Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.
Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan.
Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa.
Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah.
"Apa dia putus kuliah?" gumamnya sambil membuka lembar selanjutnya. Di lembar selanjutnya Gavin nyaris teriak ketika melihat status perempuan itu yang masih lajang.
Dia sampai harus menengok kiri kanan, padahal jelas-jelas di ruangan itu dia hanya sendiri. Gavin berdeham selama beberapa saat, lalu kembali tersenyum melihat pas foto 4x6 dengan background warna merah.
"Baik dulu atau sekarang dia terlihat imut dan cantik," ucapnya bermonolog.
Lalu hal selanjutnya yang dia lakukan menghubungi orang HRD untuk meminta mereka memindahkan Revita ke pusat. Wanita itu harus ditempatkan ke bagian yang lebih baik daripada staf leader.
Mungkin ini terdengar konyol, tapi Gavin merasa ini cara terbaik untuk mendekati wanita itu lagi.
Untuk saat ini Gavin harus bersabar, karena tidak ingin mengejutkan Revita secara tiba-tiba. Jika waktunya tepat, dia akan muncul di depan wanita itu. Meskipun dia sudah tidak sabar membayangkan reaksi wanita itu saat mereka bertemu nanti.
Pukul empat sore mobil SUV Gavin mampir ke sebuah SPBU yang tidak jauh dari kantornya karena merasakan perutnya melilit.
Ketika sedang memakai sepatu sehabis menunaikan hajatnya, dia melihat gadis penjual bunga itu lagi. Gadis itu tengah menghitung sisa bunga-bunganya di keranjang. Refleks hal itu membuat pria 33 tahun itu tersenyum.
Gavin mendekati gadis itu. "Laku berapa hari ini?" tanya dia, membuat gadis itu mengangkat wajah.
"Eh, Om ganteng pemborong bunga," sahut gadis itu nyengir. Cengirannya benar-benar mengingatkan Gavin pada Revita. "Masih banyak, Om. Hari ini nggak terlalu ramai. Mungkin karena bukan hari Sabtu."
Gavin menaikkan alis. "Memangnya kenapa kalau bukan hari Sabtu?"
"Karena kan kalau hari Sabtu malamnya malam Minggu. Biasanya banyak orang pacaran malam Minggu kan, Om."
Kekehan kecil Gavin meluncur mendengar alasan anak kecil itu. "Kamu bener juga. Ya udah kamu jualnya pas hari Sabtu aja."
Bibir anak itu mencebik. "Kalau aku jualnya hari Sabtu doang duitnya nggak kumpul banyak."
"Apa kamu sedang menginginkan sesuatu dengan uang yang kamu kumpulin?"
Dengan mantap gadis bermata cokelat itu mengangguk. "Aku ingin ngumpulin banyak uang, biar mama nggak usah kerja lagi. Jadi bisa temani aku bermain terus."
Agak terkejut Gavin mendengar harapan anak itu. Di usianya, sudah berpikir sejauh itu.
"Mama kamu kerja? Papa kamu gimana?"
Gadis kecil itu menggeleng dan tersenyum kecil. "Aku nggak punya ayah. Tapi aku selalu berdoa sama Tuhan, biar bisa punya ayah. Kata mama sih ayahku sudah meninggal."
"Maaf, Gadis Kecil. Aku nggak tahu soal itu." Gavin merasa iba mendengar penuturan anak itu.
"Iya. Nggak apa-apa, Om." Tiba-tiba gadis itu menatap langit. "Udah sore, bentar lagi pasti Mama pulang. Aku juga harus segera pulang." Dia lantas berdiri dan tak lupa membawa keranjang bunganya.
"Sini, Om, beli sepuluh bunga lagi."
Sontak saja itu membuat iris cokelat si gadis berbinar. "Wah, beneran, Om? Pasti mau buat cewek yang kemarin itu kan, Om?"
Gavin hanya tersenyum, sementara tangannya merogoh saku celana, mengambil dompet. "Sepertinya nggak. Yang kemarin itu gagal. Kali ini buat cewek lain."
"Wah, cewek Om banyak."
Pria beralis tebal itu tak tahan untuk tidak tertawa mendengar ocehan gadis itu.
"Semoga cewek kali ini berhasil ya, Om."
"Oke, makasih. Ngomong-ngomong siapa nama kamu?" tanya Gavin.
"Nama aku Reina, Om. Kalau Om siapa?"
"Gavin."
Pertemuan dengan si gadis kecil penjual bunga yang ternyata bernama Reina itu pun berakhir. Gadis itu segera berlalu membawa keranjang dan sisa-sisa bunganya yang tinggal beberapa.
Entah kenapa, Gavin merasa terhibur mengobrol dengan Reina. Dia juga merasa dekat dengan anak itu, padahal baru dua kali bertemu.
***
"Sepuluh mawar?" tanya Vania ketika menerima bunga dari Gavin.
"Pastikan itu ada di meja staf baru itu," ucap Gavin, menunjuk samar bunga-bunga yang sudah Vania peluk.
Meskipun heran sekretaris itu mengangguk. Seumur-umur menjadi sekretaris Gavin Adhiyaksa, dia tidak pernah mendapati pria itu melakukan hal konyol seperti itu. Hal itu membuat penasaran Vania, secantik apa staf baru itu. Sepertinya Gavin si manusia batu itu mulai meleleh.
Gavin tersenyum membayangkan pertemuannya dengan Revita setelah hampir delapan tahun tidak bertemu. Banyak ganjalan di kepala yang ingin dia tanyakan. Tanda tanya besar yang sudah mengganggunya tentang alasan kepergian Revita yang tiba-tiba. Bukan hanya tiba-tiba, wanita itu pergi tanpa pamit. Di saat dirinya tengah melakukan perjalanan bisnis.
Saat itu Gavin merasa semua baik-baik saja. Sebelum melakukan perjalanan, dia sempat berpamitan pada Revita, dan gadis yang saat itu baru berusia 19 tahun itu berjanji akan menunggunya pulang. Namun, ketika kembali dari perjalanan bisnis, Revita dan ibunya sudah tidak ada di rumah keluarganya.
"Apa Revita nggak ninggalin pesan apa pun buat aku, Ma?" tanya Gavin kepada Melinda ketika dia tidak menemukan batang hidung Revita saat itu.
Melinda menggeleng dan tampak cuek. "Bi Ayun bilang Revita akan dinikahkan dengan seorang pemuda di kampungnya."
Mata cokelat itu memicing mendengar ucapan sang mama. Jelas Gavin tidak percaya begitu saja. Selama ini Revita tidak pernah menceritakan apa pun menyangkut perjodohan itu.
"Itu nggak mungkin, Ma. Revita bilang dia mencintai aku."
Melinda melotot, kegiatan membaca majalahnya terhenti sesaat. "Kamu jangan bicara sembarangan, Gavin. Orang-orang seperti mereka tidak layak mencintai orang seperti kita!" hardik Melinda tak terima.
"Kenapa Mama bicara begitu? Asal Mama tau, kami saling mencintai. Siapa pun Revita, aku mencintai dia."
Ucapan Gavin membuat Melinda naik pitam. Wanita yang melahirkan Gavin itu mengomeli habis-habisan putranya tersebut.
Sejak saat itulah, Gavin tidak pernah bertemu dan berhubungan dengan Revita lagi. Wanita itu dan ibunya bak hilang ditelan bumi. Jejaknya sama sekali tidak bisa Gavin cari. Sampai dengan seminggu lalu ketika dirinya masuk ke gedung produksi.
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg