Share

4 > Cewek Sialan

Selain mengepang rambutnya Mery juga hanya memakaikan sedikit polesan bedak di wajahnya. Jujur, rasa gerah dan panas ketika Mery membiarkan wix yang ia pakai bekas tiga hari lalu harus dipakai ke sekolah pagi ini.

Meski tidak sudi, tapi ia juga harus menjaga imejnya sebagai cewek yang menepati janji. Entah kenapa juga ia tidak mengerti, seperti tanpa sadar ia mengiyakan persyaratan cowok itu.

Setelah bersiap-siap, dengan langkah berat Mery menaiki mobil yang sudah ada pak Ilham--supir pribadinya.

"Jalan, Pak," perintah Mery yang duduk di kursi depan samping pak Ilham dengan malas.

Pak Ilham menatap Mery sumringah. "Wah, Non beda hari ini. Gimana kalo bapak kasih tau sama Tuan?"

Mery menggidikan bahunya, diketahui Papanya saja ia malu apalagi kalo sampai satu sekolah. Mau ditaruh dimana mukanya nanti? Di bak sampah?

"Bodo amat, Pak. Cepetan jalan!"

Pak Ilham hanya tertawa pelan, kemudian  mobil mereka menyusuri jalanan pagi yang penuh oleh lalu lalang kendaraan. Dari banyaknya kendaraan itu didominasi anak sekolah atau para guru berseragam PNS yang berangkat kerja. Sebab itu jalanan mulai macet, Mery berdecak, padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi. Ia melirik jam tangannya berkali-kali.

"Gak bisa dicepetin, Pak?" tanya Mery mendesak.

"Gak bisa, Non, kita harus patuhi peraturan."

Lampu hijau berganti merah, dengan perlahan pak Ilham memelankan laju mobilnya. Jalanan juga becek akibat hujan gerimis malam tadi. Efeknya sangatlah buruk terutama bagi anak sekolah yang berangkat jalan kaki. 

Melihat ke pinggir jalan, ada dua orang anak SD dan satunya SMP. Anak SD itu merengek karena roknya kecipratan lumpur oleh pengendara tidak bertanggung jawab yang lewat.

"Mit amit," gumam Mery setelah melihat kejaAldevan itu. Jangan sampai ia mengalami hal sama.

"Aduh lama banget, Pak. Ini lampu jalan atau lampu tower sih?" rengek Mery, ada sekitar dua menit ia menunggu namun lampu lintas tetap berwarna merah juga.

"Sabar, Non, biasanya kan juga lama gini."

Mery mendengus, dilihatnya lagi beberapa kendaraan yang mengelilingi mobilnya, dari pemantauan matanya ia menangkap sosok cowok sialan itu. Cowok yang membuat hidupnya seperti neraka untuk beberapa hari kemudian, atau mungkin selamanya. Mery tidak sudi jika harus menerima itu.

Terpampang jelas dan nyata, jika cowok itu sedang menunggu pergantian lampu lalu lintas. Tepat di samping kanan mobilnya. Dia fokus menatap ke depan. Motor sport berwarna hijau terlihat cool di tumpangan cowok itu. Namun tatapan dingin dan datar seolah menenggelamkan semua kekagumannya. Tergantikan raut ingin muntah dari wajah Mery.

"Sialan, jangan sampai nih dia ngeliat gue."

Mery mengalihkan pandangannya dari cowok itu, jauh dari perkiraan dia malah bercermin di kaca mobil Mery. Merapikan rambutnya, membenarkan dasinya dan terakhir membenarkan kancing atasnya.

"Udah cakep."

Di luar dugaan, Mery tanpa sadar membuka kaca mobilnya, tersenyum kecut, rasa takutnya hilang digantikan keinginan besar mencyduk cowok itu.

"Lo gak tau di mobil ada orangnya?" tanya Mery angkuh usai kaca mobilnya terbuka.

Seketika tangan Aldevan yang merapikan rambut berhenti di udara. Aldevan cengo, agak malu sih sebenarnya. Tapi mendadak bibirnya menyungging senyum ketika melihat penampilan Mery.

Nih cewek ternyata gak seberani yang gue kira, batin Aldevan.

"Gak tau sopan, lo kira nih cermin, main ngaca sembarangan?!"

Aldevan semakin cengo. Ia menatap sekeliling, beberapa orang memperhatikannya sambil menahan tawa. Aldevan tidak bisa berkutik dibuatnya.

"Lo." Telunjuk Mery mengarah wajah Aldevan. "Emang enak dicyduk orang?! Ahahahah." kemudian  tertawa puas sambil memegangi perut bersamaan dengan pergantian lampu menjadi hijau. 

Perlahan mobil Mery tersingkir dari hadapannya. Aldevan mendengus, lihat saja nanti. Dia pasti balas dendam.

"Awas lo, fake nerd. gue kasih pembalasan lebih."

•••

"Foto gimana, Lan? Dari kemarin kak Raqa minta copy filenya sama gue, ribet jadinya. Urusan gituan kan lo," sungut Kevin. Memang dari kemarin urusan edit-mengedit itu tugas Arlan, khusus Kevin hanya memilih bagian mana yang akan diambil dan dibuang. Hari ini pun, sepagian Kevin sudah berada di sekolah demi tugas dokumentasi.

"Tenang aja," sahut Arlan memiripkan suara dengan salah satu iklan travel di televisi. Dia meletakkan laptopnya di meja. "Diselow-selowin yuk."

Kevin memutar bola matanya jengah. "Halah. Selow apaan, kayak gue gak tau kalo kamera lo itu malah penuh foto cewek."

Arlan nyengir. "Cuci mata, apalagi yang badannya bohay-bohay. Bisa tahan sejam gue pelototin. Beuhh." Lagi-lagi Arlan dengan mode jiwa mesumnya. 

Kevin menjitak dahi Arlan. "Ye dasar mesum!"

"Asal lo tau, kalo mesum itu ada kaitannya sama pelajaran IPA," sahut Arlan tidak mau kalah.

"Gue anak IPS, mbing."

"Sekedar pelajaran tambahan buat lo."

"Gak ada kaitannya, Tai."

Arlan berdesis, soal jiwa mesum itu menurutnya biasa. Wajarlah remaja cowok yang sudah puber berpikiran seperti itu. 

KemuAldevan hening kembali tercipta, hening ini bukanlah kecanggungan melainkan kesibukan mereka atas aktivitasnya. 

Arlan menyalin setiap foto yang sudah dipilih Kevin ke dalam laptopnya, satu persatu hingga Arlan tanpa sengaja mendapati foto cewek berkepang, membuat Arlan mengingat kembali taruhannya pada Kevin.

Kalo dia beneran cupu, gue ceburin ke empang.

"Vin," panggil Arlan, Kevin bergumam. Memutar badannya menghadap Kevin. "Lo masih ingat taruhan gue kemarin?" 

"Yang soal cewek berkepang itu, Mery maksud lo?"

Arlan mengangguk. "Kalo bener si cupu itu cewek yang diskors, hari ini dia pasti hadir ke sekolah. Udah tiga hari ini, kan?"

"Bener juga. Tapi kita tunggu Aldevan, katanya liat esok. Berarti hari ini kita udah bisa buktiin siapa tuh cewek."

Kevin manggut-manggut, tanpa mereka duga sosok Aldevan yang baru saja mereka sebut berlari menghampiri dengan nafas ngos-ngosan. Tangannya memegang lutut, kecapean.

Arlan menaikkan satu alis. "Darimana aja kamu, datang sekolah sesuka hati. Emang sekolah ini punya bapak kamu?!" Berdiri, rupanya Arlan berhasil menirukan gaya Bu Martha jika memarahi murid yang terlambat.

Kevin bertepuk tangan dari belakang. "Muantep."

"Sembarangan!" kekeh Aldevan. 

Kevin menyodorkan satu kursi untuk cowok itu duduk. Menepuknya perlahan.

"Duduk dulu, Bos, lo kayak orang habis dikejar setan."

Tanpa buang waktu lagi Aldevan duduk dan menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Rasanya hari ini dia benar-benar sial. Mulai dari dicyduk cewek sialan, bahkan tadi hampir saja dia kena omelan bu Martha jika telat kabur sedikit saja. 

"Oke-oke tarik napas... hembusin perlahan," ujar Arlan mempraktekannya, Aldevan pun ikut-ikutan saja.

"Kenapa sih, Al . Tumben jam segini baru dateng?" tanya Kevin kembali ke posisi semula.

"Gara-gara tuh cewek, untung gue berhasil kabur dari Bu Martha," jawab Aldevan.

Kevin tertawa pelan. "Beruntung banget lo, gue yakin dari banyaknya murid terlambat, salah satu Aldevantaranya pasti Mery."

Aldevan mendengus, memang benar kata Kevin, jika bukan karena Mery dia tidak akan hampir terlambat seperti ini. Cewek itu bisa-bisa saja membuatnya dijemur di tengah lapangan bersama murid lain.

Tak diduga ketika perbincangan mereka lagi asyik-asyiknya, mata Kevin tidak sengaja menangkap sosok Raya, cewek yang kemarin ia temui untuk menanyakan soal Mery. 

Raya tengah berjalan sendiri, kebetulan melewati arah dimana mereka berada yaitu ruang OSIS.

"Eh lo yang pake gelang," panggil Kevin. Aldevan dan Arlan langsung memutar badan mereka menghadap Kevin. Sedangkan Raya menoleh.

"Gue?" tunjuk Raya pada diri sendiri.

"Iya lo, emang ada cewek lain di sini yang pake gelang?"

Raya mengedar pandang sejenak, ia menggeleng.

"Yaudah cepetan sini."

"Ada apa emang?" tanya Raya.

"Lo temennya Mery, kan?" tanya Kevin to the point.

Raya manggut-manggut. 

"Nah, kebetulan. Lo bisa kasih tau dia buat temuin gue... ralat-ralat, temuin kami betiga."

Raya mengernyit. "Ngapain dia harus temuin kalian?" 

Kevin berdecak sekali. "Gak usah banyak tanya, oke?" kemudian  menatap Arlan, raut wajahnya seolah mengatakan lo udah siap ceburin dia ke empang?

"Oke deh. Tapi dimana?"

"Taman belakang sekolah," sahut Aldevan dingin, membuat Arlan dan Kevin saling berpandangan heran sekaligus tidak percaya.

"Oke deh." Raya melesat pergi dari sana. Dilihat dari wajahnya tampak tidak keberatan dengan permintaan Kevin. 

Setelah yakin, Arlan menatap Aldevan.

"Kok lo nyuruh di taman belakang sekolah?" tanya Arlan.

Aldevan melirik Arlan sekilas. "Gue udah janji."

Lantas Arlan menaikkan kedua alisnya terkejut. Sementara Kevin melongo. "What the fuck?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status