DELAPAN TAHUN LALU
=====================
Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh.
Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur.
Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran.
Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.
Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian sambil menari diiringi musik tanpa beban. Anehnya, Gavin malah terpaku dan tidak bergeser dari ambang pintu. Dia seolah menikmati apa yang gadis itu lakukan.
Sudut bibirnya perlahan terangkat. "Lucu," gumamnya. Meskipun dia belum bisa melihat dengan jelas rupa gadis itu.
"Mas Gavin?"
Sebuah suara menegurnya dari balik punggung. Serta merta Gavin menoleh dan mendapati Bi Ayun, salah satu asisten rumah tangga ibunya yang tampak baru pulang dari pasar.
"Kok di sini? Imah udah nyiapin sarapan belum?" tanya Bi Ayun dengan wajah heran melihat tuannya ada di belakang. Tempat yang seharusnya tidak lelaki itu injak.
"Belum, Bi. Tadi aku haus makanya turun." Gavin mengulas senyum lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada si gadis yang saat ini malah mengambil selang air dan menyemprotkan air ke tubuhnya sendiri. Gavin terperangah sesaat, lalu kekehannya meluncur.
Bi Ayun yang sedang meletakkan belanjaannya bingung melihat tingkah anak majikan itu.
"Mas Gavin lagi lihat apa?" tanya perempuan paruh baya itu.
"Itu Bi, ada cewek lagi nari-nari sambil jemur pakaian. Dia siapa, Bi? Kok aku baru lihat?" tanya Gavin menunjuk samar area jemuran di halaman belakang.
Bi Ayun kontan terperanjat. "Astaghfirullah! Maaf, Mas saya permisi."
Dengan langkah tergopoh-gopoh Bi Ayun keluar melewati pintu dan menghampiri si gadis. Dia mematikan musik yang berasal dari tape recorder, lalu menghampiri si gadis dan menjewer kupingnya.
Adegan yang Gavin lihat selanjutnya, Bi Ayun memarahi gadis yang sudah basah kuyup itu.
"Astagfirullah, Rev. Berapa jam kamu jemur pakaian? Masa sampai ibu pulang belum selesai juga? Dan apa ini?" Bi Ayun menarik ujung baju gadis itu. "Malah main air. Lihat itu, jemuran yang udah dikeringin malah basah lagi. Kamu itu ya, suruh kerja malah main-main. Kalau Nyonya lihat gimana?"
"Kan Nyonya ada di luar negeri, Bu," jawab si gadis.
"Jawab aja kalau dibilangin! Dan ini!" Bi Ayun menunjukkan tape recorder yang sudah dia tenteng. "Ibu sita sampai waktu yang nggak bisa ditentukan."
Wajah si gadis berubah memelas. "Jangan dong, Bu. Aku nggak bisa hidup tanpa tape itu."
"Halah lebay, nggak bisa hidup gundulmu kuwi. Kamu nggak malu jingkrak-jingkrak begitu dilihatin Mas Gavin?"
"Hah?" Si gadis melongo, lalu tatapnya bergulir ke arah rumah dan melihat sosok pria yang tengah berdiri di ambang pintu.
Gavin tersenyum kecil dan melambaikan tangan. Namun, tampak disambut kaget oleh gadis itu.
"Masuk, ganti bajumu, sana! Biar ibu yang beresin jemurannya," ujar Bi Ayun keras.
"Iya, Bu." Si gadis memeluk tubuhnya sendiri lalu berjalan. Hanya saja dia tampak bingung ketika hendak masuk karena Gavin masih ada di sana.
Gavin yang masih memperhatikannya tersenyum kecil. Dari percakapan mereka yang didominasi omelan Bi Ayun, Gavin bisa menyimpulkan kalau gadis itu anak dari asisten rumah tangga itu.
"Kamu anak Bi Ayun?" tanya Gavin ketika langkah kecil gadis itu hanya berjarak beberapa meter darinya.
Gadis yang bisa Gavin perkirakan masih umur anak sekolahan itu mengangguk.
"Siapa nama kamu? Udah lama di sini?" tanya Gavin lagi.
"Saya Revita, Mas. Saya tinggal di sini baru enam bulan," jawab gadis itu dengan pandangan menunduk.
"Ooh, aku baru lihat kamu."
Setelahnya Gavin memberi gadis bernama Revita itu jalan.
"Permisi, Mas." Revita lantas melewati anak dari majikan ibunya yang baru dua Minggu lalu pulang dari Amerika.
"Revita," panggil Gavin, membuat Revita serta-merta berbalik.
"Ya, Mas?" tanya gadis itu dengan suara polos yang terdengar menggemaskan di telinga Gavin.
"Tarian kamu tadi bagus. Aku suka."
"Hah?"
Gavin tersenyum, dan detik berikutnya dia bisa melihat wajah cantik Revita bersemu dan menunduk.
Revita tampak salah tingkah lalu buru-buru kabur dari hadapan Gavin. Membuat kekehan pria 25 tahun itu mengudara.
***
Gavin baru akan mengeluarkan mobil ketika melihat sosok Revita keluar dari pintu samping rumah. Gadis itu terlihat buru-buru sembari memeluk sebuah buku. Sesekali membenarkan letak tas punggung yang talinya melorot dari bahu.
Sepertinya gadis itu tidak melihat anak majikannya di depan pintu hingga dia terus berjalan menuju gerbang rumah.
Senyum tipis Gavin terukir, lantas bergegas menuju mobil. Dia memundurkan mobil dengan mulus sampai keluar gerbang. Berhenti sesaat menoleh ke arah perginya Revita. Setalah menemukan punggung gadis itu yang berjalan menjauh, dia kembali melajukan mobil dengan pelan.
Revita terperanjat ketika mendengar suara klakson mobil dari belakang. Dia refleks menyingkir dari bahu jalan ke trotoar, dan membiarkan pengendara mobil itu melewati jalan yang dia lalui. Namun, mobil itu malah menepi alih-alih terus jalan.
Gadis berkucir satu itu tak ambil pusing dan memilih lanjut berjalan. Dia sudah sangat terlambat.
"Revita!"
Punggungnya berjengit lantas memutar badan ke belakang. Alisnya berkumpul saat melihat orang yang memanggil. Dan dia sedikit terperangah ketika menemukan Gavin menyembulkan kepala dari jendela mobil.
"Revita, mau kuliah?" tanya Gavin.
Revita gelagapan dan spontan mengangguk.
"Ayo, ikut mobilku saja."
Lagi-lagi Revita terperangah lalu menggeleng cepat. "Ng-nggak usah, Mas. Saya naik angkot aja di depan."
"Setelah naik angkot, kamu perlu naik bus juga kan?" tanya Gavin tampak tidak membiarkan Revita lepas begitu saja. "Aku tau kamu lagi buru-buru. Jadi, apa salahnya kamu terima tawaranku? Kenapa? Mobilku kurang bagus?"
Gadis 19 tahun itu tampak terkejut, lalu dengan cepat menggeleng. Ekspresinya benar-benar menggemaskan di mata Gavin.
"Yuk!" ajak Gavin lagi, setengah memaksa.
Revita terlihat menyerah. Dia akhirnya menuruti ajakan Gavin, ketika lelaki itu membukakan pintu bagian kiri untuknya. Gavin tidak sadar jika dada gadis itu berdebar tak karuan.
Bagaimana tidak? Sejak kedatangan lelaki itu di rumah besar keluarga Adhiyaksa, Bi Ayun melarang Revita berkeliaran di rumah itu. Padahal gadis semester satu itu begitu sangat penasaran dengan putra sulung keluarga Adhiyaksa yang katanya lulusan Harvard University.
Bi Imah—asisten rumah tangga lain di rumah keluarga Adhiyaksa—bilang bahwa Gavin itu anak jenius, makanya bisa sekolah di Harvard tanpa biaya dari orang tuanya. Tidak hanya itu. Lagi-lagi kata Bi Imah, pria 25 tahun itu juga sangat tampan.
Dan, setelah Revita melihatnya secara langsung kemarin itu, ucapan Bi Imah ternyata benar. Gavin Adhiyaksa ... Luar biasa tampan.
Jangan lupa sebar coretan kalian ya teman-teman, have a nice day
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg