Share

3 > Permintaan Sulit

"Lo?"

Mery membulatkan matanya beberapa saat, dia menatap Aldevan penuh pertanyaan sekaligus agak malu di hadapan cowok itu. Coba pikir bagaimana imejnya nanti kalo ketahuan disangka nyuri padahal tidak? Terlebih lagi, penyamarannya jadi cewek cupu kemungkinan terbongkar karena cowok itu.

Sementara Aldevan nampak memutar bola matanya bosan, dia enggan peduli sama tatapan beberapa orang atau tatapan heran Mery padanya. Dasar cewek gesrek emang.

"Ini kembaliannya, Dek. Lain kali hati-hati kalo nolong orang, kita gak bisa percaya gitu aja. Itu cuma modus." Si pramuniaga tadi menyindir, melirik Mery dengan ujung matanya. Mery sempat melotot namun pramuniaga itu tidak peduli.

Aldevan  malah tertawa mendengarnya, senyum tanpa dosa menampilkan gigi-gigi putihnya yang berjejer rapi.

"Bisa aja, Mbak. Maling emang nggak ada yang mau ngaku," sindir Aldevan lagi. 

Mery menghentakan kakinya kesal. Ditatapnya Aldevan penuh amarah.

"Enak aja, gue bisa buktiin gue bukan maling! Lo bisa gue masukkin ke penjara atas tuduhan pencemaran nama baik, gue bisa ganti rugi minuman bahkan dua kali lipat dari yang gue minum tadi. Atau gue bisa--" Belum selesai ucapannya Aldevan memotong.

"Bikin onar. Dan gue bisa bongkar kedok palsu lo itu."

Pupil Mery membesar, dia terhenyak dan menelan salivanya kasar. Aldevan melewatinya tanpa peduli ucapannya yang panjang lebar. Ditambah lagi cowok itu tersenyum mengejek, Mery semakin greget. Apalagi cowok itu menyentaknya kembali ke realita sebenarnya. Bahwa dia Mery, si cewek yang diskros pagi tadi.

Setelah bertukar tatapan horor dengan pramuniaga tadi Mery akhirnya mengikuti kemana Aldevan berjalan, sebelum benar-benar hilang dari pandanganya Mery berhasil mendapati Aldevan menuju sekolah. Dia menahan lengan cowok itu.

"Lepas!" Aldevan menepis tangan Mery kasar. "Lo yang maunya apa? Ditolongin bukannya terima kasih malah nyolot. Dasar nggak tau diuntung!"

Mery berkacak pinggang. Dia menunjuk wajah Aldevan. "Gue gak minta ditolongin sama lo, lo yang sok baik terus ngata-ngatain gue maling lagi!"

Aldevan menaikkan satu alis menatap Mery, untung sekarang jalanan sepi, tidak ada satu pun murid dari sekolahnya kemungkinan lewat, bisa saja salah paham nanti jika malam-malam berduan sama cewek sialan ini.

"Terus lo mau ditolongin sama siapa? Satpam?" Aldevan tertawa meremehkan, lalu menyentil dahi cewek itu tanpa takut. "Yang ada lo nambah masalah. Gak tau diuntung!" timpal Aldevan.

Mery mengelus dahinya yang sedikit sakit usai disentil Aldevan, cewek berkepang dua itu meringis sedikit. Tapi, ada benarnya juga Aldevan mengatakan itu. Ia harusnya berterima kasih sewajarnya. Namun ditepisnya pikiran itu. 

Intinya, Mery tidak mau harga dirinya turun.

"Terima kasih pala lo! Bukan gue yang minta ditolong."

"Dasar kepala batu!"

"Apa lo bilang?!" Mery mencondongkan badannya namun Aldevan keburu pergi seolah tidak peduli. Mery kesal dan ia menahan lengan cowok itu lagi.

"Eh lo!"

Kemudian ia teringat soal penyamarannya yang kemungkinan akan di bongkar cowok itu. Mery lekas menghalangi jalan Aldevan, merentangkan tangannya.

Aldevan memutar bola matanya jengah. "Apaan?"

"Lo kenal gue?" tanya Mery to the point.

Dian tersenyum kecut, meminum botol airnya lalu menatap bias wajah Mery dibalik botol bening itu. "Menurut lo?"

"Kenal."

Selesai minum, Aldevan menutup kembali botolnya lalu menatap Mery penuh kelicikan. "Seratus. Gue kasih tau bu Martha sekarang."

Kali ini Mery terdiam, dia mendesah pasrah menyangkut hal ini. 

"Gu-gue minta jangan." Mery kembali menghalangi jalan Aldevan yang mengambil space kosong di sisinya. "Lo nggak boleh ngelakuin itu!"

"Hah? Apa ulang-ulang."

Mery menghela napas panjang. "Gue-minta-jangan-dibilangin-sama-Bu Martha," ucap Mery penuh penekanan. Seolah-olah Aldevan itu tuna rungu yang nyasar sekolah.

"Emang gue mau?"

Mery menghentakkan kakinya kesal. "Ish. Ngaku aja lo minta disogok dulu, gak apa-apa gue terima. Berapa banyak yang lo mau?"

Aldevan menggeleng beberapa kali, memang dia mau disamain dengan para koruptor di luar sana? "Sorry. Gue bukan pemakan hak rakyat."

"Terus lo mau apa?" Mery nyerah, baiklah, untuk hari ini saja dia membiarkan harga dirinya turun di hadapan orang lain. Di hadapan cowok rese pula. "Mau gue ajak ke club? Mau main sama gue?"

Ucapan Mery berhasil membuat Aldevan mendengus berat. Sorry, dia bukan cowok jalang yang bisa dibayar dengan uang. Berpikir sesaat, lalu dirasa sudah menemukan ide yang tepat, Aldevan melihat Mery penuh kelicikan, sudut bibirnya terangkat.

"Gue mau, lo turutin semua permintaan gue."

"APA?!" Kejut Mery tidak terima. "Enggak. Enggak. Enggak. Kenapa sih gue harus ditolong sama orang macam lo? Malah bikin susah tau!"

Kemudian terdengar suara jepret dan kilatan kecil dari kamera Aldevan. "Yasudah. Keuntungannya bakal adil kok. Lo selamat dan gue bakal tertawa puas. Fake nerd."

"Kok gitu? Gak ah, gue gak terima. Enak aja, emang gue babu lo?"

Aldevan memasukkan satu tangannya ke saku celana, sementara tangan lainnya memegang botol. "Terserah, keputusan ada di tangan lo dan konsekuensi ditanggung lo, gue gak peduli. Lo selamat atau gak itu derita lo."

Kali ini Aldevan berbicara panjang demi memainkan cewek seperti Mery. Hei! Keajaiban macam apa ini?

"Ah gak ada syarat lain apa? Ngerjain PR lo kek?" saran Mery.

Sekali lagi Aldevan tertawa meremehkan. Ia menjitak kepala Mery. "Yang ada nilai gue malah anjlok, bego!" Kemudian menarik kepang Mery. Cewek itu meringis.

Emang harus ya gue ikutin kemauan lo? Batin Mery.

"Gimana? Gue hitung sampai tiga nih. Satu." 

Membiarkan Mery memikirkannya matang-matang, Aldevan sengaja memelankan langkahnya menuju sekolah sambil berhitung. Dan benar saja, tak lama kemudian cewek itu memanggilnya. 

"Gu-gue terima permintaan lo." Mery merutuki dirinya sendiri, hal terbodoh yang baru ini seorang Mery lakukan. Meski tidak sudi, tapi mau bagaimana lagi? Ia juga harus menyelamatkan sahabatnya Raya dan Tasya.

Aldevan tertawa jahat. "Nyerah juga lo."

"Terus gue harus ngapain?"

Aldevan mengusap dagu dengan telunjukanya, sebelum akhirnya melihat lagi potret Mery tadi, lalu tersenyum sinis. "Pertama, lo harus jadi cupu selama yang gue mau."

•••

Rasanya Mery baru saja tertimpa musibah yang lebih dahsyat dibanding gempa bumi dan tsunami. Entah berapa lama dia harus mengikuti ucapan cowok sialan itu. Mengubah penampilan? Mengubah penampilan?

Mery mendesah lelah, detik ini juga ia ingin menenggelamkan wajahnya di Samudra Atlantik saking malunya.

"Haha tak tau padan muke, kena azab," timpal Raya mengetahui permasalahan Mery. Dengan nada dimirip-miripkan seperti upin-ipin.

"OMG Ry! parah ini parah! mau ditaruh dimana muka lo kalau sampai dandan jadi cupu," pekik Tasya.

"Diem lo, nyet!" sahut Mery kesal.

"Lo mau-maunya sih, Ry?" tanya Tasya penasaran.

Mery melirik Tasya sekilas. Dia dengan malas menghapus cat berwarna putih dikukunya. "Yagimana lagi, gue lakuin itu demi lo bedua. Gue gak mau tuh cowok ngaduin ke Bu Martha terus skors gue nambah. Mit amit gue."

"Emm... gue jadi makin sayang sama lo, Ry." Raya mendekat dan memeluk Mery dari belakang, senyum tanpa dosanya mengembang sempurna.

Mery memutar bola matanya bosan. "Lebay, ini demi diri gue sendiri juga." 

Namun apakah ia sanggup menjalani hari sebagai cupu? Rasanya mustahil. 

Mery menatap dirinya di cermin, dengan rambut yang masih terkepang dan kacamata yang hampir melorot. Sesekali ia mengerucutkan hidung.

"Gue.... gak bisa."

•••

"Lo darimana aja sih, Yan? Dicariin tuh sama Kevin. Katanya dia perluin hasil rekaman lo buat diedit," ujar Arlan seraya mengemil coklat batang miliknya. Melihat Aldevan berjalan ke arah mereka dengan wajah berbinar. Seakan habis dihujanin duit. Mereka sekarang sedang berada di ruang eskul fotografi.

"Beli minum." Aldevan menaruh botolnya di atas meja. Mengambil posisi duduk di samping kevin yang sibuk menscroll semua hasil fotonya di laptop.

"Oh ya, Vin, gimana soal cewek di foto tadi. Lo udah nemuin keberadaanya gitu, gue sekaligus mau ketemu. Masa sih iya cewek secantik itu berubah jadi cupu?"

Kevin menatap Arlan sekilas. "Tadi gue sempet cari tapi gak ketemu. Malah ketemu dua temennya. Mereka bilang si... aduh siapa ya namanya gue lupa." Mengingat-ngingat, Kevin melanjutkan. "Kalo gak salah Mery. Iya Mery. Tuh cewek katanya lagi di rumah. Diskors dan dilarang nonton pensi."

Samar-samar Aldevan mendengar nama Mery keluar dari mulut Kevin, ia memasang telinga baik-baik.

"Tapi kalo itu bener Mery, kita laporin langsung ke Bu Martha. Biar mampus tuh cewek."

Jadi, namanya Mery?

Arlan manggut-manggut. "Hmm. Gue jadi ragu sama penglihatan Aldevan."

"Mata gue normal, btw," komentar Aldevan mendengar namanya disebut.

Arlan terkekeh. "Becanda, emosian bener lo." Mengusap dagu, Arlan bersuara lagi."Terus gimana? Gue penasaran sama tuh cewek."

"Heleh tai kambing, bilang aja lo mau minta nomernya," titah Kevin yang mengetahui isi kepala Arlan.

Arlan tertawa pelan. "Sekalian."

"Kalo seandainya dia cupu mau lo apain?" tanya Kevin.

"Gue ceburin ke empang."

Kevin tertawa, sementara Arlan mendengus geli sambil geleng-geleng kepala. Di antara mereka hanya Aldevan yang tampak biasa saja. 

Kevin menyikut lengan Aldevan. "No komen, Bung?"

"Lo liat aja esok."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status