“Apa kamu nyesel pernah nyakitin aku?” tanya Jasmin pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gumaman AC yang berhembus lembut.Reyan menghentikan gerakan jemarinya yang tadinya menyisir rambut Jasmin di pangkuannya. Pertanyaan itu datang mendadak, tapi tidak asing. Seperti luka lama yang belum benar-benar sembuh, tapi tak lagi berdarah.Ia menatap wajah gadis itu—gadis yang pernah ia buat menangis, pergi, lalu kembali dengan dada yang lebih lapang dari sebelumnya.“Aku menyesal,” jawabnya jujur. “Tapi aku lebih menyesal kalau waktu itu aku nggak mengakuin apa yang aku rasain ke kamu.”Mata Jasmin menatapnya, diam, tapi dalam. “Kamu pikir… kita bisa sampai sini kalau waktu itu aku pergi?”“Enggak,” jawab Reyan tegas. “Kalau kamu pergi, aku akan nyusul. Mungkin lebih lambat, mungkin lebih berantakan. Tapi aku tetap akan cari kamu.”Jasmin menunduk, mengusap jemarinya pelan. “Aku cuma takut. Kita bahagia sekarang, tapi kadang… aku nge
“Rey, kamu yakin mau ikut?” tanya Jasmin sambil merapikan map dokumennya.“Aku sudah bilang, aku nggak akan ngelepas kamu datang ke penerbit sendirian,” jawab Reyan santai dari balik pintu lemari. Ia sedang memilih kemeja, dan jelas sedang berusaha tidak terlihat gugup.Jasmin tersenyum kecil. “Tapi ini bukan pertama kalinya aku ke sana.”“Tapi ini pertama kalinya kamu ngasih naskah yang—” Reyan berhenti, menatapnya. “Yang nyeritain sebagian besar tentang kita.”Kata-kata itu membuat Jasmin diam. Ia menggenggam map yang berisi bundel naskahnya lebih erat. Di halaman depan tertulis judul sederhana: Rumah yang Tidak Pernah Dibangun dari Bata.“Kalau mereka nggak suka?” bisik Jasmin pelan.“Kalau kamu nulis dengan jujur, selalu akan ada yang suka. Bahkan kalau itu cuma satu orang… itu cukup.”“Termasuk kamu?”Reyan menghampirinya, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku suka bahkan sebelum kamu menulisnya.”
“Aku belum terbiasa memanggilmu ‘suami’,” gumam Jasmin pelan, menggulung rambutnya ke atas sambil berdiri di dapur kecil mereka yang baru.Reyan yang sedang membuka dua mangkuk sup hanya menoleh dan tersenyum. “Panggil apa pun yang bikin kamu nyaman. Mau tetap manggil aku kakak juga boleh.”Jasmin memutar tubuhnya, lalu menyandarkan punggung ke meja makan. “Kamu tahu, itu terdengar cukup salah, ‘kan?”“Kita memang mulai dari yang salah, tapi bukan berarti kita tidak bisa membangunnya dengan cara yang benar.”Jasmin terdiam, lalu mengangguk pelan.Ada sesuatu yang damai di antara mereka sekarang. Bukan karena semua luka sudah sembuh, tapi karena mereka berhenti mencoba menyembunyikannya. Luka itu tetap ada—tapi mereka mengakuinya, menertawakannya, dan membiarkannya ikut duduk di meja, tanpa menguasai ruangan.Saat Reyan menggeser mangkuk ke hadapannya, Jasmin duduk dengan ragu.“Ini kamu masak?” tanyanya sambil mengendus
Reyan menyukai caranya Jasmin tersenyum ketika menatap kosong ke luar jendela—seolah pikirannya sedang menari di antara awan dan kata-kata. Ada ketenangan yang selalu terpancar dari wajah perempuan itu, meski Reyan tahu, di dalamnya masih ada luka yang belum benar-benar pulih.Tapi bukan itu yang membuatnya jatuh cinta.Yang membuat Reyan tidak bisa pergi adalah cara Jasmin memilih untuk tetap tinggal, meski hidup berkali-kali berusaha membuatnya pergi.“Aku mau tanya sesuatu,” ujar Jasmin sambil menyesap teh hangat di tangannya.Reyan mengangguk dari balik sofa. “Apa?”“Kamu pernah merasa… bersalah karena mencintaiku?”Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Reyan mematikan televisi, lalu bangkit mendekat. Ia duduk di hadapan Jasmin, menatap wajahnya lekat-lekat.“Aku tidak pernah menyesal,” ucapnya, hati-hati. “Tapi aku pernah takut. Bukan karena cintaku salah, tapi karena dunia bisa membuatnya tampak salah.”
Hujan turun di luar jendela. Bukan deras, hanya rintik-rintik lembut yang menempel di kaca seperti ingin didengar tapi tak ingin mengganggu. Jasmin duduk bersila di lantai, bersandar di sisi tempat tidur sambil memegang album foto lama yang Reyan temukan di lemari bawah tangga.“Aku nggak tahu foto-foto ini masih ada,” gumamnya sambil membuka halaman pertama.Reyan duduk di ranjang, satu kakinya menjuntai ke bawah, memandangi Jasmin dengan pandangan tak lepas.“Kurasa Mama menyimpannya dengan sengaja. Mungkin sebagai pengingat bahwa kita dulu pernah jadi anak-anak yang polos, sebelum dunia jadi serumit ini.”Jasmin tertawa kecil. “Lihat ini! Kamu masih ompong waktu senyum lebar-lebar.”Reyan ikut menunduk, melihat foto itu, dan tertawa. “Tapi kamu yang lebih lucu. Gigi kelinci, rambutnya kuncir dua kayak semangka.”“Aku kece waktu itu.”“Dan tetap kece sampai sekarang,” ucap Reyan, menyentuh rambut Jasmin sekilas.
Langkah kaki Jasmin terdengar lembut saat menyusuri lorong rumah. Suara gesekan halus lantai kayu seolah mengikuti detak jantungnya yang tak beraturan. Bukan karena takut—tapi karena terlalu banyak perasaan yang mendesak untuk diungkapkan, namun tidak semua bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di ujung lorong, suara piano terdengar samar. Bukan lagu yang utuh. Hanya denting-denting acak, seperti seseorang yang sedang menyusun nada dari serpihan pikirannya sendiri.Jasmin berdiri di ambang ruang musik. Reyan duduk di depan piano, membelakanginya, jemarinya menari pelan menyentuh tuts hitam putih. Ada keraguan dalam tiap nada yang keluar—seolah ia tahu apa yang ingin ia sampaikan, tapi belum yakin kapan harus dimulai.“Kau selalu memainkannya tanpa selesai,” ucap Jasmin pelan.Reyan menoleh. “Karena aku tidak pernah tahu bagaimana mengakhirinya.”Jasmin masuk, duduk di kursi di sebelahnya. “Mungkin karena tidak semua hal harus diakhiri. Bebera