Share

1 > Rencana dan Pentas Seni

Bagi Mery, diskors merupakan hal yang menyenangkan, tapi yang menjengkelkan adalah waktu skors-nya yang selalu bertepatan dengan acara pentas seni. Kalau begini, dia harus rela merubah sedikit penampilannya malam nanti agar bisa menghadiri acara tahunan sekolah itu. Demi menemani kedua sohibnya, Raya dan Tasya.

Tasya dan Raya mengernyit ketika melihat Mery mengeluarkan kacamata serta wix panjang dari lemarinya, benda bulat itu terlihat baru, padahal mereka sangat mengetahui Mery membenci benda yang identik dengan cupu itu.

Meletakkan barang aneh di atas kasur, Mery berkata. "Gue siapin semua, lo bedua tinggal tunggu."

Tasya dan Raya menaikkan alis mereka kemudian saling berpandangan, heran.

"Lo...yakin, Ry? Gue kira lo bakal berubah jadi apa gitu. Lah, malah jadi gini," ucap Raya bersedekap. Memandang remeh.

"Lo nggak usah protes. Liat aja nanti, gue bakal temenin lo bedua."

Raya semakin heran dibuatnya, pula, dilihat dari notebene Mery yang sering membully adik kelas sepuluh terutama yang memakai kacamata. Sangat mengherankan, jika kini cewek itu yang gencar mengenakanya.

Tasya hanya merespon dengan gidikan bahu sesaat kemudian mengambil alih remote TV dari tangan Raya.

"Terserah lo dah, Ry. Gue mah oke-oke aja."

Entah darimana Mery mendapatkan ide konyol itu, hanya demi menemani kedua temannya menonton pentas seni.

"Btw, lo bedua udah tanya belom kapan pensinya mulai?" Mery menyisir wixnya sebelum mengenakannya.

"Udah," sahut Raya. Duduk di sofa, menopang dagu sambil cemberut. "Ka Raqa bilang entar dikasih tau lewat GC, kesel gue jadinya."

"Gue yang kesel, lo mah senyum-senyum doang. Dasar kampret!" Tasya mengganti channel TV-nya. Melirik Raya sekilas.

"Heran gue sama tuh OSIS."

Suara getar dari ponsel Mery terdengar keras, ia lalu mengambil ponselnya di laci nakas dan mengusap layarnya setelah memasang wix tadi di kepalanya.

Ternyata di sana tertera notif grup chat kelas yang banyak belum terbaca.

XI IPA-4

Ketos Bacod: Selamat malam.

Untuk pensi malam ini, akan dimulai pukul 20.00 diharapakan seluruh siswa dan siswi agar segera bersiap-siap. Terima kasih.

Gesya Cupu: Siap ka šŸ‘Œ

Hanif Lebay: Oke ka, siap meluncur.

Kesya Cengeng: Wah, pasti seru banget. Aku siap dari sekarang kaka. šŸ˜Š

Mery mendesah cepat setelah membaca pesannya kemudian melempar sembarang ponselnya ke kasur, yang benar saja jam delapan, ia bahkan belum bersiap-siap sama sekali.

"Lo udah baca grub?" tanya Mery menatap kedua temannya sembari menjatuhkan pantat ke kasur.

"Udah, jam delapan anjir," sahut Tasya, ia lalu bergegas memilih pakaian yang sudah ia bawa dari rumahnya.

"Makanya cepetan." Mery berdiri di depan cermin sambil memoleskan sedikit make up di wajahnya. Tidak perlu terlalu banyak, toh ia juga berperan sebagai cewek cupu. Jika tidak, bisa gagal rencananya.

Beralih ke Raya, cewek itu berkali-kali mencocokkan dressnya dari berbagai warna. Mulai pink, hijau, sampai warna ungu yang terkenal dengan arti 'janda'. Raya mendesah, tidak mungkinkan ia mengenakan dress ungu itu?

"Ka Raqa suka warna apa ya?" gumam Raya. Dia memang menyukai ketua OSIS itu dari kelas sepuluh.

"Gak usih mikir banyak lo, lagian Ka Bima gak bakalan peka." Tasya memasang anting di kedua telinganya.

"Setidaknya gue udah usaha." Setelah berpikir, akhirnya Raya memilih dress putih saja.

Ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal yang dilarang. Jadi terserah, soal resiko itu dirasa seperti angin lalu yang tidak bereaksi apa-apa.

Dirasa sudah siap, Mery membalikkan badannya ke arah Tasya. Menampilkan jaket merah kebesaran berwarna maroon serta rok hitam yang menutupi sampai bawah lututnya.

Tidak lupa, kacamata dan wix yang dikepang dua membuat cewek itu terlihat berbeda.

"Ini, beneran lo, Ry?" Raya memandang tubuh Mery dari atas ke bawah sambil menganga.

"Menurut lo?"

Tasya bahkan lupa mengantup mulutnya.

"Gesya, si cupu yang sering lo bully itu."

Mery melotot. "Mit amit."

***

merasa begitu lelah hari ini usai rapat dan mempersiapkan hal untuk pensi. Apalagi malam ini ia harus bersiap mendokumentasikan acaranya.

Lelah, tapi Aldevan harus menjalaninya.

Usai mengganti seragam putihnya dengan kaos lengan pendek ponselnya bergetar, Aldevan meraih ponselnya yang terletak di atas nakas dan ternyata bunyi itu berasal dari notifikasi chat w******p Raqa.

Ka Bima

Pensi dimulai jam 20.00

Lo bisa bersiap mulai sekarang, gue minta lo datang lebih awal.

Aldevan melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 19.15, waktu yang sangat sedikit untuknya beristirahat apalagi Bima menyuruhnya datang lebih awal.

Memilih tidak mempermasalahkan itu, dia beranjak dari kasur, menyambar handuknya yang menggantung dan berjalan menuruni tangga kemudian ke arah dapur.

Di sana, ia melihat Anggie--Ibunya yang sedang memotong beberapa sayuran di meja. Di sampingnya juga ada Davina, kakaknya yang tengah sibuk bermain ponsel.

Anggie menatap Aldevan. "Kamu mau makan sesuatu, Aldevan?" Anggie melirik Aldevan sekilas, lalu memotong mentimunnya.

Aldevan hanya menggeleng, ia mendekati kulkas kemudian mengambil sebotol air dingin dan meminumnya sampai tersisa setengah.

"Kamu ada acara hari ini? Mama bisa siapin, entar kamu kelaperan, bisa sakit, Aldevan." Anggie nampak khawatir, wajar saja karena ia sering mendapati Aldevan berwajah lesu sehabis pulang sekolah.

"Mama nanya dijawab kambing, mau jadi anak durhaka lo?" cibir Davina yang langsung mendapat tatapan datar dari Aldevan.

"Devan sibuk."

Dua kata sudah cukup bagi Aldevan, singkat dan jelas serta tidak banyak berbasa-basi. Ia lalu melenggang masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, cowok itu keluar dengan handuk putih melilit belakang lehernya. Dia mengenakan celana boxer hitam.

"Davina maunya susu, Ma..."

"Manja lo, bikin sendiri sana!" Kali ini Aldevan yang bicara, cowok itu tanpa dosa menyesap teh milik Davina yang disiapkan Anggie di atas meja.

"Teh gue! Enak aja lo minum sembarangan!" Davina hendak kembali merebut tehnya, namun telah habis oleh Aldevan dalam satu tenggakan. Aldevan mundur selangkah, menghindari rebutan Davina.

"Dian, kembaliin teh gue!"

"Udah-udah, Davina, kamu bikin susu aja sana," pinta Anggie melerai kedua anaknya.

"Tuh dengerin," cengir Aldevan.

Davina bangkit dan mengibaskan tangannya. "Ish. Awas aja lo!"

Anggie hanya mendengus geli sambil menggeleng beberapa kali melihat kelakuan kedua anaknya, sementara Difka tertawa pelan seraya menepuk pelan pundak Aldevan yang mengambil duduk di sampingnya.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah menemui Bu Martha? Gimana katanya Aldevan," tanya Anggie, lebih tepatnya ia sengaja menyuruh Difka melakukan itu guna mengontrol sekolah Aldevan.

Aldevan hampir tersedak ketika menguyah kue kering dimulutnya. Lah, untuk apa Anggie meminta itu?

"Sudah. Aldevan baik kok di kelas, dia juga sering aktif kegiatan. Seperti sekarang, Bu Martha bilang hari ini ada pensi jam delapan dan Aldevan dapat tugas dokumentasiin acaranya. Benar kan, Yan?"

"Hmm." Aldevan kembali menguyah kue keringnya.

"Bagus kalo gitu. Acaranya hari ini, kan? Sebentar mama siapin makanan buat kamu."

"Nggak usah, Ma. Bentar lagi aku berangkat."

"Oke, mama siapin bekal buat kamu."

"Ma." Aldevan berdecak sebal. Dia agak risih merasa diperlakukan manja. "Aku bisa beli makanan di sana."

Anggie mengangkat bahunya acuh, mulai menyiapkan makanannya. Selesai, Anggie membungkus bekal itu dengan plastik. Menyerahkannya pada Aldevan.

"Makanan di sana nggak terjamin higienis. Mama nggak mau kamu sakit perut."

Dian pasrah. Dia menerima bekal iti lalu bangkit dari duduknya. Mencium punggung tangan Difka dan Anggie bergantian.

"Devan berangkat."

Dari jauh Davina memperhatikan Aldevan sambil menarik satu sudut bibirnya. "Nggak salaman sama gue?"

"Males."

"Dasar adik durhaka!"

ā€¢ā€¢ā€¢

Suara riuh serta gemerlap lampu memenuhi area lapangan sekolah SMA Bakti Buana. Beberapa kamera, kursi, dan panggung sudah ditata sedemikian rupa. Bagian sisi kiri dan kanan panggung diletakkan balon dengan berbagai warna. Oh ya, pensi kali ini juga bertepatan dengan ulang tahun sekolah. Jadi, beberapa dekorasi ditata layaknya acara ulang tahun.

SMA Bakti Buana sendiri merupakan salah satu SMA populer di kota Bandung, terdiri dari lima gedung dengan corak hijau bercampur putih, pada bagian belakang sekolah ini terdapat taman yang cukup besar. Biasanya, taman itu dipergunakan untuk tugas penelitian murid jurusan IPA karena terdiri dari tanaman-tanaman herbal.

Jika kalian pergi ke sisi lapangan, maka ada kursi panjang yang khusus disediakan dengan berbagai warna. Kursi dengan panjang sekitar satu meter itu biasanya ditempati murid-murid pada jam istirahat. Atau, siswa-siswi yang selesai olahraga bisa mengistirahatkan dirinya di sana.

Mery baru saja turun dari mobil bersama kedua temannya. Raya mengenakan dress dengan sepatu berwarna senada, sementara Tasya mengenakan kaos hitam dipatu celana jeans putih dan sepatu sneakers putih.

Dari ketiga cewek tadi, hanya Mery yang terlihat berbeda.

"Kacamata lo melorot, Ry," tegur Tasya.

"Gue sengajain biar keliatan cupunya, lo bedua banyak bacot ah, gue harus ngelakuin ini emang demi nemenin lo."

Raya hampir meneteskan air mata entah kenapa. "Gue terharu Ry. Salut gue sama lo."

Tasya menyikut lengan cewek itu keras.

"Lebay lo!"

"Yakali, gue baru kali ini nemuin teman sesolid lo."

"Basi. Cepetan kita masuk, entar ketahuan lagi gue kelamaan di sini, lo bedua yang tanggung jawab." Mery lebih dulu masuk, melewati anggota OSIS yang berjaga di depan gerbang, lalu panitia yang sibuk mengatur acara. Meski sedikit gugup, Mery dengan akting ala-ala anak cupu berhasil mengelabui mereka.

Langkah lebarnya membawa cewek itu sampai di kursi penonton.

"Gue saranin kita nggak boleh terlalu deket, Ry. Pasti banyak yang curiga, mereka, kan masih mikir lo diskors."

"Tenang. Lo liat muka gue gak?"

Keduanya menggangguk.

"Mirip sama Mery yang lo kenal?"

"Gak. Ini malam, muka lo kayak makin tambah item, bukan item sih maksud gue, gak keliatan ini. kan gelap," sahut Raya seenaknya.

"Ya iyalah, orang make up-nya gue sengajain hitem."

Keduanya mengangguk lagi, mereka mengambil posisi kursi barisan tiga, satu barisan di belakang Mery. Dengan jarak yang tidak jauh mereka masih bisa berkomunikasi.

Sementara menunggu acara dimulai, lagu perfect milik Ed Sheran mengalun indah. Suasana kian ramai oleh datangnya siswa dan siswi dari kelas sepuluh sampai dua belas.

