Share

Bab 2. Cambridge University

Elisa duduk terdiam di depan laptop di dalam kamarnya. Di sebelahnya terdapat sebuah lemari khusus tempat menyimpan semua piala dan sertifikat. Semuanya itu ia dapatkan selain dari predikat sebagai juara kelas, peraih nilai tertinggi, dan lomba-lomba akademik, juga dari bidang non-akademik seperti menyanyi.

Ia menatap layar laptopnya yang sudah terlihat lama dan agak butut. Ia sedang memandangi situs sebuah kampus ternama di Inggris, Cambridge University. Dibacanya seluruh program studi yang tersedia dan fasilitas-fasilitas yang ada di sana. Ini bukan kali pertamanya menelusuri website kampus prestisius tersebut. Mungkin sudah ketiga kalinya dalam minggu ini.

Ya, memang ia bercita-cita kuliah di kampus tersebut. Inggris dan bahasanya telah memiliki tempat tersendiri di hati Elisa. Cita-citanya untuk bisa kuliah di Inggris bahkan sudah ada semenjak hari pertamanya masuk SMA. Namun ia tahu pasti bahwa cita-citanya tersebut bukanlah cita-cita yang mudah digapai. Itu semua tidaklah murah. Ayahnya pasti tak akan mampu menjangkau semua biayanya, bahkan dengan menabung sampai Elisa lulus SMA sekalipun.

Ia sempat sejenak melupakan mimpinya itu karena kemungkinan yang sangat kecil mengingat kondisi kehidupannya saat ini. Namun ambisinya untuk meraih mimpinya yang tertunda itu kembali bangkit setelah ia melihat sebuah pengumuman di salah satu portal pendidikan. Salah satu sekolah internasional bernama SMA Akasia sedang membuka program beasiswa, salah satunya bagi siswa kelas 10 sekolah menengah. SMA Akasia adalah salah satu sekolah yang menggunakan kurikulum internasional Cambridge, sehingga akan membantu memuluskan jalannya menuju mimpinya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu memecah lamunannya.

"Sa?" panggil ayahnya dari luar kamar.

"Masuk, Yah!" Elisa menjawab.

Ayahnya membuka pintu dan masuk ke kamar Elisa sambil membawa sepiring roti goreng.

"Ini kesukaanmu," kata ayahnya sambil meletakkan piring berisi 4 potong roti goreng di atas meja belajar Elisa.

"Makasih, Yah." Elisa segera menyomot sepotong roti goreng kemudian menggigitnya.

Ayahnya melihat tampilan website di layar laptop Elisa kemudian ia pun bertanya, "Apa itu, Sa? "

Elisa melihat ayahnya kemudian melihat ke layar laptopnya, sadar bahwa ayahnya menanyakan tentang website yang sedang ia buka.

"Oh... ini Cambridge University, Yah."

"Wah... di mana itu, Sa?" Ia menunjukkan ketertarikannya kemudian mengambil kursi di sudut kamar Elisa dan duduk di sebelahnya.

"Di Inggris, Yah," jawab Elisa singkat. Ia belum pernah memberitahu ayahnya mengenai cita-citanya kuliah di Inggris. Ia takut ayahnya tidak setuju.

"Wah... jauh ya, Sa. Kirain di Jakarta," kata ayahnya dengan polosnya.

Elisa pun tertawa dan berkata, "Mana ada Yah, kampus kayak gini di Indonesia?"

"Ya kali sekarang udah berubah, Sa. Jaman Ayah kuliah dulu, kampus Ayah belum punya website kayak gini," canda ayahnya.

"Ya belum ada lah, Yah. Ayah kuliah tahun berapa? HP aja belum ada kan?" ejek Elisa.

Ayahnya pun tertawa pelan. "Tapi kenapa kamu lihat website Cam... Cam apa tadi?" tanya ayahnya.

"Cambridge, Yah..." Elisa terkekeh.

"Iya, Cambridge. Kayaknya udah berapa kali Ayah lihat kamu buka website yang sama. Emangnya kamu pingin kuliah di sana?" tanya ayahnya sambil menatap Elisa.

Elisa balik menatap ayahnya yang beberapa helai rambutnya sudah mulai memutih kemudian terdiam sejenak. Beri tahu atau tidak, beri tahu atau tidak, hati Elisa berkecamuk. Tapi cepat atau lambat ayahnya juga pasti akan tahu, bukan?

"I-iya, Yah...." Akhirnya ia pun memberitahu ayahnya. Ayahnya sontak terkejut mendengar pengakuan dari anaknya itu. Di lain sisi, ia juga merasa bersalah karena tidak mengetahuinya lebih awal. Ia merasa menjadi seorang ayah yang kurang peduli pada anaknya.

"Kok baru kasih tau? " tanya ayahnya dengan nada agak sewot.

"Ya abis... Elisa takut Ayah marah," jawab Elisa dengan polosnya.

Ayahnya menghela nafas, kemudian menjawab, "Ayah sih enggak marah. Ayah selalu dukung apapun yang jadi keinginan kamu karena Ayah tau kamu pasti bisa memilih mana yang terbaik buat kamu. Kamu kan udah besar... Kamu juga udah sering buat Ayah bangga," kata ayahnya sambil mengelus kepala Elisa.

"Tapi... kuliah di sana kan mahal ya, Nak?" Ayahnya tiba-tiba bertanya dengan ekspresi wajah polosnya, baru menyadari kalau kuliah di Inggris memerlukan biaya yang sangat tidak sedikit.

"Mahal banget, Yah... Tapi bisa kok lewat beasiswa." Elisa tersenyum tapi tak bisa menyembunyikan ekspresi harap-harap cemasnya menunggu jawaban selanjutnya dari ayahnya. 

"Oh ya? Yah baguslah kalau gitu... Hmmm... Ya udah, sekarang kamu belajar yang rajin. Biar nanti kalau udah lulus sekolah, bisa langsung daftar beasiswa di sana. Kamu atur-atur sendiri aja ya. Ayah nggak ngerti masalah begituan. Ayah taunya cuma bikin soto," canda ayahnya.

Mereka pun tertawa. Ayahnya sudah berjualan soto sejak ia masih duduk di bangku SMP. Sebenarnya dulu ayahnya adalah seorang pekerja kantoran. Namun semenjak ibunya pergi meninggalkan mereka dengan laki-laki lain saat Elisa masih SD, ayahnya menjadi terpuruk dan akhirnya berhenti dari semua pekerjaannya.

Hidup mereka sempat jatuh beberapa tahun sampai akhirnya ayahnya mencoba menerapkan resep soto yang ia dapatkan dari majikannya yang dulu. Kedai soto ayahnya dinamakan sesuai dengan namanya, Pak Dahlan. Soto Pak Dahlan memang cukup terkenal di daerah Pasar Minggu. Namun ayahnya tidak mematok harga yang tinggi. Yang terpenting bagi ayahnya, ia bisa menghidupi Elisa dan menyekolahkan Elisa sampai lulus kuliah nanti.

"Tapi, Yah... Cuma lulusan dari sekolah yang pakai kurikulum Cambridge aja yang bisa daftar beasiswa di sana. Sementara di sekolah Elisa nggak pakai itu soalnya bukan sekolah internasional...," kata Elisa sambil menunjukkan wajah kecewa.

"Nah, terus gimana?" tanya ayahnya meminta solusi.

"Mmm... Ini, Yah. Kebetulan Elisa nemuin informasi ini," kata Elsia sambil mencari-cari di telepon selulernya dan menunjukkannya pada ayahnya. "Sekolah ini pakai Kurikulum Cambridge, Yah. Dan sekarang mereka lagi buka program beasiswa buat siswa kelas 10," lanjutnya. Ayahnya mencermati isi pengumuman tersebut dengan seksama.

"SMA Akasia... Kayaknya sekolah mahal ini, Sa," kata ayahnya sambil mengernyitkan alisnya mencermati gambar sekolah yang ada di layar telepon seluler Elisa itu.

"Iya, Yah. Kan sekolah internasional... Elisa udah cari-cari di internet, biaya sekolahnya ternyata mahal banget. Sebulan SPP-nya aja bisa sampai 10 juta, Yah! Kalau setahun berarti SPP-nya lebih dari 100 juta. Itu SPP-nya aja, Yah. Belum yang lain-lain...," terang Elisa dengan wajah memelas, masih berusaha untuk meluluhkan hati ayahnya agar nantinya ia diijinkan mengikuti program tersebut.

"Waduh! Itu mau sekolah apa nyicil mobil, Sa? Kalau Ayah bayar sendiri nggak akan mungkin bisa," sahut ayahnya dengan wajah tak percaya.

"Makanya itu, Yah. Jalan satu-satunya ya Elisa harus daftar lewat program beasiswa ini. Beruntung banget Elisa dapet info ini. Lagipula untuk persyaratan prestasi akademis, Elisa percaya diri kok. Mungkin udah jodohnya, Yah. Boleh ya Elisa ikut?" tanya Elisa dengan wajah penuh harap.

"Kamu yakin mau pindah sekolah?" tanya ayahnya mencoba memastikan.

"Sebenernya sih berat juga, Yah soalnya harus ninggalin temen-temen Elisa... Tapi kesempatan ini kan cuma dateng sekali, Yah. Boleh ya Elisa coba?" tanya Elisa sekali lagi.

Melihat kegigihan anaknya itu, hati ayah Elisa pun luluh. "Ya udah, kamu coba daftar aja. Siapa tau lolos. Pokoknya kamu harus bisa mewujudkan cita-cita kamu," kata ayahnya sambil bangkit berdiri dan memegang pundak Elisa.

"Makasih, Ayah." Elisa memeluk lengan ayahnya dengan wajah senang. 

Ayahnya tersenyum lalu meninggalkan kamarnya. Ia merasa lega karena telah memberitahu ayahnya tentang cita-citanya, apalagi ayahnya mendukungnya. Ia merasa semakin bersemangat sekarang.

***

Elisa pulang dari sekolah bersama sahabat-sahabatnya Geng Vocalista. Mereka mengendarai motor mereka masing-masing beriringan sambil saling menggoda satu sama lain. Siang itu mereka menuju ke rumah Elisa.

Sesampainya di rumah Elisa, mereka memarkir motornya kemudian masuk dan menyapa ayah Elisa yang sedang sibuk melakukan persiapan membuka kedai bersama Mas Qodir di ruang keluarga. Lalu mereka masuk ke dlaam kamar Elisa. Di sana mereka mengambil foto-foto bersama dan membuat beberapa video untuk diunggah ke media sosial. Mereka tertawa-tawa seolah ingin melepaskan semua beban sekolah.

Keseruan mereka siang itu pun akhirnya dilanjutkan dengan permainan "Truth or Dare" menggunakan botol air minum kemasan yang isinya tinggal setengah. Meria menjadi yang pertama memutar botolnya. Setelah sekian detik berputar, akhirnya botol itu pun berhenti berputar dan mengarah ke Meria.

"Wah... curang nih. Masa aku yang jadi korban pertama?" tanya Meria.

"Yee... Orang kamu yang puter sendiri," ledek Lili. "Pilih truth or dare?" tanyaya.

"Dare aja. Aku kan pemberani," jawabnya bangga sambil menepuk-nepuk dadanya dan mengangkat alisnya.

"Ya udah kalau gitu... Coba kamu WA Johan bilang 'lagi ngapain'," pinta Elisa. "Setuju nggak?" tanyanya kepada yang lain. Yang lain pun menyetujuinya dengan bersemangat.

"Jangan Johan lah, please...." Meria memelas karena sebenarnya ia naksir Johan.

"Katanya pemberani," celetuk Agusta.

Dengan berat hati, Meria pun akhirnya mengambil telepon selulernya dengan ekspresi manyun kemudian melakukan sesuai yang diminta oleh teman-temannya. Setelah selesai, ia menunjukkan buktinya kepada yang lain. Mereka pun tertawa terbahak-bahak, merasa puas setelah melihat ekspresi Meria.

Botol pun kembali diputar dan kali ini mengarah ke Agusta.

"Truth or dare?" tanya Meria.

"Truth aja deh," jawab Agusta santai.

"Mmm... Sebenarnya kamu suka nggak sama kak Anton?" tanya Lili tiba-tiba dengan penuh semangat.

"Mmmm..." Mereka menunggu jawaban Agusta. Mata Agusta melihat ke arah mereka kemudian perlahan-lahan kepalanya mengangguk.

"Cieee cieee..." Mereka menggoda Agusta secara bersamaan.

Setelah puas tertawa hingga pipinya pun kelu, Elisa memandang sahabat-sahabatnya itu satu persatu. Ia sangat bahagia dan tidak ingin momen seperti ini hilang. Namun mimpinya untuk kuliah di Inggris membuatnya benar-benar harus memilih, harus kehilangan yang mana: impian atau teman. Ia gundah gulana, dan semua beban pikirannya itu masih ia simpan seorang diri karena ia belum memberitahu hal sebenarnya pada sahabat-sahabatnya.

Ia membayangkan tidak akan ada lagi kepolosan Lili, kelucuan Meria, dan kecuekan Agusta di sekolah. Apabila ia berhasil diterima dalam program beasiswa di sekolah internasional itu, apakah ia tetap akan bisa sering bertemu mereka? Atau apakah ia akan bisa menemukan sahabat-sahabat seperti mereka lagi di sekolah yang baru? Ia merasa takut membayangkan jawaban yang akan ia terima.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status