Alex, Joshua, dan Steven sedang mengikuti pelajaran ketiga mereka pagi itu, Bahasa Jepang. Mereka mengikuti pelajaran dengan serius, seperti selayaknya murid-murid yang lain di sana. SMA Akasia terkenal sebagai SMA yang disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan dan nilai-nilai moral.
Mereka bertiga berada di dalam kelas yang sama, kelas 10-A. Pembagian kelas di sana tidak berdasarkan kategori nilai siswa, tetapi selalu diacak setiap kenaikan kelas agar para siswa dapat bersosialisasi dengan siswa-siswa lainnya dalam satu angkatan. Siswa-siswa yang memiliki kelebihan dalam bidang akademik juga diharapkan bisa membantu siswa lain yang masih dirasa kurang.
Kriiing! Jam 09.15. Bel istirahat pertama berbunyi.
Siswa-siswa pun langsung berhamburan keluar kelas. Di sana ada peraturan, semua siswa harus keluar kelas pada saat jam istirahat agar dapat saling bersosialisasi dengan siswa-siswa dari kelas lainnya dan menggunakan semua fasilitas sekolah yang ada. Peraturan tersebut juga dibuat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di dalam kelas yang kosong selama jam istirahat, misalnya perkelahian atau tindakan tidak terpuji lainnya.
Alex, Joshua, dan Steven berjalan bersama menuju ke arah kantin. Di kantin sudah banyak siswa duduk di bangku-bangku yang ada. Kantin SMA Akasia luasnya kira-kira sebesar lapangan sepak bola profesional. Di sana tertata rapi meja dan kursi yang terbuat dari kayu dan berpelitur halus. Kira-kira ada sebanyak 80 meja, masing-masing dilengkapi dengan 4-6 buah kursi. Kantin dilengkapi dengan beberapa buah AC dan sebagian dindingnya terbuat dari kaca agar mendapatkan cukup cahaya matahari. Kondisinya sangat rapi dan bersih karena petugas selalu membersihkannya setiap selesai jam istirahat.
Di dalamnya terdapat beberapa stan makanan dan minuman yang tertata rapi dan bersih. Ada stan Indonesian food, stan Chinese food, stan Western food, stan roti, stan snack, dan stan minuman. Semua makanan di sana dibuat dengan bahan-bahan berkualitas dan prosedur pembuatan yang higienis. Para siswa bisa dengan bebas memilih makanan yang mereka inginkan dan membayarnya langsung di masing-masing stan. Dengan lengkapnya makanan di sana, diharapkan siswa tidak membeli makanan di luar. Para orang tua yang sangat ketat terhadap apa yang dimakan oleh anak mereka boleh membawakan anak mereka bekal sendiri dan tetap bisa dimakan di dalam kantin.
Alex, Joshua, dan Steven memilih beberapa jenis makanan di stan Indonesian food. Setelah memilih menu dan membayarnya, mereka membawa nampan berisi piring dan minuman mereka masing-masing lalu duduk bersama di satu meja.
"Kalian tau nggak, guru les aku berhenti mulai kemarin?" tanya Steven memulai pembicaraan.
"Hah, really? Miss Sherly, that pretty teacher?" tanya Joshua terkejut, disambut dengan anggukan Steven.
"Kenapa kok tiba-tiba gitu?" tanya Alex penasaran sambil mengaduk lauk di nasinya.
“Nggak betah digodain terus sama Steven. Don't do that, man,” canda Joshua dengan bahasa campuran Inggrisnya yang beraksen Amerika. Maklum mamanya adalah keturunan pertama Indonesia-Amerika. Dari mamanya jugalah Joshua mendapatkan anugerah dagu belah dan hidung lancip.
"Eh, ngawur! Dia itu mau nikah bulan depan terus pindah ke Belanda sama suaminya." Steven menjelaskan kemudian menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Ah ... Don't lie. Kamu kan playboy Cap Kapak." Joshua menggodanya lagi kemudian tertawa.
"Biarin aja Cap Kapak yang penting bukan Cap Kapok," Steven membalas candaan Joshua sambil tertawa juga, tapi tawa Steven tidak sekeras Joshua karena ia adalah seseorang yang selalu berusaha menjaga image.
Alex ikut terkekeh kemudian bertanya, "Terus gantinya siapa? Udah ada?"
Steven menelan nasi di mulutnya sebelum menjawab. "Udah ada, namanya Miss Dewi. Lulusan University of California. Katanya dia juga pegang beberapa anak Akasia."
Sebuah hal yang normal, siswa-siswa di SMA Akasia mengikuti pelajaran tambahan sepulang sekolah dengan guru les privat masing-masing. Mereka sering saling berbagi informasi mengenai guru les jika ada yang membutuhkan. Para orang tua berlomba mencari guru les terbaik yang sudah terbukti sepak terjangnya untuk memberikan gemblengan kepada anak-anak mereka. Tetapi tidak semuanya mengandalkan jasa guru les. Ada juga yang belajar sendiri atau didampingi orang tuanya, namun tak banyak.
Persaingan akademik di Akasia memang sangatlah ketat. Karenanya, bukan hanya siswanya tetapi juga orang tuanya akan berusaha agar anak-anaknya bisa mendapatkan nilai yang bagus. Banyak dari para orang tua yang menginginkan anaknya melanjutkan bangku perkuliahan di universitas-universitas terbaik, terutama di luar negeri, sehingga prestasi akademis akan sangat diunggulkan. Paling tidak anak-anaknya tidak ketinggalan pelajaran yang dapat mengakibatkan mereka mendapatkan nilai jelek. Harga diri dan nama baik keluarga yang mereka jaga.
Selesai makan dan minum, Trio Casanova berjalan bersama ke arah sport hall untuk bermain basket sebentar sebelum masuk kelas. Setelah sampai di sana, ternyata lapangan basket di sport hall sudah dipenuhi oleh anak-anak lain yang sedang bermain.
"Penuh, Lex. Kita ke lapangan luar aja yuk, " ajak Steven.
Mereka pun berjalan menuju lapangan basket di luar gedung. Meskipun di luar, lapangan basket tersebut tetap memiliki atap kanopi sehingga para siswa yang bermain di siang hari tetap merasa nyaman dan tidak kepanasan.
Di lapangan luas tersebut pagi itu hanya ada 6 siswa laki-laki, campuran dari kelas 10, 11, dan 12, sedang bermain basket bersama. Di pinggir lapangan tersedia beberapa tempat duduk, biasanya diisi oleh para siswa perempuan yang menonton para siswa laki-laki bermain basket. Ada beberapa dari mereka yang memang menemani pacarnya bermain, tak sedikit pula yang ingin mencuci mata dan melihat orang yang ditaksirnya bermain basket.
Basket adalah olahraga yang paling disukai oleh Trio Casanova. Mereka juga mengikuti ekstrakurikuler basket bersama, bahkan Joshua merupakan anggota tim inti basket sekolah dan beberapa kali membantu menghantarkan sekolahnya meraih kemenangan. Berkali-kali pula ia mendapatkan gelar MVP saking bagusnya permainannya. Ini juga yang membuatnya selalu menonjol di sekolahnya.
"Masuk ya, Bro," seru Joshua meminta izin pada teman-teman di lapangan sambil melepas jas dan meletakkannya di kursi yang masih kosong. Ia memasuki area lapangan diikuti oleh Steven dan Alex.
"Masuk, Bro," jawab salah satu kakak kelas yang sedang bermain.
Mereka pun memecah kongsi mengikuti kelompok masing-masing dan mulai bermain. Seperti biasa, ketika Trio Casanova bermain basket, sekeliling lapangan pasti menjadi lebih ramai dipenuhi siswa-siswa perempuan yang ingin melihat kelihaian mereka bermain, sambil bergosip dengan teman-temannya.
Saat Trio Cassanova sedang asyik bermain basket di tengah lapangan, pandagan mata Steven tidak sengaja mengarah ke lantai dua gedung kelas 10. Dilihatnya seorang gadis cantik berponi sedang memperhatikannya dari koridor lantai dua gedung kelas 10. Konsentrasinya pun terpecah melihat gadis itu. Ia tidak bisa menahan diri saat melihat sesuatu yang indah di depan matanya.
