Rumor yang mengatakan Edgar bermasalah tentang orientasi seksualnya, membuat Nesa berada diposisi yang tidak mungkin Edgar lepaskan begitu saja untuk pergi dari kehidupannya. Kejadian satu malam yang membuat Nesa merasakan rasa sesal yang luar biasa. Edgar membuatnya terjebak, Edgar tidak akan melepaskan Nesa begitu saja—lelaki itu mengikat Nesa untuk tetap berada di kehidupannya selama sisa hidupnya. Ini sulit, terlebih Nesa memiliki tujuan hidup sederhana dengan lelaki yang menjadi pilihannya. Edgar akan diam saja? Tentu saja tidak, Nesa sudah menjadi miliknya sejak malan itu.
View MoreSudah sekitar dua jam yang lalu hujan mulai turun membasahi kota, namun tidak ada tanda-tanda jika hujan akan reda hingga sekarang. Nesa menatap restoran yang berada di depannya, cukup ramai pengunjung. Mungkin karena malam ini malam Minggu, jadi kebanyakan meja di tempati oleh sepasang kekasih. Hujan sedang mengguyur kota, jika bersama kekasih rasa dingin malam ini juga terasa hangat. Tangan Nesa terulur untuk mengambil tas yang ada di samping kursinya, mengeluarkan lipstick lalu mengoleskannya ke bibir, rambutnya yang semula dicepol asal kini sudah ia gerai. Setelah menghembuskan napas berat Nesa turun dari mobil, lalu berlari kecil untuk sampai di depan pintu restoran. Sebelum tangannya membuka pintu, ia lebih dulu mengusap-usap rok span putih juga blusnya yang sedikit basah karena terkena air hujan.
Kaki Nesa melangkah memasuki restoran, pandangannya ia edarkan ke setiap penjuru resto, tatapannya terhenti menatap lelaki yang juga sedang menatapnya sambil melambaikan tangan. Tampan, lelaki itu terlihat tampan. Sembari memuja lelaki itu di dalam hatinya, kaki Nesa kembali melangkah untuk menghampiri meja yang di tempati lelaki itu."Hai, Vanesa.""Hai."Mereka berdua saling menyapa, juga melemparkan senyum sambil berjabat tangan. Setelah Nesa melepaskan tangannya ia langsung dipersilahkan duduk oleh lelaki yang mengenakan kemeja berwarna navy itu."Maaf aku terlambat, kamu sudah menunggu lama?" tanya Nesa dengan rasa sesal."Tidak papa," jawabnya sambil tersenyum, tatapan mata lelaki itu sangat lembut bahkan Nesa sampai terpana melihatnya. "Kamu pasti sibuk sekali, di hari libur pun tetap bekerja," lanjutnya.Nesa mengangguk. "Ada kolage bisnis yang minta dimajukan jadwal meetingnya karena beliau akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.""Menyenangkan bukan bekerja di salah satu perusahaan terbaik? Naratama Crop di bidang bisnis & property, apalagi posisi kamu menjadi sekretaris wakil direktur."Lelaki di depan Nesa ini sedang memujinya 'kan? Tapi kenapa Nesa merasa tidak setuju dengan kalimat pertamanya. Menyenangkan? Tidak."Naratama medical center. Itu juga salah satu rumah sakit terbaik 'kan?"Terdengar tawa kecil dari bibirnya juga angukkan kepala.Nesa telat hampir tiga puluh menit dari waktu yang sudah mereka sepakati untuk bertemu. Bukan tanpa alasan kenapa Nesa datang terlambat, hal itu disebabkan karena bosnya. Sebenarnya meetingnya sudah selesai dari pukul tiga sore, tapi bosnya malah menambah pekerjaannya.Dua orang pramusaji menyimpan pesanan yang sudah Erwin pesan. Nesa menatap berbinar makanan yang sudah ada di depan mejanya. Semuanya menu favorit yang selalu Nesa pesan jika mengunjungi resto ini. Tapi kenapa Erwin bisa tahu menu favoritnya?"Risa memberitahu saya menu favorit kamu di restoran ini," tuturnya, tidak lupa dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur dari bibirnya.Padahal ini hal sepele bukan? Tapi kenapa itu sangat berdampak untuk hati Nesa. Benar-benar sangat berlebihan. Nesa mengulum bibir untuk menyembunyikan senyumannya. "Engg ... thanks."Erwin Prasetya, lelaki yang berpropesi sebagai dokter saraf di rumah sakit Naratama medical center. Kemarin lusa, saat Nesa sedang makan siang ia menerima pesan dari Risa—salah satu sahabatnya. Ia mengatakan jika ada seseorang yang ingin menemuinya, dan dia adalah Erwin.Siapa yang tidak ingin mempunyai menantu yang berprofesi sebagai dokter? Walaupun tidak semua tapi banyak bukan yang menginginkannya? Selain profesinya, Erwin juga mempunyai wajah tampan, kulitnya sawo matang dengan perawakan tinggi. Sepertinya Nesa harus membawa Erwin ke rumahnya, pasti ibunya akan senang dan menghentikan ceramahnya dengan topik yang selalu sama; 'Kapan Nesa akan memperkenalakan calon menantu?'Tapi apakah tidak terburu-buru jika Nesa memperkenalkan Erwin kepada ibunya—maksudnya mereka baru bertemu sekarang, belum mengenal satu sama lain. Ah! Lagi-lagi Nesa perpikir terlalu jauh."Nadya, kamu sahabat dekatnya?"Nesa yang sedang menikmati makanannya seketika langsung menatap tepat ke arah manik mata Erwin, Bahkan Nesa sampai berhenti mengunyah makanan yang ada di mulutnya."Bagaimana tipe lelaki yang Nadya sukai?" Erwin kembali bertanya, dengan mata yang berbinar.Nesa menyimpan sendok yang sedang di pegangnya, lalu dia langsung meneguk minuman yang ada di hadapannya hingga menyisakkan setengah. Ia membuka tas yang ada di samping kursinya, mengambil handphone juga dompet yang berada di dalamnya.Terdengar notif pesan dari handphone milik Erwin, lelaki itu mengernyit saat melihat layar handponenya, lalu menatap Nesa seperti meminta penjelasan."Sudah aku kirimkan dalam bentuk file, lelaki idaman Nadya, makanan favorit, hobi, kegiatan yang Nadya sukai, dan yang lain-lainnya. Sudah lengkap di sana, silahkan tinggal di unduh saja file nya!" jelas Nesa sambil menampilkan senyum lebarnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan menyimpannya di meja."Aku harus pergi, bos aku tiba-tiba ngehubungin." Setelah mengatakan itu ia buru-buru berdiri dari duduknya."Vanesa!"Nesa mengabaikan panggilan Erwin , ia benar-benar pergi dari restoran itu. Senyum palsu yang tadi ia terbitkan di bibirnya kini sudah lenyap. Setelah memasuki mobil, dengan kasar ia mengosok-gosok bibirnya dengan tujuan untuk menghapus lipstick. Namun bukannya terhapus, lipstick itu malah menjadi belepotan di area dekat bibirnya."Sialan!""Oke! Vanesa tenang, ini bukan yang pertama kalinya, ini sudah biasa," ucapnya sambil mengusap dadanya lembut. Nesa melakukan itu dengan tujuan agar dadanya tidak merasakan sesak. Ia mencoba mengatur napasnya, menghirup beberapa detik lalu membuangnya perlahan.Tidak! Itu tidak berhasil, dadanya masih terasa sesak. Benar, ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Ada lelaki yang mengajak Nesa bertemu, jika kalian berpikir lelaki itu tertarik dengan Nesa kalian salah. Bukan tertarik kepada Nesa, tapi Nadya—sahabatnya. Nesa dan Nadya memang bersahabat sudah lama sekali, bahkan sebelum mereka berdua lahir, kedua orang tuanya sudah lebih dulu berteman.kedua tangan Nesa digunakan untuk menyeka air mata yang ada di pipinya. Walaupun ini bukan yang pertama kali tapi rasanya tetap sama, kesal. Mungkin kalian berpikir ini hanya masalah sepele, ya ... Nesa juga berpikir yang sama. Entah Erwin ini lelaki ke berapa yang melakukan ini kepada Nesa. Nesa bahkan tidak mampu mengingat berapa jumlah lelaki yang akan menjadikan Nesa sebagai alat untuk mendapatkan hati Nadya."Kenapa aku harus nangis sih?" kesal Nesa di sela-sela tangisannya. Ia kesal kepada dirinya sendiri. Saat Nesa sedang bergelung dengan kekesalannya tiba-tiba ada notif pesan dari ponselnya."Aishh! Really?" Lagi-lagi Nesa menggerutu setelah membaca pesan dari ponselnya. Nesa melempar handphonenya ke kursi lalu ia mulai melajukan mobilnya. Hujan masih turun, bahkan turun lebih deras dari sebelumnya.***
"Gue ngga perlu jelasin serinci mungkin, Nes. Suami lo jelas pasti tahu semuanya." Nesa menatap Edgar dengan kening mengernyit, seolah bertanya tentang kebenaran dari ucapan Bian. "Udah sih, gue ngga papa, ngga usah natap gue kasihan gitu!" katanya. Walaupun begitu tetap saja, ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Nesa. Ini jelas berita besar—dan yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana perasaan Bian selama ini? Pasti lelaki itu sudah melalui banyak hari yang berat. "Sudah berapa bulan?" tanya Bian mempersilahkan Nesa untuk duduk. "Jalan enam bulan," jawab Nesa semangat, mencoba bersikap seperti biasanya. "Apa suami lo memperlakukan lo dengan baik?" Nesa mengangguk tanpa ragu. "Mas Edgar mencintai aku... sangat!" "Bagus! Kalau dia ngga memperlakukan lo dengan baik, mending sama gue aja." Nesa terkekeh pelan, menggeleng lalu memeluk perut Edgar yang sedari tadi masih berdiri di dekatnya. "Nanti Mas Edgar sendirian, kasian." Bian menatap Edgar dengan tatapan yang
"Mas...." Edgar terlihat menghela napas, melepaskan perlahan tangan Nesa yang melingkar di lengannya. "Mas masih marah ya?" tanya Nesa memanyunkan bibirnya, kembali mencoba melingkarkan tangannya di lengan Edgar, walaupun suaminya itu kembali melepaskannya. "Iya maaf, ngga jadi Mas. Tadi aku cuman bercanda kok," lanjutnya. "Saya berangkat," katanya terkesan jutek walaupun sebelumnya mencium kening Nesa sebagai rutinitas wajib pagi mereka sebelum Edgar berangkat kerja. "Ah Mas Edgar...." Nesa kembali merengek, menghalang langkah suaminya. "Aku minta maaf, jangan marah." "Saya ada meeting Vanesa." "Tuh kan! Panggilan sayangnya mana?" Edgar kembali menghela napas pelan, menampilkan senyum yang sebenarnya tidak sampi hati itu. "Saya berangkat kerja ya, ada meeting pagi ini sayang," kata Edgar mengulang pernyataannya. Melingkarkan tangannya memeluk pinggang Edgar, Nesa mencium pipi kanan suaminya dengan lembut. "Aku beneran cuman bercanda tadi, jangan ngambek lagi yaa... dan semoga
Nesa mengerjapkan matanya perlahan, bibirnya berdecak pelan ketika telinganya masih mendengar suara notifikasi alarm dengan volume yang bukan main kencangnya.Mencoba bangun dari tidurannya untuk mengambil ponsel, tetapi tubuhnya dipeluk erat oleh sang suami.Dengan perlahan ia mencoba melepaskan tangan Edgar yang melingkar di perutnya, setelah berhasil, ia bangun lalu berjalan mengitari ranjang untuk duduk di tepi kasur, mengambil ponsel Edgar yang masih mengeluarkan suara notifikasi alarm untuk mematikannya.Disya mengernyit ketika merasakan perbedaan dengan kamar yan ditempatinya, mendongak lalu kembali memperhatikan sekitaran kamar dengan cahaya remang."Sudah bangun, sayang?" tanya Edgar, kedua tangannya kembali memeluk perutnya erat.Nesa tersenyum kecil lalu mengusap lembut lengan Edgar yang melingkar di perutnya."Sudah, tumben banget pasang alarm pagi-pagi buta begini sih?""Biar ngga kesiangan.""Mau ke mana?""Lihat sunrise.""Huh?"Nesa ingat, semalam ia dan Edgar menghadi
Edgar menghentikan kegiatanya yang sedang berkutat dengan laptop, melirik Nesa yang sepertinya sangat fokus menatap handphone dengan kedua telinga yang disumpal earphone, keduanya duduk bersebelahan, tetapi sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cup! Edgar mencuri satu ciuman di pipi kanan Nesa, yang jelas hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dari si perempuan. "Sedang menonton apa, fokus sekali?" Nesa sedikit terperanjat kaget, langsung mematikan layar handphone, menatap suaminya dengan senyum canggung sambil melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya. "Ngga ada apa-apa kok—aku ngga nonton apa-apa, Mas." Edgar mengernyit, reaksi Nesa terlihat berlebihan padahal dia hanya bertanya. Ditatap sebegitunya oleh Edgar jelas membuat Nesa ciut, seolah ia tidak akan pernah bisa berbohong kepada lelaki itu. "A—aku menonton video Sandi bernyanyi, aku ngga sengaja nyari, Mas, beneran. Tiba-tiba dia muncul di beranda sosial mediaku." "Mana lihat." Nesa kembali menyalakan
"Masih main?" Sandi kembali menyesap batang nikotin yang ada di sela jarinya, lalu menggeleng pelan menjawab pertanyaan Edgar. Edgar mencebikkan bibirnya tidak percaya ketika lelaki yang duduk di sampingnya menjawab tidak pada pertanyaan yang sebelumnya diajukan. "Nadya juga tidak buruk mendesah dibawah saya, dan yang paling penting saya tidak perlu repot-repot memakai pengaman ketika bercinta—wah rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat ternyata!" "Saya pernah bilang kan, apa enaknya bercinta menggunakan karet?" Sandi menyunggingkan senyum miring, kembali mengepulkan asap rokoknya ke udara, mendongak menatap ke atas lalu menghela napas berat. "Kamu menyesal melakukannya?" Edgar bisa melihat wajah Sandi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Jelas ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. "Hanya tidak menyangka akan sampai di titik ini." "Nesa tidak tahu kamu lelaki seperti apa. Jika dia tahu kamu sering bercinta dengan banyak perempuan jelas ia tidak akan setuju kamu bersama
Jam dua siang mereka benar-benar baru meninggalkan kamar, itupun karena rasa lapar menghantui mereka. Jangan ditanya mereka melakukannya lagi atau tidak setelah membaca lembaran diary milik Nesa—tentu saja iya—maklum keduanya masih dimabuk cinta, kata Edgar ini adalah bentuk balas dendam karena selama hampir dua bulan resmi menikah mereka belum melakukannya. Beruntung Nesa mau melayaninya walaupun sembari merengek menangis. “Ih iya Mas aku lupa hari ini jadwal pemberangkatan Nadya lho,” kata Nesa ketika ia sedang fokus membuka handphonenya. “Jam berapa?” tanya Edgar. “Jam lima. Untung jam lima, jadi masih ada waktu buat ke sana,” kata Nesa mematikan layar handphonenya lalu menatap Edgar. “Aku ijin ketemu sama Nadya dulu ya Mas sebelum berangkat, ada Seruni juga kok, boleh?” Edgar mengangguk. “Sama saya.” “Oke!” Nesa kembali menampilkan senyum manisnya menatap Edgar, kembali melingkarkan kedua lengannya di leher Edgar—keduanya sedang menuruni tangga sekarang, hendak me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments