Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran.
Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini.
Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya.
Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib ikut.
"Gue belum telat kan?" tanya Revita begitu batang hidungnya nongol.
Rafa melambaikan tangan dan memintanya mendekat. Pak Ferdy terlihat lebih serius dari biasanya. Kabarnya hari ini dia akan mempresentasikan hasil pengembangan tim.
"Saya nggak akan bicara banyak sebenernya. Tapi seperti biasa produk baru pasti akan mengundang kedatangan CEO ke sini. Meskipun nggak menutup kemungkinan beliau bisa datang kapan saja. Pesan saya, tolong jangan banyak bercanda setidaknya untuk beberapa hari ke depan," ujar Pak Ferdy.
Ujung mata Revita melirik teman-temannya. Selama sepuluh hari di sini dia lumayan tahu karakter mereka. Mbak Arum, si mungil yang sudah punya anak satu itu agak ceriwis, tapi logis. Rafa, pria berkulit putih dengan hidung mancung itu memiliki sikap yang sistematis, meskipun dalam bercanda agak freak bagi Revita. Lalu Dany, dia juga asyik. Serius dalam bekerja dan ramahnya bisa bikin wanita salah paham. Terakhir, Ilham dan Dona, mereka sepasang kekasih. Belakangan Revita baru tahu. Walaupun begitu mereka profesional, jarang banget keduanya mengumbar kemesraan yang bikin perut mual. Intinya dalam bekerja, tidak ada yang tidak serius.
"Vania ikut ke sini juga kan, Pak?" tanya Dany, lalu nyengir.
Pangkal hidung Pak Ferdy mengernyit. "Biasanya sih gitu. Tapi nggak tau juga."
Mbak Arum mencibir. "Ah, lo. Prospek terus dapat kagak."
"Namanya juga usaha, Mbak."
"Kayak nggak ada cewek cantik aja sih, Dan. Tuh, Revita aja masih single. Iya nggak, Rev?" timpal Rafa, tapi justru membuat Revita gelagapan.
Dany otomatis menengok Revita dan menyeringai. "Dia kan punya penggemar rahasia. Gue curiga Pak Ferdy deh yang kirim bunga tiap pagi."
Yang dituduh menaikkan alisnya. "Saya? Daripada ngasih bunga-bungaan mending kasih cincin langsung." Pak Ferdy menyahuti candaan Dany yang langsung disambut koor panjang dari yang lain, kecuali Revita yang hanya bisa meringis kikuk.
"Manajer mah kelasnya beda," komentar Dona sembari menyenggol lengan Ilham di sebelahnya.
"Ya iyalah, Don. Emang cungpret macam Ilham, dikawinin iya, dinikahin kagak," timpal Rafa lalu tertawa.
Ilham di tempatnya melotot. "Mulut lo ya."
Revita heran, ini kenapa jadi rame dan malah membahas hal receh?
"Ini kita lagi meeting kan?" tanya Revita sambil garuk kepala, berusaha mengembalikan fokus mereka.
"Ah, kan. Out of topic lagi. Ayo, kita lanjutkan rapat kita," ujar Pak Ferdy, dan langsung disambut gelengan kepala oleh Revita.
Nyaris saja wanita berhidung runcing itu memutar bola mata melihat kelakuan manajernya. Dia yang minta serius, malah dia yang mancing bercanda.
***
Derap langkah bersusulan terdengar di lorong departemen. Semua kepala celingukan lalu sejurus kemudian kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada bisik-bisik yang Revita dengar dari beberapa rekannya. Sebagian memberi kode dan sebagian lain menerima kode dengan tanda oke pada jari-jari mereka.
Revita yang tengah sibuk mengetik data analisa hasil riset yang Rafa kirim ke email tidak terlalu peduli dengan kelakuan mereka. Namun, dari tempatnya dia bisa mendengar suara Pak Ferdy tengah menjelaskan sesuatu dengan lantang. Rombongan CEO itu sepertinya sudah tiba.
"Kami sudah melakukan riset pasar dan juga riset produk, Pak. Seperti biasa kami hanya akan menggunakan bahan baku yang berkualitas dan citra rasa yang ikonik," terang Pak Ferdy.
Revita bisa merasakan rombongan mereka ada di belakangnya. Tengah diskusi.
"Bagaimana dengan harga?" tanya seseorang, entah siapa. Namun, Revita merasa familier dengan suara itu.
