Arga mengumpat kesal, ketika melihat pakaian tidur pilihan Rania tak sesuai dengan harapannya dan juga tak lengkap.
"Ch, dia cuma menyiapkan ini?" tanya Arga sambil mendesah kasar. "Sial. Gadis itu pikir aku bisa pakai baju tidur saja tanpa dalaman? Huhh!!" gerutu Arga berlanjut dengan desah nafas kasarnya.
"Kalo begini jadinya apa gunanya ..., pada akhirnya aku juga yang ambil pakaian sendiri!" ujar Arga dengan malas dan masih dengan handuk yang cuma bisa menutup daerah pusar sampai atas lututnya saja.
Tak butuh lama, beberapa menit kemudian diapun selesai memakai pakaian tidurnya. Melempar handuk asal, begitu saja dan membiarkannya mendarat di atas lantai secara sembarangan. Tanpa merasa bersalah atau menyesal, dan dia bahkan segera keluar dari kamar.
Menuju dapur, atau tepatnya ke ruang makan dan menemukan semua anggota keluarganya bersiap makan di sana. Arga menghampiri mereka dan langsung mengambil tempat di sisi Rania.
Rania menundukkan kepala, sementara Andini Ibunya Arga terlihat menatap kesal pada menantu baru dan mendadaknya itu. Beralih pada Viona saudara Arga yang perempuan, gadis itu tampak lebih kejam lagi. Dia bahkan lebih terang-terangan menatap kakak iparnya Rania. Hanya Nugraha yang sepertinya bersikap biasa dan tak memperlihatkan kebencian sama sekali.
"Aku pikir kakak akan menikah dengan kak Salsa, taunya malah Rania. Cih, dia sudah kasih apa ke kakak sampai mau sama dia? Mana kalian menikahnya tiba-tiba dan mendadak lagi. Aku yakin pasti sudah terjadi sesuatu," ujar Viona buka suara saat setelah mereka mulai makan malam.
"Jangan banyak bicara dan makanlah dengan baik, Viona. Nanti kamu tersedak," ujar Nugraha yang langsung mengingatkan putrinya itu.
"Tapi Daddy, Viona yakin sudah terjadi sesuatu pada kakak dan Rania. Masa sih nikahnya dadakan, tapi nggak ada apa-apa?" ujar Vania lagi.
Gadis itu memang belum tahu apa yang sudah terjadi. Pulang-pulang ke rumah dia malah mendapati sang kakak sudah menikah, tapi bukannya dengan tunangan malah dengan adik tunangannya. Orang seperti Viona yang cukup kepo tentu saja tak bisa diam dan tentunya akan mencari tahu.
Nugraha tak menjawab lagi dan meneruskan acara makannya. Sementara Arga, laki-laki itu malah acuh tak acuh saja. Beda Rania yang malah tertekan dan bahkan kesulitan memakan makan malamnya.
"Kenapa? Daddy sama Mommy dan Mas Arga kok diam saja, tidak ada yang mau memberi penjelasan? Huhh, kalian tidak asik," gerutu Viona kelihatan kesal. Beralih pada Viona, diapun menatap sinis dan kemudian membuka suara. "Apa kamu menggoda kakakku Rania? Aku tak yakin jika kak Arga yang melakukannya, karena dia sangat mencintai kak Salsa," lanjut Viona menuduh asal.
"Cukup! Tutup mulutmu, Viona dan makan makanan mu. Apapun yang terjadi antara Kakakmu Arga dan Rania itu bukan urusan kamu. Diam, atau jika tidak bisa lebih baik kamu ke kamar saja!" omel Andini buka suara.
Begitu marah juga teramat kecewa pada kelakuan anak dan menantu barunya, dia sebagai orang tua ternyata tak bisa diam saja, jika mereka dipertanyakan. Walaupun itu oleh anaknya yang lain.
"Mommy galak. Aku kan cuma penasaran aja," ujar Viona membela diri.
"Vi!!"
"Baiklah, Viona akan diam," jawab Viona akhirnya pasrah dan menyerah.
*****
Masih belum tidur, pengantin baru yang harusnya menikmati malam indah sebagaimana mestinya. Malah terlihat asik sendiri dan saling cuek.
Arga duduk di atas tempat tidur dan memangku laptopnya. Sementara Rania di sofa juga hampir sama. Gadis itu juga asik dengan laptopnya, tapi bedanya dia sedang asik dengan tugas kuliahnya.
Pernikahan mendadak dan luar biasa sederhana itu, tak bisa membuatnya lupa dengan statusnya sebagai mahasiswa. Walaupun dirinya sudah sangat pusing dan dililit banyak masalah. Tak bisa mengelak Rania cuma bisa menghadapinya.
Hari ini mereka sama-sama tidak bisa ke kampus, tapi Arga sebagai dosen sudah memberikan tugas yang harus sudah siap dan dikirimkan sebelum jam tengah malam. Dia tak memberi kompensasi walaupun tahu bagaimana keadaan Rania.
Tugas Rania segera selesai dan diapun sudah mengirimkannya pada asisten dosen Arga, tapi masalahnya sekarang Rania sangat mengantuk. Sudah sangat ingin tidur, tapi mau tidur di mana dia malah bingung sendiri sekarang.
Sekamar dengan pria saja ini pertama kalinya untuknya. Hal itu sudah pasti menjadi masalah tersendiri untuk ukuran anak gadis sepertinya, terlebih sekarang dia malah sekamar dengan orang yang kurang disukainya. Arga dosennya sendiri.
"Ada apa, kenapa kamu diam saja seperti itu dan melamun. Tugasmu sudah siap?" tanya Arga dan sepertinya dia sudah mengamati Rania.
"Sudah, Pak," jawab Rania seadanya.
"Tapi ku lihat belum ada email darimu?" ujar Pak Arga lagi.
Dengan cepat pria itu sudah meletakkan laptopnya dan menyimpannya di nakas. Berdiri dari tempat tidur, kemudian menghampiri Rania dan duduk di sofa yang sama.
"Walaupun kamu sudah menjadi istriku, tapi Rania jangan harap status itu membuatmu bisa bebas dari tugas!" seru Arga sambil menatapnya tajam.
Aura dinginnya langsung terasa dan begitu kentara menyelimuti Rania, akibat jarak mereka yang begitu dekat dan juga tatapannya.
"Aku sudah kirim Pak, tapi pada asistennya Bapak seperti biasanya," jelas Rania menjelaskan.
"Asisten?" tanya Arga memastikan dan Rania segera mengangguk untuk memperjelasnya. "Mulai sekarang khusus untuk tugasmu kirim langsung padaku!" tegas Arga entah alasannya untuk apa.
"Kenapa ke Bapak, bukannya biasanya pada asisten dosennya Bapaknya?" tanya Rania heran.
Arga tak menjawab dia cuma diam saja, dan Rania pun melakukan hal yang sama, sebab dia tak berani bertanya lagi. Takut suaminya marah. Mereka pun saling mendiamkan.
Rania dengan kepala yang penuh kebingungan dan pertanyaan. Namun, apapun itu yang paling penting sekarang adalah dia akan tidur dimana malam ini.
"Kau mengantuk?" Arga angkat bicara ketika melihat Rania menutup mulutnya dengan telapak tangan dan menguap.
"Iya, Pak. Hm, tapi aku akan tidur dimana malam ini?" tanya Rania memberanikan diri.
Arga terlihat mendengus kasar. "Jawaban semudah itu masih kau tanyakan. Dasar bodoh. Memangnya kau pikir akan dimana lagi jika bukan di tempat tidur sana!" jawab Arga dengan setengah membentak.
"Tapi Ba--"
"Kenapa memangnya kalau seranjang?" tanya Arga sepertinya tahu maksud kalimat yang akan Rania ungkapkan. Dia memotong dan mengintimidasi Rania dengan segera.
"Kemarin malam saja kamu berani menggodaku, tapi sekarang malah seperti anak kucing yang ketakutan!" cibir Arga tajam.
Rania memikirkan ucapannya dan berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, tapi sayang nihil. Tak ada apapun di dalam ingatannya.
"Aku tidak menggoda, Bapak," jawab Rania membela diri.
"Cih, kau pikir aku percaya? Aku bahkan masih ingat jelas bagaimana kau merayuku semalam!" kesal Arga.
Rania mengerutkan dahinya. Dia malah kepikiran sesuatu sekarang. Ibu, Salsa dan bahkan suaminya sendiri pun kompak menuduh hal yang sama. Rania segera merasa pusing dan bertanya-tanya benarkah semua itu.
Pulang dalam keadaan setengah sadar dan sangat mengantuk, seingat Rania dia langsung tidur. Lain daripada itu Rania tak ingat apapun.
"Tidak usah pura-pura lugu begitu. Setelah puas menghancurkan hubunganku dengan Salsa. Nikmati saja hasilnya!" sindir Arga sambil kemudian beranjak.
Rania tak bisa menjawab. Dia tak berani karena mungkin saja itu benar. Sementara itu Arga segera kembali ke tempat tidur dan berbaring nyaman di sana, tapi tidak dengan Rania yang tetap di sofa.
Walaupun sudah diingatkan dan diberi izin oleh Arga, tapi dia tak mau ke tempat tidur. Membereskan laptopnya, kemudian mengambil tempat berbaring di atas sofa.
"Dasar gadis pembawa bencana, dikasih tempat yang enak malah pilih sofa. Ah, tapi sudahlah!" dumel Arga sebelum kemudian acuh dan tak perduli.
*****
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a