"Bapak tidak melihat kalau kamu menyayangi Venca, Tar."Bagai bom yang dijatuhkan, Tara menegakkan badan, hampir saja tersedak."Saya—saya bilang akan belajar menyayangi Venca dengan tulus," jawabnya terbata, dia menunduk, entah memandangi apa."Sebaiknya kamu coba sebaik mungkin. Ingat, perusahaan papa kamu bisa saya jungkir balikkan, menjadi bangkrut."Jantung Tara berhenti sepersekian detik. Membeku, menatap mertuanya dengan kosong. Tidak tahu mau apa, pasrah, mungkin? Entahlah. Lebih baik dalam situasi seperti ini lelaki itu memilih diam.Bapak bangkit dari kursinya, mendengkus, terlihat di wajahnya. Gumpalan amarah di dadanya siap meledak. Memang Venca dan Tara dinilahkan demi keutuhan perusahaan papa Tara, tetapi bukan berarti, Tara bisa seenaknya dengan Venca. Apalagi, kalau lelaki itu tidak mencintai Venca sama sekali.Bapak menatap Tara yang terlihat ketakutan. "Bilang saja, Tara, kalau kamu tidak mencintai Venca. Biar B
Tara kalut dan juga marah masih membara di dada."Bokap lo ngancem, supaya gue sayang sama lo."Venca tersenyum miris. Rasanya dia baru tahu sosok Bapaknya selama ini."Bisanya ngancem doang," cibir Venca."Halah, kayak berani aja," ledek Tara balik."Berani. Gue akan bilang sekarang juga, status kita. Sekarang, beneran, gue tunggu bokap di rumah."Tara mendengkus, melempar pandangan ke luar. Mana mungkin dia biarkan Venca mengatakan yang sebenarnya? Bisa-bisa uang bulanan kurang."Paling enggak tunggu Rani lahiran, kita pisah. Gue janji!"Venca menengok Tara sekilas. Dia menengadah. "Uang belanja jangan lupa!" peringatnya.Tara menghela napas, enggak ada salahnya. Venca biar bagaimana pun, istrinya juga. "Gue transfer aja, bulan depan juga transfer aja.""Boleh. Jangan lupa uang listrik, kemaren gue yang terpaksa bayar, supaya enggak diputus." Venca membuka ponselnya, mencari nomor rekeningnya lan
Mama Tara terlihat kecewa, dia menunduk sambil mengaduk makanannya.Venca tidak ingin berbaik hati kepada mertuanya ini. Dia tahu, sekali memberinya angin, pasti akan membumbung tinggi prasangkanya.Mungkin Papa yang mengambil insiatif. "Apa kalian sengaja menundanya?" suara berat itu memecah keheningan yang beberapa detik tadi.Tara bingung harus jawab apa, dia menggeleng pada akhirnya. Venca juga serba salah, dalam hal ini, dia berpikir, Tara yang lebih mengenal Papa dan Mamanya, jadk, dia menutup mulut rapat."Venca, apa kamu ada masalah?" tanya Mama lagi.Mata bulat Caca menatap Mama. "Masalah apa, Ma?"Tara spontan menendang kaki Venca. Gadis itu aneh sendiri, meringis sendiri, Tara menendang kencang juga."Apa kamu sedang sakit? Atau baru-baru ini sakit parah? Apa kabar bulan madu kalian?"Tara tersedak. Venca serba salah, meminta pertolongan kepada Tara yang sedang menenggak air.Papa juga sepert
"Ca, masih di situ 'kan?" tanya Revan, di seberang telepon.Venca melihat Tara melangkah, dari dalam rumah. Wajah lelaki itu makin kencang. Entah ada apa lagi yang terjadi."Ya, ya, bisa, Pak," jawabnya, dia tidak mau pembicaraan ini jadi panjang."Oke, besok jam tujuh pagi.""Oke, Pak, saya datang." Venca buru-buru memutus sambungan telepon."Tar?" Lelaki itu berjalan melewati Venca. Gadis itu hanya bengong, tak mengerti apa yang terjadi dengan suami—sahnya itu.Hingga Tara masuk ke mobil. Venca mengikuti saja, duduk di jok penumpang."Kita mau pulang, Tar?" tanya Venca pelan.Tara membisu, entah apa yang terjadi dengannya. Venca ikut membisu, dia tidak ingin merusak suasana hati Tara.Mobil yang dikendarai suaminya itu memasuki kawasan indekos Venca. Hingga berhenti di depan gerbang."Turun!" titah Tara, suaranya datar dan tidak menatap Venca.Sekilas, gadis itu membuka kenop pintu. Namun sebelum
Revan pagi ini cukup gelisah, kedatangan Caca tentu saja yang dia tunggu.Saking gelisah, dia menyiapkan sarapan dua macam, bubur ayam dan pancake. Ada kopi, teh dan juga jus dalam kemasan.Pria itu menarik napas, laptopnya sudah siap untuk sambungan internasional.Tidak lama, bel apartemennya berdentang. Pria itu membeku, bukannya bahagian menyambut pujaan hati.Bel berdentang dua kali.Revan cepat-cepat ke depan pintu. Dia menarik napas, memasang senyum terbaik.Gadis cantik itu ada di ambang pintu. "Hai!" sapa pria itu.Tentu saja, membuat kesan yang baik, Caca menjawab dengan senyuman. Hari ini dia begitu bersinar dipandangan Revan. Lebih cantik."Assalamualaikum!" salam Caca, tentu saja.Revan sambil menggeser badan, agar gadis itu bisa masuk."Silakan, masuk dulu. Jangan takut, ada penjaga, jadi enggak mungkin aku berbuat macam-macam," ujar Revan lagi.Tanpa ragu gadis itu masuk ke apartemen Revan y
"Aku terima telepon ini dulu. Dari Ambu."Venca mengangguk, dengan senyuman. Dia melanjutkan membereskan laptop dan juga dokumen yang lain. Serta mencatat apa saja poin penting yang tadi dalam rapat.Revan melirik ke Venca yang sedikit sibuk membereskan aneka barang. Pria itu menutup pintu kamar."Hallo?""Assalamualaikum, Repan ..." Peringat Ambu di seberang sana."Iya, Ambu, maaf, assalamualaikum ...""Waalaikumsalam," jawab Ambu pada akhirnya."Ada apa, Bu?""Emang Ambu enggak boleh telepon anak sendiri?" canda Ambu terdengar segar pagi ini."Ya, boleh, Bu. Biasanya, Ambu telepon pas malem, atau enggak abis Re pulang kerja.""Iya, Ambu teh enggak sabar, kamu sebulan enggak pulang, Ambu kangen ..." rajuk wanita lanjut usia itu. Suaranya terdengar lirih."Iya, Re pulang, Mbu, Sabtu Minggu khusus waktu buat Ambu. Sekalian tengokin perusahaan di sana.""Eta perusahaan teh, lancar apa naon, Re? A
"Mama Papa Sabtu besok mau nginep, lho. Gantian ama ortu lo, inget kan?" Tara berucap kepada Caca. Sore ini, lelaki itu ngotot mau menjemput istri—sahnya di kantor.Bukannya tanpa usaha, Venca menolak sekeras mungkin ketika Tara telepon. Namun, tetiba saja dia melihat mobil Tara melintas di teras lobi gedung kantornya."Apaan? Kan gue bilang ada tugas ke Bandung!" hardik Caca lagi, dia mendengkus pelan. "Lagian sore ini lo semena-mena muncul di teras kantor, padahal enggak ada janji sama sekali. Apa lo enggak pikirin perasaan Rani?"Pertanyaan Caca tepat menohon jantung Tara."Gue 'kan suami lo. Wajar dong, kalo jemput walau dadakan!" sentak Tara lagi, kabin mobil itu serasa menegangkan sekarang, ditambah penghabisa udara panas sore hari, makin membuat hati mereka geram. "Lagi pula, rencana lo keluar kota, emang udah gue bilang setuju?" Tara menyentak tanpa melihat istrinya itu. Tangannya sibuk memutar setir. Wajahnya tiada raut, teg
Malam ini rasanya sulit untuk Tara lewati. Matanya masih mengawasi pintu gerbang indekos Venca dari mobil. Dengan perasaan yang tidam bisa dia jelaskan dengan kata. Beberapa jam berlalu menunggu, gadis itu belum terlihat sama sekali. Dan, lelaki itu mulai kesal, menggeram tak tentu.Dalam hatinya bertarung, buat apa dia menunggu di sini? Sungguh sangat tidak penting. Mengapa tidak telepon saja?Ya, itu telepon. Lelaki itu cepat-cepat keluarkan ponsel.dari saku celana.Namun, Tara lupa, beberapa kali dia coba tidak diangkat, akhirnya tersambung dengan kotak suara. Dari tadi pun sudah begitu. Lagi pula, dia hanya ingin meminta maaf, itu saja.Tidak lama, ponselnya malah berdering.Nama yang muncul, Rani.Tara setenguah mati mengawasi tempat dia berada, jangan sampai Rani tahu dia ada do drpan indekos Venca."Hallo, Ran?" sapa Tara."Sayang, kamu ke mana? Apa nginep di rumah ..."Suara Rani terputus, sebenarnya