Riuh tepuk tangan terdengar ketika lelaki yang menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung caffe selesai menyanyikan lau terakhirnya. Manik mata Edgar benar-benar tidak pernah lepas menatap ke arahnya, si lelaki yang ditatap juga jelas menatap ke arah Edgar—dari banyaknya pelanggan caffe, sosok Edgar tentu saja yang paling menarik perhatiannya. Bian turun dari atas panggung, setelah sebelumnya menyerahkan gitar yang tadi digunakan menjadi pengiring nyanyiannya kepada rekan bandnya, lalu melangkah menghampiri meja yang ditempati oleh Edgar. Tanpa meminta ijin, Bian langsung duduk tepat di hadapan Edgar. “Ada yang mau lo omongin sama gue?” tanya Bian to the point menatap tepat di manik matanya. Membenarkan posisi duduknya, lalu menyeruput minumam miliknya, Edgar mengangguk mengiyakan pertanyaan Bian. “Apa yang mau lo tanyain?” “Hubungan kamu dengan Vanesa.” “Apa lagi yang mau dijelasin. Nesa udah cerita sama lo kan, kalau kita udah ngga ada hubungan apa-apa.” “....” Edgar
Sesuai apa yang dikatakan oleh Nadya kemarin, mereka langsung merencenakan pertemuan dengan Seruni dan Risa, di kediaman Risa. Yang mana memang tujuan utamanya untuk memberi tahu jika Nadya akan pindah ke luar kota.Sekitar jam sepuluh Nesa pamit pada Edgar, lelaki itu tentu mengijinkan, bahkan mengantar Nesa ke kediaman Risa. Urusan mobil Nesa, masih berada di bengkel dan belum selesai diperbaiki, Edgar bahkan meminta untuk mengecek keadaan keseluruhan mobil.Sandi diminta untuk mengantarkan mobil milik Edgar yang berada di kediaman kedua orang tuanya. Hari ini memang masih hari libur, tentu saja Sandi menggerutu, ada banyak hal yang harus dibereskan untuk kepindahannya, nanti. Walaupun begitu Sandi tetap mengikuti perintah Edgar.Kemarin malam, tidak ada cara lain selain kembali ke tempat di mana mobil Nesa berada untuk mengambil kunci, kalau tidak seperti itu, bagaimana cara keduanya masuk ke dalam rumah.Edgar menyuruh Nesa untuk tetap menunggu di teras rumah, sedangkan dia sendir
"Hah....."Baik Nesa maupun Edgar sama-sama terengah. Nesa yang berada di atas tubuh Edgar sampai tumbang, jatuh memeluk tubuh suaminya erat, menenggelamkan wajahnya tepat di dada Edgar."Saya masih belum selesai," kata Edgar menampilkan smirknya, mengusap bagian atas rambut Nesa.Masih dalam posisi yang sama, Nesa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu setelahnya mendongakkan wajahnya menatap manik sang suami. "Pak Edgar tadi janji hanya akan melakukannya satu kali," katanya dengan bibir yang ditekuk.Edgar mencubit pelan ujung hidung Nesa dengan gemas. "Ah! Kamu saja masih memanggil saya dengan sebutan Bapak. Bukankah sudah saya katakan akan menghukum kamu jika kembali mengatakan panggilan itu?"Nesa kembali memanyunkan bibirnya. "Justru kalau aku panggil selain itu, pasti akan terjadi ronde-ronde selanjutnya. Aku lelah—" Nesa menjeda ucapannya, kembali menenggelamkan wajahnya di permukaan dada suaminya. "Setelah melakukannya, aku ngantuk, mau tidur lagi...."Nesa dibawa berbaring di
Sudah sekitar dua jam yang lalu hujan mulai turun membasahi kota, namun tidak ada tanda-tanda jika hujan akan reda hingga sekarang. Nesa menatap restoran yang berada di depannya, cukup ramai pengunjung. Mungkin karena malam ini malam Minggu, jadi kebanyakan meja di tempati oleh sepasang kekasih. Hujan sedang mengguyur kota, jika bersama kekasih rasa dingin malam ini juga terasa hangat. Tangan Nesa terulur untuk mengambil tas yang ada di samping kursinya, mengeluarkan lipstick lalu mengoleskannya ke bibir, rambutnya yang semula dicepol asal kini sudah ia gerai. Setelah menghembuskan napas berat Nesa turun dari mobil, lalu berlari kecil untuk sampai di depan pintu restoran. Sebelum tangannya membuka pintu, ia lebih dulu mengusap-usap rok span putih juga blusnya yang sedikit basah karena terkena air hujan.Kaki Nesa melangkah memasuki restoran, pandangannya ia edarkan ke setiap penjuru resto, tatapannya terhenti menatap lelaki yang juga sedang menatapnya sambil melambaikan tangan. Tampan,