***
Saat istirahat sekolah, Niken dan Sonya berdiri di dekat pagar koridor depan kelas mereka di lantai dua. Selesai makan di kantin, karena tidak ada yang mereka kerjakan, mereka pun berdiri di situ sambil asyik mengobrol. Obrolan mereka diselingi dengan Sonya yang bermain handphone dan Niken yang melihat ke bawah, memperhatikan para siswa yang lain melakukan kegiatannya masing-masing saat jam istirahat. Sonya benar-benar memanfaatkan waktu istirahat untuk bermain handphone karena mereka tidak diizinkan menggunakannya saat jam pelajaran berlangsung.
Niken melihat Trio Casanova memasuki lapangan basket di luar gedung. Ia tahu Trio tersebut lebih senang bermain basket di sport hall saat jam istirahat, sesekali menggunakan lapangan basket luar apabila sport hall telah penuh terpakai.
Niken fokus memperhatikan salah satu dari anggota Trio itu, Alex. Ya, Niken menyukai Alex bahkan sejak bulan pertama ia masuk SMA Akasia. Ia menyukai Alex yang tidak hanya tampan tapi berhati baik. Meskipun berbeda kelas, ia sering melihat Alex terlebih dulu menyapa dan mengajak orang lain berbicara, membantu sesama siswa bahkan guru. Tidak ada sama sekali rumor jelek yang pernah didegarnya tentang laki-laki itu. Namun tidak ada yang tahu perasaannya kepada Alex selain dirinya sendiri. Dan Tuhan.
Saat ia sedang asyik memperhatikan Alex bermain basket dari jauh, pandangan matanya malah bertemu dengan Steven. Tak hanya itu, Steven pun tak kunjung melepaskan pandangannya ke Niken. Niken tersentak kaget lalu membalikkan badannya, kagetnya bercampur dengan rasa malu.
"Kenapa, Ken? Kok kayak kaget gitu?" tanya Sonya melihat temannya yang bertingkah aneh.
"Nggak kok, Son. Aku nggak lagi kaget," jawab Niken mengelak. "Oya, Son. Aku lupa beli air minum. Kita ke kantin yuk, mumpung masih ada 5 menit lagi." Niken mencoba mengganti topik.
"Ya udah, ayo," jawab Sonya.
Mereka berjalan ke arah tangga melewati siswa-siswa lain yang juga sedang mengobrol di koridor depan kelas. Saat berjalan menuju tangga, terdengar suara langkah kaki seseorang menaiki tangga dan hampir sampai ke atas.
Niken dan orang tersebut akhirnya berhadap-hadapan di ujung tangga. Niken sangat terkejut melihat orang tersebut. Dilihatnya Steven sedang berdiri pas di hadapannya, melihat ke arahnya! Pandangan mata mereka lagi-lagi bertemu, kali ini lebih dekat.
Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa. "Hai," sapa Steven memecah suasana. "Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya. Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi. "Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image. "Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu. "Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken. "Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang n
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa berlari menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV di ruang tamu. "Aduh duh duh... jangan lari-lari, udah malem, Sa! Ntar dikira tetangga ada gempa bumi," omel ayahnya dengan menunjukkan ekspresi kaget. "Yah, Yah, tau nggak?" tanya Elisa bersemangat. "Kasih tau dulu dong, baru Ayah bisa tahu," canda ayahnya. "Ih... Ayah, ih!" Elisa menepuk bahu ayahnya melihat kejahilan ayahnya itu, kemudian ia melanjutkan, "Ayah tau Pak Bambang langganan kita kan?" "Iya tau. Kenapa emangnya?" tanya ayahnya santai. "Pak Bambang itu ternyata salah satu orang paling kaya di Indonesia, Yah! " Elisa berbicara sambil membelalakkan matanya. Ayahnya seperti tidak terkejut, ia hanya terdiam sejenak. "Udah tau," jawab ayahnya yang membuat Elisa terkejut. Ekspresi wajah Elisa mendadak berubah menjadi kesal karena merasa dikerjai oleh ayahnya. "Kok Ayah nggak kasih tau Elisa sih?" Elisa mengernyitkan dahinya. "Lah kamu nggak pernah
