Share

5 > Hukuman

Tidak sampai disitu rupanya kesialan Aldevan, baru saja dia sampai di depan gerbang sekolah, Mery menghadangnya dengan merentangkan tangan di tengah jalan. Menghalangi cowok itu untuk masuk lebih dalam menuju parkiraan.

"Stop!"

Mesin motor Aldevan kontan berhenti, telat sedikit saja bagian depan motornya akan menghantam perut Mery.

"Udah bosen hidup lo hah?!" tanya Aldevan tegas, ketika cewek itu malah acuh dan bersidekap.

"Gue malah bosen liat muka lo," ucap Mery, ketika Aldevan turun dari motornya. Cowok itu membuka helm dan merapikan rambutnya.

Tidak sepenuhnya Aldevan kesal, ia malah tersenyum sinis karena penampilan Mery yang 80% berubah, rambutnya dikepang, kacamatanya hampir melorot, dan kuku yang dulunya dicat sekarang bening kembali. Lalu 20% yang kurang itu adalah seragamnya yang begitu ketat dan sifatnya yang urakan.

"Lah, kalo gitu kenapa lo ngalangin jalan gue?!" ucap Aldevan penuh penekanan.

"Suka-suka gue lah!"

"Ck, berarti suka-suka gue juga mau ngebongkar aib lo."

Mery kaget, kedua alisnya naik, lagi-lagi Aldevan mengancamnya soal pensi kemarin. Mery memicing, ia tetap memasang wajah sok tidak peduli. Namun lagi ia kalah telak saat Aldevan memasang kembali helmnya dan berkata.

"Siap-siap skors lo nambah tiga hari." 

Ancaman Aldevan kontan menyentaknya kembali dalam ketakutan, masalahnya yang menjadi korban di sini bukan dirinya saja tapi Raya dan Tasya juga.

"Tapi kan gue udah penuhin syarat lo," Mery mencebik tidak terima. Enak saja Aldevan berkata seperti itu padahal dirinya sudah rela merubah gaya.

Aldevan tersenyum sinis."100% lo harus berubah 100% yang gue mau."

Mery berdesis. "Lo ngelunjak ya. Gak ah, emang siapa lo sok ngatur-ngatur hidup gue?"

Aldevan mendengus. Dasar cewek pelupa. "Sekarap lo. Gue cuma ngasih lo peluang nutupin kesalahan," ucapnya datar, tapi itu ada untungnya juga buat Mery, mungkin suatu saat cowok itu akan lupa dan membiarkannya kembali menjadi Mery yang semula.

Tapi, apa yang belum berubah seratus persen dari dirinya?

Mery memandang tubuhnya sendiri dari atas ke bawah, lalu menatap Aldevan seolah meminta penjelasan.

"Ish. Apa coba yang belum berubah dari gue?" tanya Mery akhirnya.

Mata Aldevan lantas melihat bagian tubuh atas Mery, dua kancing atasnya terbuka. Menampilkan dada putih cewek itu.

"Lo gak liat kancing lo udah kayak seragam dua tahun gak diganti."

"Ini kancingnya hilang, lagian bagus kalo kebuka, lumayan gue bagi-bagi rezeki gratis."

Aldevan geleng-geleng, kalau di hadapannya sekarang Arlan bukan dirinya, bisa berabe nanti.

"Gak sebanding sama muka lo!" ketus Aldevan sedikit menghina, tapi ia tidak mengelak dari fakta jika Mery itu lumayan cantik. Bibirnya tipis, alisnya serasi dengan matanya, sementara pipi chubyy yang polos.

Mery mengibaskan rambutnya. "Gue kan cantik, wajarlah!"

"Ngarep."

"Ihhh!"

Aldevan menaiki motornya kembali, sementara Mery tetap diam, tidak bergerak dari tempat semula membuat Aldevan harus kembali bersuara dengan malasnya.

"Lo mau gue tabrak?"

"Coba kalau berani."

"Lo, ck mau lo apasih?!"

"Tarik persyaratan lo."

Aldevan menaikkan satu alis, dari ucapan Mery itu dia menemukan ide yang tepat.

"Temuin gue di taman belakang sekolah."

"DEVAN!" Suara nyaring itu membuat Aldevan tersentak dari lamunannya. Pak Yoshi, sudah berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, satu alis naik dan mata memicing.

Seisi kelas lantas menatap Aldevan.

"Apa yang kamu pikirkan? Dari tadi Bapak panggil kamu hanya diam."

Pak Yoshi–-guru matematika di kelas Aldevan ini memang tidak terkenal galak. Tapi alangkah baiknya jika kalian memanfaatkan kebaikan beliau dengan hati-hati, karena di balik kumis panjang dan penggaris kayu itu tersimpan aura yang sangat mengerikan.

Arlan salah satunya, pernah menjadi korban kemurkaan beliau. Saat itu dia kepergok main ML alias Mobile Legend alhasil Arlan harus dijemur di tengah lapangan sambil main ML pula.

"Saya pusing, Pak," alibi Aldevan, padahal entah kenapa mendadak kejaAldevan pagi tadi melintas di otaknya.

"Kamu jangan beralasan seperti itu, mentang-mentang pelajaran saya memusingkan. "

Aldevan merespon dengan tatapan datar, pak Yoshi langsung mengerucutkan bibirnya. Respon yang sama ketika beliau menegur seorang Aldevan.

"Baiklah kita lanjutkan." Pak Yoshi mengarahkan penggarisnya pada papan hitam di sana, menjelaskan langkah-langkah penyelesaian logaritma.

Aldevan duduk dengan tangan terlipat, tapi pikirannya kembali terlintas wajah Mery, yang ia bingung mengapa harus membuat perjanjian seperti itu?

"DEVAN! KAMU SAYA HUKUM MEMBERSIHKAN LAPANGAN! SE.KA.RANG!" Suara pak Yoshi terdengar menggelengar sekaligus mengerikan. Aldevan kontan menegakkan punggungnya sementara di belakang Arlan tertawa. 

"Mampus lo!"

•••

Pelajaran sejarah itu anggapannya kayak benalu di pohon mangga, padahal mood Mery itu sudah baik-baiknya sehabis nonton drama Korea eh malah down lagi karena Bu Wulan melesat datang membawa setumpuk buku paket setebal kamus Bahasa.

"Cepet simpan handphone lo Ry," tegur Raya yang duduk di sebelahnya. Murid-murid lain berdiri dan mempersiapkan untuk salam.

"Bentar lagi, scene kiss ini sayang dilewatin." Di bawah meja, Mery tetap bersikukuh menyelesaikan drama koreanya. Adegan paling ditunggu saat ia menonton drama itu. Namun sayangnya kacamatanya melorot membuat pandangannya sedikit terlindungi.

"Ah, nih kacamata sialan banget," umpatnya, melepaskan kacamata lalu senyum-senyum sendiri.

"Ry," tegur Raya lagi.

"Bentar. Satu menit."

"Bukan satu menit lagi ini Ry. Lo udah kebobolan," ujar Raya berbisik, Mery mendongak dan tersentak kaget ketika mendapati wajah bu Wulan hanya berjarak kurang lebih satu senti dengan wajahnya. 

Sial, dia kehilangan adegan favoritnya itu.

"Kamu tidak sadar Ibu sudah ada di sini, Mery?" bu Wulan mengerucutkan hidungnya. Kacamata Mery terlepas memudahkan Bu Wulan mengenali cewek itu. "Saya sudah peringatkan kalau saya datang maka lekas memberi salam," ucapnya penuh penekanan.

Mery meneguk salivanya kasar. Ditatapnya wajah bu Mery yang tersulut amarah itu. "Ya maaf Bu, abis drama Koreanya seru, lagian ibu masuk gak ngucapin salam, harusnya kan gitu," jawab Mery tanpa dosa.

"Soal siapa yang mengucapkan salam itu terserah saya menentukan!" Bu Wulan bersedekap. 

Mery hanya mengusap tengkuknya tak bersalah. "Kalo gitu berarti terserah saya juga mau ngucapin salam atau enggak."

"MERY!"

Bukannya takut, Mery malah memutar bola matanya malas. "Guru adalah panutan, trus apa salahnya saya turutin prinsip Ibu?"

"Karena kamu masih tidak mengerti mana yang baik dan benar. Sudah, jangan membuang waktu saya. Cepat keliling lapangan tujuh kali!"

Semua murid di kelas langsung terdiam, ada yang menampilkan ekspresi kaget, menutup mulutnya dengan tangan, atau berlagak tidak peduli dan justru memaki dengan bisikan.

"Sudah Kudungga," ucap Mery seraya melesat pergi, memasang tampang biasa saja seolah tidak peduli. Memang ini sudah sering terjadi.

Bu Wulan balik berdiri di depan kelas, mengontrol ekspresi wajah yang tadinya marah menjadi datar saja.

"Baiklah, mari kita mulai pelajaran mengenang masa lalu."

Seisi kelas langsung menampilkan ekspresi beragam, ada yang mendesah lelah, memutar bola matas malas, tapi yang lebih dominan adalah bahu mereka yang merosot seketika.

•••

Keengganan Mery untuk menunaikan hukuman Bu Wulan melonjak naik ketika terik matahari menerpa lapangan. Dia menatap ke atas, langit begitu cerah tidak ada tanda-tanda mau hujan. Mery mendesah, setidaknya dengan adanya hujan tadi mengelakkannya dari hukuman.

Kini dia tengah berada di koridor lantai dasar, matanya menyapu seluruh koridor sekolah, sepi, tidak ada satu pun manusia yang melakukan aktivitasnya di luar ruangan. Kecuali dirinya, yang bingung hendak melakukan apa.

Akan tetapi, sesaat matanya melirik sisi kanan lapangan dia menemukan seorang cowok sedang memungut sesuatu di tanah. Dengan jarak kurang lebih lima meter.

Mery memicing, kedua alisnya bertaut sesaat mengenali siapa cowok itu.

"Mampus, gue maki dulu ah. Biar puas. Hahaha."

Berjalan santai, kedua kepangnya bergelayut, sampai di sana Mery langsung menepuk bahu Aldevan. 

"Eh lo."

Aldevan menengok, matanya memicing, acuh, dia kembali melanjutkan memungut sampah.

"Lo gak denger gue panggil?" Mery melipat tangannya di bawah dada. "Oh. Gue ngerti, lo pasti malu dicyduk gue mungut sampah, lo dihukum kan, iya kan?"

Aldevan menengok lagi. "Berisik!"

"Hmm lo labil banget ya, pagi tadi minta ditemuin di taman belakang sekolah, terus di sini lo sok acuh sama gue. Entar-entar lo mungkin minta dikawinin sama gue," ucap Mery ngawur. Membuat Aldevan berdesis dan menghela nafas panjang.

"Kegeeran lo."

Mery mengerucutkan bibir, dia mencari topik lain berbasa-basi, setidaknya atau mungkin cara ini bisa membuat cowok itu berbaik hati melupakan aibnya soal pensi.

"Btw, gue belum tau siapa nama lo. Lo tiba-tiba ngasih gue syarat terus gue iyain tanpa gue ketahui nama lo, lo kelas berapa. Haha lucu ya?"

Kali ini satu alis Aldevan naik, dia berdiri tegap, merasa curiga kenapa Mery mendadak jadi bawel. 

Aldevan dilanda curiga. "Devan, nama gue Aldevan," jawab Aldevan sekedar memberitahu. Lalu memungut sampah lagi, sedikit bergeser dari tempat awalnya.

Mery manggut-manggut ngerti. Dia mengikuti arah Aldevan.

"Kelas? Mungkin suatu saat gue butuh bantuan lo atau lo jadiin gue orang yang paling sering lo simpen aibnya," ucap Mery sedikit menyindir. yang langsung mendapat pelototan tajam dari Aldevan.

"XI IPA-1" jawab Aldevan, Mery melongo, setahunya kelas IPA 1 itu dihuni oleh para manusia jenius.

"Kalo gitu"

"Udah. Lo gak perlu basa-basi cuma buat baikin hati gue. Kemungkinan 0% gue bakal tarik lagi persyaratan gue. Jadi, lo gak perlu buang tenaga buat ngomong sama gue," jawab Aldevan seolah mengerti isi kepala Mery.

Kaki Mery menghentak kesal di tanah. "Lo gak–-"

"Kak Aldevan!" Suara imut itu entah datang darimana, Aldevan menoleh, alisnya bertaut, Mery celengak-celenguk mencari pemilik suara.

Tapi, Aldevan mengenali suara itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rozi Putra Rahmad
lanjut bre..
goodnovel comment avatar
Daeng Ngalle
kenapa belum ada kabar nya Mila ini.?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status