“Ini handphonenya!” Lelaki yang mengenakan kemeja berwarna hitam itu menyerahkan hanphone kepada Nesa, lalu Nesa menerimanya.“Makasih, Pak Dion.”Dion mengangguk lalu menampilkan senyumnya. “Lo beneran gak papa nyetir sendirian? Ini udah malam, gue bisa panggilin supir gue buat anterin kalian pulang.” Suara Dion terdengar khawatir.“Ini bukan yang pertama kalinya buat saya Pak, jadi ngga papa.”“Oke kalau gitu, hati-hati ya!”Nesa mengangguk lalu menampilkan senyum sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Sembari memakai safety belt ia menatap lelaki yang duduk di kursi belakang dengan sorot kesal melalui kaca.“Kenapa?” tanya lelaki itu membalas tatapan Nesa dengan tatapan tajamnya.“Tidak, Pak.” Nesa lagi-lagi menampilkan senyum lebar, lalu ia kembali melajukan mobilnya. Tentu saja dengan sumpah serapahnya di dalam hati.Sepertinya harinya selalu saja tidak berjalan mulus, ada saja hal-hal yang membuat Nesa kesal. Contohnya hari ini, di saat Nesa masih bergelung dengan selimutnya di k
“Nes, kemana aja sih?”Nesa berjalan memasuki unit apartemennya, matanya menatap dua orang perempuan yang sedang duduk di sofa, sebuah tayangan televisi yang menyiarkan berita gosip menjadi tontonan keduanya.“Bagus ya pagi-pagi sudah menjarah di unit apartemen saya!” cibir Nesa karena melihat banyak sekali makanan dan minuam yang ada di meja, bahkan kedua perempuan itu sedang memegang cup mie instan. Semua makanan dan minuman itu tentu saja milik Nesa.“Ibu sekretaris biasa aja kali, bicaranya formal banget,” sindir Risa.Nesa hanya memutar bola matanya jengah, ia melempar tasnya ke sembarang arah, dan ikut duduk di samping Risa sambil mengambil kue sus yang ada di meja, lalu melahapnya.“Kemana aja sih?” tanya Seruni mengulang pertanyaan yang belum Nesa jawab.“Biasa habis ngurus bayi besar,” jawab Nesa memegang remot televisi sambil mengganti channel televisi.“Bohong dia, semaleman habis sama Erwin,” celetuk Risa.Mendengar celetukan Risa membuat Nesa kembali mengingat kejadian di
Nesa menampilkan senyumnya. Agus—security yang hari ini sedang bertugas di depan lift, menyimpan benda pipih persegi atau cardlock pada kotak sensor untuk membuka pintu lift. Tidak lama pintu lift terbuka, Edgar masuk terlebih dahulu, lalu setelahnya baru Nesa.“Makasih Pak Agus,” ucap Nesa, tidak bersuara namun gerak bibirnya terbaca oleh Agus. Security itu hanya mengangguk lalu tersenyum, hingga pintu lift tertutup kembali dan bergerak naik ke atas.Tidak ada yang salah dari heals hitam yang dipakainya, hanya saja situasinya yang sangat hening di dalam lift ini membuat Nesa bingung harus menatap ke arah mana dan memutuskan untuk menatap sepasang healsnya saja.“Dina tidak menghubungimu?”Nesa mendongakkan kepalanya, lalu ia menatap ke arah Edgar. “Tidak Pak, kenapa memang?” tanya Nesa, ia bingung, kenapa pertanyaannya sama seperti kemarin? Kenapa Dina—calon istri Doni harus menghubunginya? Maksudanya untuk apa?Lagi dan lagi Edgar hanya diam, hingga pintu lift terbuka, lalu dia kelua
"Umur Edgar sudah berapa tahun?"Mia menatap perempuan yang duduk disebrangnya."Tahun ini 35."Evi—perempuan yang tadi bertanya langsung menatap Mia dengan tampang terkejut. "Ah! Edgar dan Fajar tahun kelahirannya sama, ya?"Mia mengangguk."Kamu ngga mau apa gendong cucu, Mia? Fajar saja sudah menikah dan sudah punya anak, bahkan sudah mau punya anak ke-2. Edgar kerja terus tapi ngga nikah-nikah."Mia menghela napasnya lesu. "Aku sudah bilang sama Edgar, duh rasanya mulutku udah sampai berbusa, nggak kehitung lagi pokonya berapa kali aku nanya tentang ini sama Edgar, tapi Edgar—" Mia sampai tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya menggeleng-geleng, tidak tahu harus bagaimana dengan pembahasan menikah ini."Masa dia belum pernah bawa perempuan ke rumah?" tanya Wita ikut bertanya.Mia hanya menggeleng.Evi salah satu dari Tante Edgar meringis prihatin menatap adik iparnya. "Atau aku kenalkan sama salah satu putri temanku?""Percuma, Mbak. Udah aku coba kenalin perempuan sama dia, tapi