"Kompetitif seperti biasa, Pak. Satu lagi, Pak. Kami berusaha membuat ini bisa dikonsumsi oleh semua umur."
"Bisa saya lihat hasilnya?"
"Tentu."
Rombongan itu kembali berjalan. Entah berapa orang, yang jelas lebih dari tiga. Revita yakin. Dia sama sekali tidak berani melirik ke belakang.
Mereka masih berdiskusi ketika siku Revita tanpa sengaja menyenggol sesuatu. Vas berisi satu tangkai mawar! Kontan tatapnya melebar. Dia terlambat menyelamatkan benda itu, hingga menimbulkan suara keras saat vas itu akhirnya membentur lantai.
Refleks Revita memejamkan mata. Dia sangat yakin ini akan mengundang perhatian. Dengan cepat wanita itu memundurkan kursi lalu bergerak turun ingin memunguti pecahan vas bunga yang sudah hancur.
Revita berjongkok dan tangannya hendak mengambil pecahan yang paling besar. Namun ....
"Stop, itu bahaya."
Revita mendongak. Dan seperkian detik waktu berselang seseorang sudah berada di hadapannya tengah berjongkok seperti dirinya. Dengan sapu tangan orang itu memunguti serpihan vas tersebut.
Tidak seperti orang itu yang tampak tenang sambil memunguti pecahan kaca, Revita terdiam. Dia tertegun menatap sosok di hadapannya. Tubuhnya bahkan mendadak kaku. Dia bergeming alih-alih membantu orang itu memunguti pecahan kaca.
Namun, tidak lama seorang office boy membantu membersihkan pecahan vas bunga.
"Lain kali hati-hati," ucap orang itu seraya mengambil tangkai mawar yang tergeletak di lantai, dan memberikannya pada Revita. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat sebelum tubuh Revita jatuh terduduk. Setelah tertegun, dia mendadak syok.
"Revita, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Ferdy mendekat.
Baik-baik saja? Rasanya tidak setelah ini. Kalau bisa Revita ingin menghilang dari tempat ini sekarang juga.
Orang di depan Revita hendak membantu berdiri, tapi secara refleks wanita itu menolaknya. Revita berusaha berdiri sendiri meskipun dua kakinya terasa lemas.
"Biar aku bantu, Re." Orang di depannya berujar lagi. Tangannya kembali terulur, tapi lagi-lagi Revita menolak, sedikit menepis tangan itu.
Wanita itu malah memilih menyambut uluran tangan Pak Ferdy ketika lelaki itu mencoba membantunya berdiri.
"Kamu sakit, Rev?" tanya Pak Ferdy melihat muka Revita yang tampak pucat.
Revita melirik sosok lain yang ada di dekatnya sesaat lalu menggeleng. "Saya tidak apa-apa, Pak," ujar Revita lirih. "Saya akan bekerja lagi." Dia lantas duduk dan kembali menghadap layar komputer dengan kepala yang mendadak berat.
"Pak Gavin, kita bisa lanjutkan ini?" Sebuah suara menginterupsi lalu aktivitas kembali seperti semula.
Namun, ada yang tidak bisa kembali menemukan fokusnya. Revita. Wanita itu benar-benar terkejut melihat pria itu lagi. Pria yang pernah memberikan sejuta cinta dan perhatian. Pria yang membuatnya punya mimpi. Pria yang pernah membuatnya nyaris gila menjalani takdir.
Gavin. Revita sama sekali tidak pernah menduga jika Gavin adalah CEO tempatnya bekerja. Fine, dia tahu nama itu, tapi dia tidak menyangka saja Gavin itu adalah orang yang dia kenal.
Tunggu dulu. Jangan bilang sekarang dirinya bekerja di perusahaan keluarga Adhiyaksa? Kepala Revita makin berdenyut kencang memikirkan itu.
Dia mengusap wajah. Tangannya terasa dingin menyentuh kulit wajah.
"Kenapa aku harus bertemu dia lagi?" keluhnya, lirih.
=====≠=================
Halo, teman-teman. Selamat datang di cerita baruku. Udah move on belum dari pesona series? Wkwk. Aku harap kalian dengan rela hati meramaikan cerita ini seperti cerita-ceritaku sebelumnya.
Kutunggu review bintang lima kalian di cover depan ya. Happy reading!
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg