CM 37
Tara yang masih berdiri di ambang pintu, menguap. Lantas mendengkus, dia melewati Caca ngeloyor entah ke mana, ke sofa tampaknya. Melanjutkan tidur, Venca sungguh tidak peduli, dengan cepat dia masuk ke kamar utama yang besar itu. Lelaki itu terpaksa mengalah, demi kepentingannya juga. Kalau nanti ada aduan dari orang tua Venca, bisa hancur semuanya. Dia hanya memikirkan calon anaknya dan istri siri-nya. Sementara, Venca masih menaruh baju-bajunya ke lemari pakaian yang ada. Terburu-buru lantas dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak ada hiasan apa pun di dinding juga meja rias. Tampaknya, matahari baru gagah bersinar. Venca, yang masih ada di kamar mendengar ada suara ribut-ribut di depan. Mampus! Detak jantungnya tak terkendali lagi. Jangan-jangan Ibu sama Ayah datang! Sepagi ini, pula!Nggak mungkin, rutuk Venca sendirian. Dia melangkah ke luar juga, demi rasa penasarannya. Dilihat Ibu yang terseHari-hari ada orang tua rasanya membuat muak Venca. Belum berganti hari tetapi Ibu rasanya sangat menyebalkan, kuping terasa panas.Sejak selesai makan siang tadi, Ibu selalu menasihati Venca untuk makan selalu berprotein tinggi, Juga Tara yang mesti banyak manak toge.Boro-boro toge, Tara hanya suka sayur sop, lain itu dia suka salad, melihat selain sayuran yang ada di salad dan juga sop, Tara mual setengah mati. Mencium baunya saja dia enggan. Mual!“Nah, ini, sudah Ibu belikan toge, sayur, besok mungkin kita masak saja, ya,” usul Ibu, yang kini memakai daster panjang, menjelang makan malam. “Kamu juga kalau bisa jangan bekerja terlalu berat, kasian lho, organ badanmu, Ca,” usul Ibu lagi. “Apalagi, rahim kamu.”Venca yang sedag mempersiapkan malan malam, matanya mendelik, setahu dia kesehatan bada apakah pantas dibandingkan dengan kesehatan rahim? Lagi pula, bukankah kalau mens teratur setiap bukan itu sudah cukup? Be
“Pokoknya, gue tidur di kasur,” titah Venca kepada Tara.Malam ini Tara sudah menduga tidak akan bisa tidur, ternyata, berdebat dengan Venca, sungguh sial. Uara gadis ini cempreng banget ternyata, mengganggu sekali.Tara tak acuh, dia membaringkan dirinya di ranjang. Tanpa peduli omelan Venca yang menyebalkan di telinga Tara.“Tidur aja situ, di samping gue kalo berani,” tantang Tara. Dia melihat wajah Venca langsung mengkeret ketakutan tentu saja, mukanya juga memerah, walau menunduk. Venca tidur seperti biasa, dia tidak pernah melepas kerudungnya.Tara masih memperhatikan gerak gerik itrinya itu yang sesekali mendelik ke arahnya. Dia mengambil bantal lalu ditaruh di sofa kamar itu. Juga mendengkus, Tara ini sangat menyebalkan. Dia menatap langit-langit kamarnya. Lampu sentral, Tara matikan, hanya ada lampu tidur.“Lo enggak lepas kerudung?” tanya Tara jail.“Enggak!” ketus Venca
"Jadi, kalian harus akur," kata Ibu lagi, wajahnya begitu serius. Ibu hanya beranggapan, kalau pernikahan anaknya harus diselamatkan kalau tidak, akan hancur. "Hormatin suami kamu, Ca, dia itu nanti yang membawa kamu ke Surga, mau kan sampai Surga berdua ...."Venca masih bersungut-sungut, sementara, Tara masih mendengkus, sesekali meledek Venca."Ya, ayo, Ca, minta maaf," cetus Bapak. Terang saja membuat Venca makin dongkol, kenapa dia yang harus minta maaf. Sama Tara lagi, amit-amit!"Maaf, deh," dia mengulurkan tangan ke Tara, yang hanya disenggol oleh lelaki itu."Tara, kenapa kamu enggak cium saja istrimu?" usul Bapak. "Kalian ini kan pengantin baru, harusnya lebih mesra, ibaratnya, kalian masih merasakan, manis-manisnya pernikahan. Sesekali mesra di depan orang tua enggak apa-apa, toh?"Sontak mereka menoleh Bapak. Enggak mungkin! Ruangan itu rasanya beberapa saat dingin, Venca dan Tara membeku sesaat.Namun, Bapak
Paginya, tentu saja jadi pagi yang ribet buat Venca dan Tara. Buat Venca saja sepertinya, Ibu mengetuk pintu pas adzan Subuh menggema."Nduk, jangan lupa bangunkan suamimu," pekik Ibu dari balik pintu. Dia berpikir, pelatihan jadi istri yabg baik dimulai hari ini. Jangan sampai rumah tangga anaknya ini tak karu-karuan.Venca sejak tadi sudah bangun. Dia melirik Tara yang masih lelap, sambil mendengkus. Bagaimana bisa dia mendapat musibah macam ini? Suami yang malas ibadah, dan jiga resek setengah mati."Iya, Bu," jawabnya."Nanti langsung ketemu Ibu di dapur, ya, Nduk. Kalau sudah selesai," ujar Ibu lagi.Mata Venca menerawang, sambil menelisik pikiran. Mau apa Ibu?"Iya!"Tara mendengkus, dia melirik Caca yang ada di kaki ranjang, memakai mukena lengkap."Lo ngapain, si? Teriak-teriak enggak karuan.""Bangun, lo, disuruh sama Ibu. Senin ni, sekarang!" tukas Caca lagi, sambil melepas mukenanya. "B
"Kayaknya, Venca kemarin masih menstruasi, Bu," sanggah Tara cepat-cepat, dia tidak ingin, Ibu dan Bapak berpikiran jauh soal mualnya pagi ini.Hingga Venca muncul dengan santai mengambil sarapannya dan membuat segelas teh manis.Ibu, Bapak dan juga Tara menatap Venca."Ada apa, si?""Lho, kamu enggak tahu, Ca? Tara tadi mual, muntah-muntah di kamar mandi."Mata Venca membesar. "Enggak apa-apa 'kan?" tanya Venca dengan santainya. "Paling masuk angin aja," jawabnya lagi. Dia mulai menyuap lontong sayurnya yang terasa hambar, hanya pedas saja."Ca, Nduk," Bapak merayunya, mana tahunanaknya ini masih malu mengakui kehamilannya kepada Bapak dan Ibunya. "Mungkin ada baiknya, hari ini kalian pergi ke dokter.""Buat apa, Bu?" tanya Venca acuh tak acuh, sementara Tara, menelototi Venca."Periksa kamu, mana tahu kamu 'isi', Ca," timpal Ibu dengan luwesnya.Dalam hati Venca mendecak. "Enggak mungkin, lagi pula, h
Rani mengerucutkan bibir ketika Tara mengeluarkan kotak bekal dan bilang, itu bekal dari Ibu mertuanya. Matanya mendelik, membuang pandangan lantas mendengkus. Ingat kemarin Tara akan bersama Venca saja, membuat dia enggak bisa tidur. Sekarang, Tara memberikan makanan yang katanya buatan Venca, rasanya jantung Rani mau meledak.Tetapi dalam hati penasaran juga. "Dibawain bekal apa?" tanyanya ketus. Sambil menyilangkan tangan di dada."Ini cuma tumis sayur toge, kata Venca begitu, tapi enggak tahu juga apa isinya," tutur Tara, dia menyodorkan kotaknya ke Rani.Dalam hati Rani menggerutu, kalau sekadar tumis, Rani juga bisa. Dahulu, Ibu kan mengajarinya masak juga, walau perempuan itu kadang malas membantu di dapur.Tara seperti mengerti kelakuan istrinya ini. Tetapi dia masih menebak, apakah Rani cemburu. "Kamu—enggak apa-apa 'kan?" tanyanya hati-hati. Wajahnya berubah, dia sangat menjaga perasaan istrinya satu ini, di samping harus m
Tara akhirnya sampai di tempat janjian dengan Papa Venca. Di melihat lelaki itu memilih tempat di tengah-tengah restoran yang padat akan pengunjung.Tara tersenyum ketika dia duduk di depan bapak Venca."Kamu udah makan, Tar?" tanya bapak Venca dengan lembut tetapi berwibawa.Tara bingung jawab apa. "Um, udah, Pa," jawabnya terbata"Ck, jangan malu-malu, saya kan bapak kamu juga. Silakan, pesan saja, mau makan apa?" Wajah Bapak terlihat ramah, membuat Tara nyaman, tentu saja.Tara melihat daftar menu yang tertulis di buku menu. "Chicken masala dan air mineral," katanya sambil mengembalikan buku menu ke pelayan yang berdiri di sampingnya.Bapak tersenyum penuh arti."Ada apa, Pak? Apa ada hal yang penting?" tanya Tara. Lelaki tegap itu tahu begitu Bapak menanyakan hal ini, dalam hati dia menyusun sebuah rencana dadakan lagi, kalau-kalau Bapak menanyakan hal lain—yang lebih berat lagi."Enggak ada," jawab Bapak sebe
"Bapak tidak melihat kalau kamu menyayangi Venca, Tar."Bagai bom yang dijatuhkan, Tara menegakkan badan, hampir saja tersedak."Saya—saya bilang akan belajar menyayangi Venca dengan tulus," jawabnya terbata, dia menunduk, entah memandangi apa."Sebaiknya kamu coba sebaik mungkin. Ingat, perusahaan papa kamu bisa saya jungkir balikkan, menjadi bangkrut."Jantung Tara berhenti sepersekian detik. Membeku, menatap mertuanya dengan kosong. Tidak tahu mau apa, pasrah, mungkin? Entahlah. Lebih baik dalam situasi seperti ini lelaki itu memilih diam.Bapak bangkit dari kursinya, mendengkus, terlihat di wajahnya. Gumpalan amarah di dadanya siap meledak. Memang Venca dan Tara dinilahkan demi keutuhan perusahaan papa Tara, tetapi bukan berarti, Tara bisa seenaknya dengan Venca. Apalagi, kalau lelaki itu tidak mencintai Venca sama sekali.Bapak menatap Tara yang terlihat ketakutan. "Bilang saja, Tara, kalau kamu tidak mencintai Venca. Biar B