Langit malam berhias bintang nampaknya sangat mendukung acara ini.

Mery tetap diam, Raya dan Tasya sesekali memotret pemandangan sekolah.

"Gue mau post di status WA ah," gumam Raya.

"Gue pengen tenggerin di I*******m."

Keduanya sibuk, lalu apa yang Mery lakukan? Membosankan. Namun mendadak matanya melihat seorang cowok memotret salah satu penonton, Mery jadi pengen dipotret juga.

"Hei, lo yang pake kamera, cepet ke sini!" pintanya bossy.

Aldevan menaikkan satu alisnya sebentar, dan mengacuhkan Mery. "Gue sibuk."

"Bentar doang. Lo gak bakal berhenti sekolah di sini juga kalo lo tinggalin. Cepetan!"

Aldevan berdecak, demi kenyamanan penonton ia terpaksa menghampiri Mery.

"Kenapa sih, Ry?!" tanya Tasya di belakang.

"Lo mau difoto pake kamera gitu gak?" Mery menunjuk kamera di tangan Aldevan. Cowok itu sudah berdiri dengan wajah datar dan tatapan malasnya.

"Mau banget, Ry." Kompak ketiganya langsung berdiri lalu mengambil pose sebagus mungkin.

"Cepet fotoin kita."

Aldevan berdesis. "Enak aja, gue make kamera buat dokumentasi, bukan motret cewek kayak lo betiga."

"Apa salahnya sih nurutin kemauan gue? Cepet ah lo kebanyakan mikir."

"Emang gue mau?" Aldevan mengarahkan kameranya ke panggung, pembawa acara telah berdiri di sana untuk memulai.

"Ih. Bentar doang. Pelit amat lo."

"Enggak!"

Mery ngeyel, ia merebut paksa kamera Aldevan. Keduanya saling berebutan layaknya anjing dan kucing berebut makanan. Sedangkan Tasya dan Raya bertepuk tangan sambil bersorak 'tarik terus'

Lah, dikira tarik tambang?

"Gue bilang nggak, ya nggak!" Aldevan bersikukuh.

"Bentar doang."

"Leher gue, goblok!" kekeh Aldevan ketika lehernya hampir tercekik karena Mery menarik kuat tali kameranya.

"Upps!" Mery melepaskannya.

"Lo mau bunuh gue, hah?"

"Gue gak sengaja."

Aldevan memutar bola matanya malas.

"Ada apa ini?" suara itu milik Arlan yang datang entah darimana.

"Biasa. Nih cewek pengganggu."

Arlan menatap Mery penuh minat, ia tertawa pelan, "Cupu gini lo bilang pengganggu?"

Mery segera menunduk, sial, jangan sampai ia ketahuan.

"Tanya mereka?" Aldevan melirik dua cewek di belakang Mery.

"Nggak kok, kita cuma minta foto, kan, Ya?" ucap Tasya menyikut lengan Raya

"Iya. Tuh cowok kagak mau." Raya melirik Aldevan sekilas.

"Hm, gitu aja dipermasalahin, kalian merapat biar gue fotoin sini." Arlan mengarahkan kameranya pada mereka bertiga.

"Dasar tukang modus!" cibir Aldevan. Arlan nyengir.

Mery, Tasya, dan Raya bergegas mengatur pose mereka. Dan pada hitungan ketiga Arlan sukses membidik mereka, kemudian melihat hasil jepretnya.

"Oke bagus."

"Thanks." Selesai mengatakannya, Mery berniat kembali ke tempat duduk mereka, tetapi Raya mengajak ke salah satu stand penjual makanan.

"Bagus gak?" Arlan memperlihatkan hasil foto ketiga cewek tadi pada Aldevan. "Sini, liat bentar aja."

Dengan terpaksa Aldevan memperhatikan foto itu, lalu mengeryit ketika Arlan menzoom dan menggeser fotonya sehingga menampilkan satu cewek berkepang yang berpose di tengah.

"Bentar, ini bukannya cewek yang di skors pagi tadi?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Moryn Rahayu
namanya aldevan apa dian sich. koq jdi bingung
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
papa mama aj bilangnya.. aneh bgt gaya bhasanya... difka anggie, what.!!??...ā€ā™€ļø
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status