Hallo, pembaca... Ini karya pertama aku di Goodnovel, ya. Dilakan masukkan ke rak buku kalian, terima kasih atas dukungannya.
Hari ini seperti hari baru buat Revan Manantara. Kepulangannya dari Amerika disambut baik oleh Ayah.—yang sekaligus mengingatkan akan tugas barunya di Jakarta. Sebagai anak yang berbakti, dia hanya menurut saja.Beberapa hari di Bandung, menyerahkan pekerjaan sepenuhnya ke Gibran, Revan lantas pindah ke Jakarta, tanpa ragu.Gibran terbukti bisa diandalkan, untuk memegang beberapa proyek kecil. Dan ada proyek besar, berhasil dia dapatkan. Dan lagi, menang tender proyek kecil di beberapa perusahaan Bandung.Lumayan, pikir Revan, setidaknya dia bisa pindah dengan tenang ke Jakarta."Jadi, pindah ke Jakarta?" tanya Gibran, saat mereka makan siang bersama di kantin kantor."Ya, lo pikir, gue buru-buru sidak buat apa?"Gibran tertawa kecil. "Gue bakalan kehilangan elo."Revan tertawa renyah. "Lo kan di sini buat gue tugasin gantiin gue." Revan geleng-geleng sambil menyendok makan
Rani tentu tidak tinggal diam. Semua beban itu menjadi rasa bersalah juga dihati bumil. Dia mengusap perut ratanya perlahan, menimbang, menatap gawai berwarnanya. Yang juga baru dia beli kemarin. Apakah Venca akan mau menerima teleponnya?Kontak nama adiknya masih ada, tersimpan manis. Memang semua kenangan dengan adiknya itu manis dihati Rani entah apakah Venca merasakan hal yang sama.Perlahan dia menekan nomornya, setelah subuh, Tara masih mendengkur pelan. Rani memberanikan diri menghubungi adik angkatnya itu."Hallo, Ca? Tolong jangan ditutup dulu," pinta Rani tulus dan lembut.Tentu saja, Venca detak jantungnya tak beraturan saat menerima telepon itu. Hanya termangu, dia tidak mampu bergerak sama sekali mendengar suara kakaknya."Ada apa?" Akhirnya hanya kata itu yang ke luar dari mulutnya."Kamu baik-baik saja 'kan, Ca? Mbak khawatir enggak dengar kabar dari kamu.""Baik
Venca keluar dari pagar tinggi itu. Tara, tercengang melihat wajahnya kuyu, seperti kurang tidur. Dia melirik jemari yang tersemat cincin kawin, semakin kurus. Lelaki itu hanya tersenyum ramagh sebagai sapanya pagi ini. Dan istrinya itu? Masih berwajah datar.Tidak salah Rani menyuruhnya melihat keadaan Venca.Sebisa mungkin, Tara beramah tamah kepada istri—sahnya ini, yang sudah rapi, dengan hijab cerah yang menutupi kepala. Lalu kemeja tampak kebesaran dan juga celana panjang bahan, krem."Hallo, Ca," sapa Tara.Gadis itu sekilas melirik, lalu menunduk. "Hai," balasnya. Suaranya hampir tidak terdengar, tetapi, Tara cukup lega, paling tidak gadis itu menanggapi kedatangannya, mulai dari menjawab telepon tadi."Oh, iya, aku bawain sarapan, tunggu." Tara seperti melesat mengambil kantong kresek yang berisi nasi uduk spesial dua bungkus. Tara tersenyum menyodorkan plastik transparan itu.Dari harum nasi uduk, Venca tergoda juga.
Pikiran liar Tara adalah: paling tidak dia menunjukkan niat baik. Rasa kasihnya yang mulai timbul seiring tadi Rani memintanya menjenguk Caca. Lalu, kenyataan Venca yang memang kata Mamanya benar, cantik, dan masih perawan! Bukan berarti Rani tak cantik, tetapi, dalam keadaan serba—lemah sekarang, apa mungkin? Tara tak tega rasanya.Lalu, lelaki itu memikirkan tentang hasrat liarnya. Nafkah batinnya, apa iya, Venca akan rela memberikannya? Bukankah mereka boleh melakukan itu?Gadis itu memandang tajam Tara sambil mencoba memutar pergelangan tangan yang dicengkeram oleh suaminya itu."Lepas, Tar!"Tara mengerjap. Mungkin dia sadar, Venca tidak sepenuhnya milik lelaki itu. Walau mereka saling terikat. Lelaki itu memutar badan, lantas menggenggam lingkar kemudi. Mungkin belum saatnya, begitu pikir suami sah Venca itu, rahangnya mengatup, hasratnya itu memang tidak bisa dia pendam. Mana tega melampiaskan kepada Rani.
CM 32Venca berusaha terlihat biasa dan tenang, walau jantung dan kepalanya bergemuruh. Dia mengulurk tangan duluan ke arah Revan.“Venca,” gadis itu berujar dengan percaya diri, menyingkirkan segala perasaan pribadinya terhadap Revan. Semua ini adalah hubungan professional—pekerjaan, karyawan dan bosnya.Pria itu menyambutnya, dan tersenyum. Dahinya sedikit berkerut, menatap wajah gadis itu yang pucat pasi. Juga kalau dugaannya tidak salah mukanya lebih tirus dari terakhir kali bertemu. Tidak bisa banyak komentar, karena, Papa Revan menyela pembicaraan.“Memangnya, syarat menjadi karyawan terbaik di sini apa?” tanya lelaki berambut putih itu. “Tentu saja, kami masih menelaah keadaan karyawan di sini, termasuk system kehadiran karyawan, bonus dan juga gaji serta hubungan atasan dan karyawan. Ehem!” Ayah mulai jail., Revan merasakannya, dia menoleh sesaat setelah lelaki itu berdeham. Wajah tua itu menyeringai seper
Dada Venca sesak tak karuan membaca pesan dari Ibu mengiriminya kabar. Sampai telepon antar—ruangan yang berdering berulang kali tidak dia angkat.[Ca, apakah sudah kembali dari bulan madu? Boleh Ibu berkunjung?]Tangan Venca gemetar tak karuan. Sekali lagi, telepon antar—ruangan itu berdering. Ponsel yang masih ada di genggamannya hampir saja terjatuh. Tak karuan rasanya hati gadis itu bingung juga harus jawab apa? Mau tak mau dia harus memberi tahu Tara. Tetapi bagaimana kalau dia punya ide lain yanhg lebih membuatnya gila?Ah! Sungguh tidak peduli sekarang Venca.Beberapa minggu pernikahannya, sudah tiga minggu kurang lebih, apa iya kalau dia menjawab masih bulan madu, orang tuanya akan maklum. Selama tiga minggu ke mana saja, dia harus jawab apa?Rasanya terlalu lama termenung dan berpikir, sampai lupa mengangkat telepon, sementara telepon itu terus menjerit.“Udah datang makanannya?” tanya Revan cepat dan datar.
Sementara itu, Tara yang pulang dari tes kesehatan pekerjaannya membawa kabar gembira untuk Rani. Ya, lelaki itu bergembira, paling tidak kecakapannya mencari pekerjaan tidak perlu lagi dia ragukan. Tanpa perlu koneksi dari Mama atau Papa bukan? Dia berhasil punya pekerjaan, dan juga gaji yang mumpuni.Dia menelusuri selasar rumah sakit, menuju tempat Rani dirawat. Dengan penuh senyuman, dia dorong pintu ruang perawatan.Ada Rani yang sedang tidur di ranjang pasien. Tara mengecup kening istri—sirinya itu, hinga membuat Rani terbangun.“Hei, ada apa, kayaknya gembira banget?” tanya Rani lembut.“Tebak, dong apa?” jawab Tara, dia masih tersenyum. Sambil tadi embawa makan siang yang terlalu sore untuk dirinya dan juga Rani, tentu saja.“Apa, si, Tar?” aku lagi enggak semangat main tebak-tebakan begini,” ujar ranni, wajahnya masih pucar. Selang infuse masih tertancap di tangannya.
Jelas Tara bingung tak karuan."Bagaimana, Tar? Ibu mau mampir besok. Sekalian akhir pekan nginep di rumah!" tanya Caca, juga dengan suara yang gemetar."Kamu enggak salah?"Rani menegakkan badan, dahinya berkerut."Tar?"Panggilang dari Rani, jelas terdengar Caca. Dia mendengkus sekali lagi, dan terdengar di sambungan telepon."Kenapa, Ca? Kamu enggak suka?" Tara sinis bertanya ke Venca, tentu saja dia tahu suara istrinya itu terdengar."Lebih baik, kamu pikirkan bagaimana caranya, nanti bisa SMS aku."Seketika tanpa salam atau apa pun. Sambungan itu terputus.Tara menatap handphonenya, ingin membanting benda itu. Tetapi dia tahan, biar bagaimana pun, Caca memang tidak patut dipersalahkan.Wajahnya yang merah padam terlalu terlihat oleh Rani."Kenapa, Tar? Venca ngomong apa tadi?" tanya Rani, dia panik tak karuan.Tara mendudukkan badan di kursi sisi ranjang pasien Rani. Dia mengum