya dengan baik. Dia juga memiliki job desc yang tidak terlalu sulit dan memusingkan.
"Siap berjuang bersama kan?" tanya Rafa, rekan kerja barunya yang beberapa menit lalu baru mengenalkan diri.
"Revita mah nggak bakal pusing. Tapi harus siap bantu apa yang kami butuhkan ya," sahut Dany.
Selain Rafa dan Dany ada tiga orang lainnya yang akan bekerja sama dengan Revita. Tidak lupa manajernya, Pak Ferdy, lelaki bertampang jenius dengan kacamata berbingkai tebal. Umurnya bisa Revita taksir masih sekitar tiga puluhan. Masih muda dari penampilan dan wajahnya.
Revita bersyukur semua tampak ramah dan menyambutnya dengan baik. Rasa tidak nyaman menjadi karyawan baru perlahan sedikit berkurang. Dia tetap harus mawas diri di tempat dan suasana baru ini.
Hari kedua bekerja Revita dikejutkan dengan penemuan sepuluh tangkai mawar merah di atas meja kerjanya. Revita yang baru datang celingukan. Mencoba mencari seseorang untuk menanyakan tentang munculnya mawar tersebut. Namun, selain dirinya belum ada staf lain yang datang.
Dengan bingung dia mengambil mawar-mawar itu dan menelitinya.
"Wuih, anak baru dapat mawar nih," celetuk seseorang membuat Revita mengalihkan pandang. Wanita 27 tahun itu menoleh dan mendapati Dany serta Arum masuk.
"Mawar dari siapa, Rev?" tanya Dany menuju tempatnya.
"Gue nggak tau. Pas datang tiba-tiba ada," sahut Revita dengan wajah polos.
"Gue rasa Revita punya penggemar rahasia di kantor kita." Arum berasumsi.
"Gue nggak kenal siapa pun di sini selain kalian. Itu pun kenalnya baru kemarin. Kayaknya ini salah kirim. Buat lo mungkin ini, Mbak." Revita meraup semua mawar itu dan mengangsurkannya pada Arum.
"Mustahil buat gue, sih. Kan gue udah punya laki." Arum nyengir lalu terkekeh. "Tapi kalau lo nggak mau, sini deh buat isi vas gue."
Revita menyerahkan sepuluh mawar itu. Dia tidak akan mempersoalkan hal itu seandainya cuma hari itu saja mawar itu ada di mejanya. Namun, hari-hari berikutnya mawar-mawar lain ikut bersusulan. Benar-benar aneh.
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg