Share

Bab 3. Trio Casanova

Kriiiiing!!

Tangan Alex meraih telepon seluler di atas meja dekat tempat tidurnya dan mematikan alarmnya. Ia meregangkan badannya di atas kasur besar berukuran king size, masih berselimutkan selimut berwarna krem yang tebal dan lembut.

Ia pun bangkit duduk dan mengumpulkan kesadarannya. Tentu saja tidurnya sangat nyenyak malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya. Bagaimana tidak? Kasurnya sangat besar, empuk dan tebal. Belum lagi bantal dan guling yang semuanya memiliki standar kualitas hotel. Kamarnya sangat luas bisa dibilang seluas lapangan voli, dengan nuansa abu-abu muda. Fasilitas yang lengkap seperti TV berukuran besar, kulkas kecil, AC, home theater, dan water heater pasti membuatnya semakin betah di kamar. Kamarya itu pun memiliki area belajar sendiri dan terdapat beberapa buah sofa empuk untuk bersantai. 

Ia pun turun dari tempat tidurnya dan segera menuju ke kamar mandi dalam kamarnya, yang pintunya tak jauh dari tempatnya tidur. Serasi dengan kamarnya, kamar mandinya itu pun luas dilengkapi dengan ruang wastafel, ruang WC, ruang shower, dan bathub yang terpisah oleh sekat kaca. Lapisan lantai dan dindingnya mengkilap, terbuat dari granit dan marmer.

Ia pun segera mandi.

Selesai mandi, ia mengenakan seragam sekolahnya: kemeja lengan panjang berwarna putih, celana abu-abu, dasi bergaris merah-hitam, dan tidak lupa jas almamater berwarna abu-abu dengan logo SMA Akasia di bagian depan dada sebelah kiri.

Di depan cermin, ia merapikan rambut pendeknya yang berwarna hitam lurus dengan sisirnya, sebagian tipis rambutnya terjuntai jatuh ke depan. Membuatnya terlihat semakin keren saja. Di dalam cermin terdapat bayangan lelaki muda tampan berkulit putih dengan wajah yang memancarkan maskulinitas, tatapan matanya penuh kharisma, hidungnya mancung dan sempurna jika dilihat dari samping, dan bibirnya basah berwarna merah jambu. Pesonanya akan mampu melumpuhkan hati banyak gadis.

Selesai dengan semua persiapannya, ia pun mengenakan jaket bisbol berwarna biru-putih kesayangannya dan mengambil backpack berwarna hitam, lalu turun ke lantai bawah.

"Lex, sarapan dulu!" seru mamanya yang sedang duduk di ruang makan.

Rumah Alex bernuansa modern kontemporer dengan warna dominan abu-abu dan putih. Sangat elegan. Ruang makan, dapur, dan ruang keluarga ditata menyatu dengan konsep open space, membuat rumahnya yang luas terlihat semakin luas. Kaca-kaca yang lebar sangat dominan mengelilingi ruangan sehingga membuat cahaya matahari pagi bisa dengan mudahnya masuk ke dalam rumah. Kegiatan makan pun akan lebih nyaman ditemani dengan pemandangan taman dan kolam renang yang ada di bagan belakang rumah.

Alex berjalan menghampiri mamanya di meja makan dan mengambil sepotong roti sandwich di atas meja lalu memakannya.

"Ayo duduk dulu. Makan dulu kamu," pinta mamanya.

Mamanya berusia 50 tahun namun terlihat lebih muda dari usianya dan masih cantik. Rambutnya hitam pendek sebahu dan tampilannya sederhana, wajahnya tidak dihias dengan riasan tebal dan baju yang dikenakannya pun hanya sehelai kaos biasa dengan celana panjang kain tipis.

"Ini aja, Ma. Aku agak buru-buru soalnya. Aku berangkat dulu ya, Ma," kata Alex sambil mencium tangan dilanjutkan dengan pipi mamanya.

Ia kemudian menuju ke ruang keluarga. Di situ ada papanya mengenakan kaos dan celana pendek, sedang duduk membaca koran. Papanya masih setia dengan media cetak, walaupun ia juga selalu mengikuti berita di TV dan internet.

"Pa, berangkat." Alex mencium tangan dan pipi papanya.

"Ya, hati-hati," sahut papanya.

Keluarganya memang sangat kaya namun sangat sederhana. Rumahnya boleh saja mewah tetapi para penghuninya lebih suka mengenakan pakaian yang sederhana saat di rumah dengan gaya hidupnya yang sederhana pula.

Mama dan papanya memulai bisnis mereka dari bawah sampai akhirnya bisa berada di posisi sekarang ini. Mereka mengalami banyak jatuh bangun dan pernah merasakan hidup susah, sampai tempat tinggal pun dulu mereka hanya mengontrak. Pengalaman hidup mereka itulah yang akhirya membuat mereka tidak pernah melupakan dari mana mereka berasal dan tetap rendah hati.

Alex berjalan keluar dari rumah melewati pintu samping, menuju garasinya yang sangat luas dan terisi beberapa mobil. Garasi itu pernah mampu menampung sampai 8 mobil sekaligus. Tapi bukan mobil yang ia tuju. Ia berjalan menuju ke arah sebuah motor Ducati Panigale R berwarna putih yang sedang terparkir dan langsung naik ke atasnya. Ia langsung mengenakan helm racingnya yang berwarna putih juga. Saat ia menaiki motor tersebut, terlihat postur tubuhnya yang bertinggi 182 cm sangat pas dengan tinggi motor tersebut.

Alex menyalakan motornya dan segera melajukannya. Normalnya, ia memacu motornya dengan kecepatan rata-rata 70 km/jam. Motornya memang bermesin cepat. Superbike. Namun ia bukan pengemudi ugal-ugalan yang beresiko membahayakan orang lain.

***

Joshua sedang berdiri di sebelah mobil sport Audi TT Coupe berwarna abu-abu tua miliknya. Ia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Alex, rambutnya disisir ke atas dan terlihat sangat rapi. Mata coklat, hidung mancung, dan dagu belahnya sangat menarik perhatian. Ia sedang fokus memainkan telepon seluler keluaran terbaru miliknya, membalas beberapa pesan yang masuk pagi itu sambil sesekali membalas sapaan teman-temannya yang lewat di depannya. Beberapa mobil lain terparkir di sebelahnya menyisakan satu tempat kosong di sebelah kirinya.

Tak lama kemudian, datanglah sebuah mobil sport Mercedes Benz Coupe AMG GT berwarna kuning dan diparkir di sebelah kiri mobil Joshua. Mobil itu adalah mobil termahal yang terparkir di sana. Dari dalamnya keluarlah seorang pemuda tampan lain sambil menyibakkan rambut coklat gelapnya dengan jari-jarinya, khas gerakan para flower boy di film-film. Tatapan matanya sangat menawan. Jam tangan, tas, dan sepatu yang dikenakannya jika dirupiahkan mungkin bisa untuk membeli sebuah motor gede. Namanya adalah Steven, siswa yang dinobatkan sebagai siswa tertampan di sekolah. Bisa dibayangkan kan, visualnya yang setara artis-artis Negeri Ginseng.

Steven berjalan menghampiri Joshua yang sedari tadi memang sedang menunggunya. Joshua dan Steven adalah sahabat Alex mulai SMP. Tapi mereka berdua sudah bersahabat sejak SD. Masa SD Alex dihabiskan di Singapura, jadi mereka baru memasuki sekolah yang sama saat SMP.

"Alex mana, Josh? " tanya Steven.

"Bentar lagi juga dateng," jawab Joshua dengan aksen campuran Indonesia-Amerika. Ia kemudian melihat ke arah parkiran motor dan muncullah Alex. "That's him!" Pemuda blasteran itu berseru.

Alex berjalan menghampiri mereka, masih mengenakan jaket bisbolnya.

"Yuk, masuk," ajak Alex.

Mereka pun berjalan bertiga sambil tertawa dan bercanda menuju ke gedung sekolah SMA Akasia yang megah nan elit itu. Saat memasuki gedung sekolah, seperti hari-hari lainnya, banyak mata yang memandangi mereka. Ada yang diam-diam, ada pula yang terang-terangan. Namun yang pasti 80% dari mereka adalah siswa perempuan. Kadang sambil memandangi, mereka pun berbisik dengan teman di sebelahnya, membicarakan bagaimana mereka mengagumi salah satu atau bahkan ketiga-tiganya. 

Siapa yang tidak akan terpesona? Mereka bertiga berjalan bersama bak sekumpulan pangeran, sangat menarik perhatian. Siswa-siswa di sana menyebut mereka sebagai Trio Casanova, trio pria-pria tampan dan kaya yang jarang ditemui di sekolah-sekolah lain. Anggotanya adalah Steven Gunawan, Joshua Hartanto, dan Alex Linardi. Trio Casanova sudah melegenda mulai SMP.

Namun di tengah sinar terangnya, ada satu hal yang selalu menjadi bahan pergunjingan orang-orang yang melihat mereka. Mereka berpikir salah satu dari Trio Casanova bukanlah orang yang sepadan dengan dua orang yang lainnya. Dan orang itu adalah Alex...

Seisi sekolah tahu bahwa ayah Joshua dan Steven merupakan salah satu dari daftar 100 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes. Tapi mereka tidak pernah tahu apa pekerjaan atau usaha ayah Alex karena ia selalu berusaha menyembunyikannya. Nama belakangnya memang sama dengan pemilik sekolah sekaligus orang terkaya Indonesia nomor 18, Bambang Linardi. Tapi Alex selalu menyangkal dan tak pernah menunjukkan keterlibatannya dengan keluarga sang Konglomerat itu. Ia selalu mengatakan bahwa ayahnya hanyalah seorang manajer di perusahaan besar, tidak ada yang spesial jika dibandingkan dengan teman-teman sekolahnya yang lain.

Yang teman-teman sekolahya tahu, Alex hanya sebatas kaya saja, tidak sekaya teman-temannya yang lain di Trio Casanova. Mereka menganggap Alex tergolong siswa "umum" di sekolah elit itu, yang memperoleh privilege atau keuntungan popularitas karena bersahabat sejak lama dengan Steven dan Joshua. Apalagi mereka melihat Alex merupakan satu-satunya dari Trio yang mengendarai motor, meskipun tidak banyak dari para gadis itu yang memahami bahwa harga motornya sebenarnya lebih mahal dari mobil Joshua. Tapi di atas itu semuanya, mereka tetap harus mengakui ketampanan Alex yang di atas rata-rata dan kharismanya yang tak terbendung.

***

Jam 5.00 sore.

Elisa sedang berkutat dengan laptopnya. Ia sibuk mengisi formulir pendaftaran beasiswa dari SMA Akasia. Semua kolom yang tersedia diisinya sambil terus berharap sekolah itu kelak akan memanggilnya. Ia pun turut melampirkan semua foto sertifikat yang pernah diraihnya beserta nilai-nilai rapornya yang terdahulu.

Dan akhirnya ia sampai pada halaman persetujuan orang tua. Ia segera mencetaknya melalui printer butut yang ada disebelah laptopnya, kemudian menuju kedai yang menyatu di bagian depan rumahnya untuk menemui ayahnya. Di sana ayahnya sedang menyiapkan soto untuk beberapa pelanggan, dibantu oleh Qodir.

"Ayah, Elisa ganggu bentar boleh?" tanya Elisa dengan sopan.

"Iya, Nak. Ada apa?" Ayahnya berbalik badan menghadap Elisa.

"Ini... minta tanda tangan persetujuan beasiswa," pinta Elisa sambil menyodorkan beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen. Ayahnya pun segera membersihkan tangannya, kemudian menandatanganinya dengan tidak berpikir panjang karena ia juga masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Makasih, Ayah," kata Elisa sambil tersenyum lebar. Ayahnya tersenyum sambil mengusap rambut Elisa lalu melanjutkan racikan sotonya.

Elisa masuk ke kamarnya, menyimpan surat tersebut dengan rapi di atas mejanya kemudian kembali lagi ke kedai. Ia berdiri di samping ayahnya, di belakang meja kasir. Ya, Elisa biasa membantu ayahnya berjualan dengan menerima pesanan dan menjadi kasir. Tak jarang karena kasirnya yang cantik, beberapa orang pun menjadi pelanggan tetap Soto Pak Dahlan.

Elisa tidak pernah malu membantu ayahnya di kedai karena ia senang bertemu para pelanggan setia dan para pelanggan baru. Ia bahagia melihat ayahnya yang juga bahagia melakukan apa yang disenanginya. Ayahnya sudah bekerja terlalu keras untuknya. Ia pun bercita-cita menjadi orang yang sukses dan membahagiakan ayahnya kelak. Ia tahu betul jalannya tidak akan mulus, tapi ia optimis ia akan dapat melaluinya. SMA Akasia... apapun keputusan dari kalian akan mengubah hidup Elisa selanjutnya.

Tia Kim

Kalau kamu suka ceritanya dan penasaran tentang kelanjutan kisah para tokoh dengan segala konflik dan intriknya yang makin memanas nantinya, jangan lupa masukkan cerita ini ke Daftar Pusataka ya. ❤️ Akan UPDATE 2 BAB SETIAP HARI 🤩 Jangan lupa juga kasih rating dan komentar kalian tentang novel ini. Ceritanya dijamin akan seru! 🔥🔥 Thank you dan sampai jumpa di bab-bab selanjutnya ❤️

| 2

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status