Share

2 > Dia?

Arlan berulang kali mencocokkan kemiripan salah satu cewek yang baru saja mereka potret pagi tadi. Ia mengernyit dalam sembari menunduk, dua kamera disejajarkannya. Bahkan wajah Arlan sangat dekat dengan kameranya.Kevin bertanya. "Gimana?"

"Hmm ... mirip banget sih menurut mata gue, tapi gak mungkin, gue gak yakin. Tuh cewek lagi diskors, mana dibolehin nonton pensi." Arlan menggeleng kuat-kuat.

Kevin berdecak beberapa kali. "Gue berani taruhan kalo itu dia. Gimana kita cari aja tuh cewek?"

"Oke, siapa takut. Al, lo ikut nggak?" Arlan menatap Aldevan. Cowok itu masih sibuk merekam pentas paduan suara dari anak kelas X IPS-3.

"Lo aja sana. Gue gak tertarik."

"Yah, lo mah gitu terus, sekali-kali dong buka mata lo lebar-lebar. Liat dunia luar terutama cewek-cewek cantik. Monoton banget hidup lo."

Aldevan melirik tajam sekilas Arlan dengan ujung matanya. "Bullshit lo bedua!"

ā€¢ā€¢ā€¢

Mery kini berada di salah satu stand penjual makanan, makanan manis pastinya, cupcake coklat dan berbagai kue kering berbalut coklat tersedia di sana. Stand itu disediakan oleh para anggota OSIS, jadi para murid tidak perlu susah payah pergi keluar lingkungan sekolah cuma untuk beli makanan.

Dengan senangnya, Mery mencomot cupcake coklat yang sudah ia beli.

"Lo mau, Sya?" tawar Mery, Tasya menggeleng. Tangan cewek itu penuh belanjaan makanan lain.

"Gue masih mau nonton acaranya, lo masih mau jajan, Ry?"

Mery mengangguk. "Hooh. Gue mau beli nasi goreng, mie, terus...." Telunjuknya berputar sembari mengedar pandang ke semua stand. "Es-krim, gue mau eskrim!"

"Lo bawa uang berapa sih, Ry?" tanya Raya.

"Tenang aja. Banyak kok. Lo bedua minta ditraktir tinggal ngomong."

Keduanya saling berpandangan, tidak lama mengangguk antusias. Raya kemudian berkata. "Oke, rich people."

"Gue sama Raya mau balik ke kursi, lo gak papa kita tinggalin di sini? Soalnya teater udah mulai tuh, sayang kalo gue lewatin, Kak Aji tampil lagi." Tasya nyegir, Mery berlagak seakan ingin muntah.

"Pantengin aja sono gebetan lo."

Muka Raya langsung sungut.

"Yah sayangnya ka Raqa gak tampil apa-apa. Cuma jadi OSIS, pemantau acara."

Mery dan Tasya kompak menggeleng, merasa kasihan. "Lo sih, cari gebetan OSIS. Yang sibuknya minta ampun," timpal Mery.

"Kayak gue dong, bebas," lanjutnya lagi.

Tasya tertawa pelan. "Udah deh, Ry. Kita balik ke kursi dulu, ada perlu tinggal chat gue."

Mery mengacungkan jempolnya.

"Oke, nikmatin pensi sesuka lo."

Raya dan Tasya bergegas pergi meninggalkan Mery. Tidak apa-apa sebenarnya. Mery juga ingin menghabiskan malam pensinya dengan jajan sesuka hati. Acara pensi justru tidak menarik perhatiannya sama sekali. Toh, acara ini dilakukan setiap tahun, dan penampilannya itu-itu saja. Monoton sekaligus membosankan.

Selang beberapa menit menghabiskan cupcakenya Mery mendekati stand penjual nasi goreng, kebetulan sekali ia belum makan malam, juga penjual nasi goreng itu teman sekelasnya Gesya, si cupu dengan kacamata bulat.

"Sepiring, sambelnya yang banyak, telurnya yang banyak. Gue tunggu," pesan Mery seenaknya, duduk di meja samping stand itu. Sementara Gesya ternganga beberapa saat menyimpulkan kembali pesanan Mery.

"Oke siap!"

Mery menaikkan satu alis, heran kenapa Gesya tidak masalah dengan ucapannya. Cewek itu juga tidak terlihat asing dengan wajahnya.

"Tumben lo yang jual, lo bukan OSIS, kan?"

"Bu-bukan, aku cuma dipercayain sama kak Raqa."

"Oh. Lo kenal gue?"

"Kenal. Mery, kan?"

Mery membelalak, merasa gugup tiba-tiba. Duh, kalo ketahuan gimana?

Seolah mengerti tatapan Mery, Gesya tertawa pelan. "Aku kenal dari suara kamu."

"Ah terserah lo. Awas sampai lo buka mulut."

"Oke."

Untung saja, Gesya termasuk dalam siswi cupu yang mudah diajak kompromi. Jadi tidak terlalu banyak Mery buang waktu menutup mulut cewek itu.

Selang waktu, sepiring nasi goreng sesuai pesanan tersaji di meja. Mery langsung melahapnya bersamaan dengan keringat dan rasa pedas yang mulai menyerbu mulutnya. Cewek itu bahkan hampir menjatuhkan ingus jika telat sedikit saja.

"Minumnya, Ges." Mery mengipas-ngipaskan tangannya. Rasa pedas luar biasa.

"Nggak ada, Ry. Stand aku gak jual minuman."

Mery mengernyit. "Apa? Ngomong kek dari tadi gimana sih lo?!"

Rasa pedas itu seolah menyerbu tenggorokannya, tidak punya pilihan lain akhirnya Mery mengedar pandang mencari stand yang menjual minuman. Namun sayangnya, dari banyak stand disekitarnya hanya menjual makanan saja. Sempat terpikir mencari stand lain, tapi Mery takut penyamarannya ketahuan.

"Ah, gimana gue nyari minum?" gumam Mery.

Tidak punya pilihan lain akhirnya Mery ngibrit lari keluar lingkungan sekolah, yang ia tahu tidak jauh dari sini ada supermarket kecil. Kalau tidak, bisa-bisa ia mati kepedasan.

Rupanya benar, minimarket itu hanya melewati beberapa rumah di pinggir jalan. Sesampainya di sana Mery langsung membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin lalu menenggaknya sampai tersisa setengah. Setelahnya, ia mendesah seolah mengeluarkan rasa pedas itu.

Tanpa peduli tatapan beberapa orang mengarah padanya.

Si pramuniaga memutar bola mata jengah mendapati Mery. "Tenang, Dek, di sini ada CCTV."

Mery menatap pramuniaga itu dengan senyum sinis. "Saya bayar kok, Mbak. Tenang aja." Mery menghampiri di meja kasir.

Pramuniaga itu tersenyum kecut. "Jaman sekarang maling ada dimana-mana. Kita kan nggak tau, Dek."

Kerutan bertambah lagi di kening Mery. Dia tau kalimat itu menyindir kehadirannya seperti maling. Berlagak tidak peduli saja.

Namun ketika Mery meraba-raba tubuhnya ia tidak menemukan apa-apa, cewek itu melupakan sesuatu. Sial, tasnya tertinggal di stand Gesya.

Pramuniaga itu terlihat was-was memperhatikan gerak-gerik Mery. "Tuh kan, Dek, maling mana ngaku."

Mery mengepalkan satu tangan. "Aduh tas gue yang ketinggalan, enak aja Mbak ngatain maling."

"Bukan modus deketin doi doang dek yang banyak, kadang maling juga pake modus sama."

"Apasih Mbak? Mending utangin dulu gue ambil tas di sekolah."

"Gak bisa. Adek kira ini minimarket nenek moyang lo. Bayar dulu dek."

"Ngerti dikit kek," Mery bersikukuh. Dia menunjuk pramuniaga itu, pongah. "Gue bisa bayar dua kali lipat kalo Mbak mau tau."

"Gak bisa." Pramuniaga itu mencekal tangan Mery. Menahannya pergi.

Bagaimana ini? Mery hendak menelpon Tasya tapi ponselnya juga tertinggal di tasnya. Bisa hancur nanti imejnya.

"Biar saya bayarin, Mbak."

Sebuah suara dari arah kanan membuat Mery menoleh. Matanya membulat. Mendapati cowok jangkung dengan kamera menggantung di leher, menyodorkan sejumlah uang.

"Lo?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
malu aing ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status