Arga membuang nafasnya kasar, masih menatap pintu kamar mandi setelah Rania masuk ke sana. Dia terlihat jengkel seperti bocah yang tak mau mengalah. Menggerutu kecil sambil menuju sofa dan duduk di sana dengan wajah yang tak mengenakkan.
"Awas kamu Rania!" geramnya seraya mengepalkan tangan.
Satu jam berlalu Arga tertidur dalam kondisi duduknya. Sementara Rania sepertinya sedang dalam masalah terbesarnya.
"Duh, kok aku lupa bawa handuk. Pak Arga masih di sana nggak, ya?" ujarnya dengan perasaan yang luar biasa cemas dan juga gelisah.
Rania ingin membuka pintu, tapi perasaan takut yang mendominasi membuatnya beberapa kali mengurungkan niat. Bayangkan menakutkan bagaimana jika Arga dosen sekaligus suaminya itu masih setia di depan pintu, lalu ketika melihat celah, laki-laki itu mendorong kasar.
"Tidak-tidak! Tapi kalau di sini terus, aku bisa mati kedinginan," ujar Rania dalam dilema.
"Pak!" panggilannya akhirnya memberanikan diri.
Memastikan ada tidaknya orang di dalam kamar, tapi setelah beberapa kali memanggil. Akhirnya dengan segenap keberanian yang terkumpul, Rania pun coba ambil risiko. Membuka pintu, tapi hanya memberi celah untuk mengintip.
Ketika tak melihat seseorang ada dihadapannya, Rania lebih memberanikan diri untuk menyembulkan kepalanya, dan mendesah kasar ketika melihat Arga ada di sofa.
"Kok, dia masih di sini sih? Duh, mana lagi tidur lagi. Pak Arga jadi orang menyebalkan banget! Terus sekarang aku bagaimana dong?" pikirnya semakin kebingungan.
"Ya, kali. Aku ke sana dan bongkar-bongkar isi koper. Keburu Pak Arga bangun terus liat aku nggak pakai baju bagaimana ... huhhh, aaaggrh!" lanjut Rania frustasi.
Dia pun memasukkan kembali kepalanya ke dalam kamar mandi, kemudian mendesah kasar. Sambil kemudian berpikir keras untuk mendapatkan solusinya.
"Ah, tadi aku liat Pak Arga punya handuk, apa aku ambil aja handuknya ya? Hm, tapi gimana caranya?" ujar Rania pada dirinya sendiri.
Gadis itu pun kembali mengeluarkan kepalanya dari balik pintu. Mengintip dan memperhatikan jaraknya dengan handuk yang ada di Arga. Memperhatikan jaraknya kemudian menimang-nimang sesuatu untuk memperhitungkan.
Jarak beberapa langkah, dan jalannya tidak ada yang buntu. "Bagus!" ujar Rania kemudian sambil geleng-geleng kepala.
Brak!
Gadis itu setelah mengambil ancang-ancang segera berlari dan hap mengambil handuknya. Rania pun dengan sigap langsung memakainya, membalut tubuhnya dengan cepat.
"Fiuh! Hampir saja ...," ujarnya sambil membuang nafasnya kasar dan menghela nafasnya lega.
Sayang sekali aksinya itu tak semulus harapannya. "Berani sekali kau mencuri handukku. Kembalikan!!" Arga tiba-tiba bangkit dan mencoba menarik handuknya.
Untung saja Rania sigap mundur dan mengelak, walaupun dalam keadaan kaget setengah mati. Kalau tidak, Rania tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi kedepannya.
"Aku pinjam dulu!" ujar Rania sambil membulatkan mata dan geleng-geleng kepala. 'Astaga, Pak Arga liat aku nggak pakai apa-apa nggak ya? Huhh, tapi sekarang aku juga belum pakai apapun!' lanjut Rania membatin dan meringis ngeri.
Tak bisa tenang, gadis itupun segera waspada. Menghindari Arga dan langsung menuju kopernya berada. Kemudian tanpa membuang waktu dia segera membongkar dan mengambil pakaiannya.
Sementara itu di mana Arga berada dan masih disekitar sofa. Entah mengapa dia terlihat pusing dan memberi pijatan ringan pada dahinya. Namun, ketahuilah bahwa saat ini meski begitu tatapannya tak bisa beralih dari Rania.
"Benar-benar gadis pembawa bencana. Sial. Sepertinya aku harus mandi air dingin dan berendam malam ini!" ujarnya sambil kemudian berjalan menuju kamar mandi.
*****
Tepat setelah selesai mengenakan pakaiannya, pintu kamarnya di ketuk dari luar. Rania membukanya dan menemukan Laura perempuan muda, tapi sepertinya adalah asisten rumah tangga di rumah mertuanya itu.
"Maaf Nyonya, tapi Nyonya Andini memanggil Nyonya dan Tuan Arga supaya segera ke bawah untuk makan malam," ujar Laura dengan sopan selayaknya pembantu pada majikannya.
"Baiklah. Katakan pada Tante, kami akan ke sana," jawab Rania.
Laura mengangguk dan segera permisi dengan sopan untuk turun, tapi begitu Rania hilang dari balik pintu, ketika Laura menoleh ke belakang untuk melihat. Tatapan gadis itu segera merubah.
Laura tiba-tiba saja diam dan menatap marah pada pintu kamar Arga-Rania. "Breng-sek. Dasar jalang, berani sekali dia menjebak Arga dan merebutnya lebih dahulu dariku. Sialan. Sudah susah payah aku mengungkapkan perselingkuhan Salsa, tapi perempuan itu yang justru mendapatkan Arga!!" geram Laura yang kemudian mengepalkan tangannya dengan erat.
"Laura!" panggil Andini ibunya Arga dari bawah. Perempuan paruh baya itu menatap asisten rumah tangganya dengan bingung. "Dimana Arga dan Rania?"
"Tuan dan nyonya Rania, katanya akan turun sebentar lagi, Nya," jawab Laura segera memberitahu.
Andini ibunya Arga segera mengangguk paham. "Yasudah, apalagi yang kamu tunggu. Turunlah ... dan siapkan makan malam dengan segera," ujar Andini Ibunya Arga memberitahu.
"Baik, Nya," jawab Laura dengan segera.
*****
Rania segera duduk di kasur seperginya Laura. Dia antara bingung menyampaikan pesan itu pada Arga dan juga masih takut menemui ibu mertuanya di bawah. Bagaimanapun juga Rania masih ingat bagaimana tatapan mertuanya itu saat memergokinya tidur di kasur yang sama dengan Arga pagi itu. Dia ingat bagaimana tajam dan marahnya tatapan wanita paruh baya yang sudah memergokinya itu.
Cklek!
Pintu kamar mandi terbuka, tapi hanya memunculkan kepala Arga yang menyembul di sana. Rania segera bingung, tapi sesaat setelah Arga memanggil dan mengutarakan maksudnya melakukan itu pipi Rania segera memerah.
"Kembalikan handukku yang tadi dan bawalah kemari!" ujar Arga membuat Rania segera tak bisa tenang. Pikiran Rania kacau dan segera kotor karenanya.
'Apa jangan-jangan Pak Arga telan-jang dibalik sana. Hmm, aaaggrrh, hentikan Rania, jangan bayangkan yang lebih dalam lagi,' batin Rania meringis ngeri.
"Kenapa geleng kepala. Kau menolak dan mau melihat saya telan-jang, hah?!" Arga langsung mengomel karena sudah salah paham dengan gelengan kepala dari Rania. Padahal maksudnya bukan menolak, tapi untuk menghentikan pikiran kotor yang tengah Rania bayangkan sendiri.
"Bu-bukan begitu, Pak!" Rania segera berlari dan mengambil handuknya cepat. Dia takut dan waspada ketika membayangkan suaminya itu bisa nekat.
"Ii-ini!" ujar Rania menyerahkan handuknya ketika jarak mereka dekat, dan gadis itu segera menutup mata begitu sudah di posisi itu. Untuk Jaga-jaga saja, takutnya melihat sesuatu yang belum siap untuk dia lihat.
"Sial. Kau benar-benar gadis pembawa bencana!" ujar Arga sambil meraih handuknya dan segera menutup pintunya dengan cepat. "Dia membuatku kedinginan karena tingkahnya!" lanjut Arga menggerutu di dalam kamar mandi.
"Pak!" panggil Rania dengan menguatkan volume suaranya supaya terdengar oleh Arga yang di dalam kamar mandi.
"Apalagi Rania?" Arga segera membalas setelah membuang nafasnya kasar.
"Cepatlah. Tante berpesan supaya kita segera ke bawah untuk makan malam," jelas Rania memberitahu.
Arga mengangguk paham walaupun Rania tak mungkin melihatnya. "Hm, tapi tolong siapkan pakaian ku dengan segera dan turunlah lebih dahulu setelahnya. Temui Mommy dan jangan buat dia menunggu lama," interaksi Arga dengan tegas.
"Baik, Pak," jawab Rania paham dan segera menyetujuinya. Menyiapkan pakaian untuk suami sekaligus dosennya.
Tak ada kendala sama sekali dengan hal itu, sampai pada bagian yang agaknya canggung dan membuat Rania segera meragu. "Apa dalamannya juga aku siapkan, ya?"
*****
"Jangan melewati batas!" seru Rania dengan tegas, sambil menaruh guling di tengah tempat tidur.Sebenarnya dia bisa saja tidur di sofa, tapi setelah memasak tadi, tubuhnya jadi lumayan penat dan juga agak terasa ngilu. Akan tidak akan enak jika di sofa walaupun empuk karena di sana sempit. Sementara kalau meminta suaminya yang tidur di sana Arga pasti menolak karena pria itu pasti tidak mau."Jangan melewati batas Mas!" peringat Rania ketika melihat Arga mau melewati batas.Namun karena diperingati begitu. Arga bukannya menurut dia malah kesal dan menatap Rania tajam. "Aku tidak mau!"Brukk!!Arga dengan dingin tiba-tiba saja melemparkan bantal gulingnya secara sembarang."Kalau kamu keberatan dengan hal itu, silahkan saja, tapi aku tidak akan melakukannya. Tidak batasan diantara kita Rania dan sadarlah akan posisimu sekarang!" geram Arga yang a
Akhirnya Rania keluar dari kamar mandi, setelah sebelumnya Arga penuh perjuangan membujuknya. Awalnya dia membuka sedikit celah pintu, hanya sedikit dan bisa dilewati tangannya saja juga handuk dan pakaian yang Arga berikan.Dia bahkan kembali menutup pintunya dengan rapat, dan mengenakan pakaiannya di dalam. Setelah selesai barulah dia berani keluar."Duduk di sini!" perintah Arga sambil menepuk tempat duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.Rania tak langsung menjawab, tapi memanyunkan bibirnya dahulu, dan membuat Arga gemas karena dia malah mematung di tempatnya."Astaga, Rania. Aku mau membantu mengeringkan rambutmu. Kamu mau kepalamu sakit karena tidur dengan rambut yang basah?!""Tapi aku belum mau tidur," jawab Rania dengan polosnya. "Aku lapar dan ingin makan sekarang," lanjutnya dengan tanpa dosa."Iya kita akan makan, tapi sete
"Kok kita ke sini sih, Pak?" tanya Rania heran dan tanpa sadar dia melupakan panggilan barunya.Arga tentu saja memelototinya untuk mengingatkan dan Rania yang akhirnya tersadar pun meralat ucapannya. "Maksudnya Mas," cicitnya sambil meralat. "Inikan apartemen dan bukannya rumahnya Mas?" lanjut Rania bertanya.Sebenarnya sudah sejak sampai dia menanyakan itu, tapi baru setelah masuk dia berani mengutarakannya. Harusnya Rania pikir mereka langsung ke rumah, karena Arga tak memberikan aba-aba apapun termasuk pemberitahuan. Ditambah sesampainya di sana mereka gampangnya masuk ke salah satu unit setelah Arga menekan pin untuk akses masuknya."Lagian kok bisa sih, Mas tahu pin masuk ke sini? Mas kenal dekat sama pemiliknya atau sangat akrab, atau ini punya adiknya Mas Viona?"Arga tidak menjawab pertanyaannya itu, tapi malah balik bertanya, "bagaimana menurutmu apartemen ini, apakah terlalu
Pulang bersama adalah hal yang Arga katakan padanya di ruangan, setelah mereka makan bersama. Namun, mereka tak bisa langsung pergi, sebab Arga rupanya masih punya jadwal mengajar beberapa jam lagi. Alhasil, Rania pun terpaksa harus menunggu.Dia langsung keluar ruangan Arga begitu empunya pergi. Sungkan menunggu di dalam, Rania putuskan menunggu di luar."Lama bangat kamu di dalam, ngapain aja sama Pak Arga?"Tiba-tiba Selvi muncul dan menatapnya sinis. Temannya satu ini memang terlihat tidak suka padanya walaupun pas dia ulang tahun beberapa waktu lalu, tapi tetap saja mengundang Rania. Kebenciannya tidak hilang dan undangan cuma formalitas agar dirinya terlihat baik."Dari kapan kamu di sana?" tanya Rania tak mau kalah."Cih, ditanya malah balik nanya?" gerutu Selvi terlihat sebal."Pertanyaan kamu nggak berbobot. Aku di dalam mau ngapain aja
"Tuh, kan. Kamu libur lagi, tapi kali ini memang jelas sih. Kamu habis sakit bukan?" tanya Melati menebak."Ya, tapi bukankah aku sudah mengatakan itu waktu kemarin. Kamu chat aku loh, dan aku beritahu kamu lewat pesan chat itu. Jangan lupa," jawab Kania mengingatkan."Yah, tapi kamu aneh bangat. Walaupun begitu tetap aja ada yang terasa ganjil dari kamu. Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Melati penasaran.Rania menundukkan kepala sambil memikirkan masalahnya, dan juga memikirkan apakah dia sudah siap memberitahu Melati sahabatnya tentang hal itu. Tak lama berselang dia segera mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya."Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun, tapi kamu benar memang sudah terjadi sesuatu denganku dan itu berhubungan dengan malam saat aku mabuk, dan pulang dari pesta ulang tahunnya Selvi," ujar Rania sambil kemudian geleng-geleng kepala. "Tapi maaf sekali Mel, ak
Selama sakit, Rania selalu dicekcoki makanan sehat oleh Arga. Sekarang ketika dia sudah merasa sehat. Hal serupa masih saja terjadi dan Rania agak keberatan dengan itu."Bubur lagi?" ujar Rania dengan tak percaya. "Aku sudah makan ini selama sakit, Pak dan aku sudah bosan. Lagipula aku sudah sehat dan gigiku cukup baik untuk mengunyah makan yang lebih berat," gerutu Rania protes."Makan itu, atau lebih baik kamu di rumah saja dan tidak usah ke kampus!" tegas Arga dingin tak terbantahkan."Ch, harusnya ini bukan masalah yang berat kalau saja buburnya ini ada suwiran ayamnya dan bukan lagi potongan brokoli dan juga wortel. Bubur ayam, rasa rumput. Cih, apa enaknya, enek yang ada!" gerutu Rania terus-menerus.Arga tidak mengatakan apapun dan hal itu membuat Rania makin sebal saja."Apaan sih, Bapak. Aku dipaksa makan beginian sementara Bapak sendiri enak-enakan makan a