Hari itu hari libur sekolah setelah selesai ujian, tapi Elisa sedang berdiri di depan cermin mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan riasan tipisnya. Wajahnya terlihat agak tegang dari biasanya. Ia menghela nafas panjang kemudian mengepalkan kedua tangannya menghadap ke atas. "Elisa, kamu pasti bisa!" Ia berseru pada dirinya sendiri memberi semangat, kemudian mengangguk penuh keyakinan. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV pagi itu. "Ayah, Elisa berangkat. Doain Elisa ya," kata Elisa sambil mencium tangan ayahnya. Kemudian ayahnya bangkit berdiri dari kursinya. "Pasti, Nak. Ayah doain yang terbaik buat kamu. Pokoknya kamu harus fokus ngerjain tesnya. Oke?" Ayahnya memberi semangat sambil mengelus kepala Elisa. "Oke, Ayah. Elisa berangkat ya." Elisa tersenyum pada ayahnya lalu berjalan keluar rumah menuju tempat Scooby-doo terparkir. Ayahnya mengantarnya sampai ke depan rumah. Elisa mengenakan helm
"Hai!" Sapa gadis itu, dan memilih tempat duduk di sebelah kanan Elisa. "Hai!" balas Elisa. "Ternyata kamu juga daftar beasiswa di sini. Masih ingat aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Elisa cukup terkejut. Seingat Elisa, gadis itu adalah seseorang dengan kesan yang kuat. Namun ternyata ia ramah juga. "Iya masih, kok," jawab Elisa juga dengan tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan ya waktu itu. Meta," kata gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aura percaya dirinya begitu kuat. "Elisa." Elisa menjabat tangan Meta. "Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi di sini," kata Meta merasa tak percaya. "Katanya cuma ada 3 orang yang bakal lolos program beasiswa ini. Semoga kita berdua termasuk salah satunya ya," harapnya. "Amin, amin...," jawab Elisa. Mereka berdua saling tersenyum. Elisa lega karena ia dan Meta tidak harus saling mengalahkan satu sama lain karena ada tiga orang yang memiliki kesempa
Elisa berlari memasuki kamarnya dan mengambil handphone yang diletakkan di atas meja belajarnya, hendak menghubungi Meta. Dibukanya daftar kontak dan ia mencari huruf M. Tiba-tiba handphone-nya berdering tanda ada telepon masuk. Kebetulan sekali, ada telepon masuk dari Meta. Elisa yang kaget kemudian buru-buru mengangkatnya. "Halo," sapa Elisa. "Halo, Sa. Gimana, udah ada telepon dari Akasia?" Dari nada bicaranya, terdengar Meta sedang bersemangat. Elisa berpikir mungkin itu adalah sebuah pertanda yang baik. "Udah, Ta. Barusan," jawab Elisa dengan bersemangat. Ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. "Gimana hasilnya? Eh, tunggu. Kita ucapin bareng-bareng yuk!" Meta mengajak. Elisa mengangguk dengan bersemangat. "Satu, dua, tiga!" Meta memulai hitungannya. "Lolos!" Mereka berteriak bersamaan di saluran telepon masing-masing. Elisa dan Meta sama-sama merasa sangat bahagia karena harapan mereka sama-s
Elisa menata beberapa helai bajunya di atas tempat tidur. Ia mengambil traveling bag-nya kemudian meletakkannya juga di atas tempat tidur. Dimasukkannya beberapa helai bajunya itu ke dalam tas tersebut. Kemudian sambil berdiri, ia berpikir apa lagi yang sekiranya kurang atau terlupa. "Oh iya, sikat gigi," katanya pada dirinya sendiri yang lupa memasukkan sikat gigi ke dalam tasnya. Ia pun berjalan keluar dari kamarnya ka arah kamar mandi. Diambilnya sikat giginya yang berwarna merah dan berjalan keluar dari kamar mandi melewati ruang keluarga, di mana ayahnya sedang duduk menonton TV. "Handuknya nggak lupa, Sa?" tanya ayahnya mengingatkan. "Udah, Yah," jawab Elisa sambil berjalan melewati ruang keluarga. "Sabunnya? Sikat giginya? Odolnya?" tanya ayahnya berentetan. Biasalah... Ayahnya suka menggoda Elisa dengan candaannya. "Udah, Yah!" jawab Elisa yang sudah hampir sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan m
Tanggal 5 Juli. Hari pertama masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Siswa-siswa di SMA Akasia hari itu akan datang lebih pagi untuk berkenalan dengan teman-teman sekelasnya yang baru. Kelas baru dan daftar nama teman-teman sekelas mereka memang telah diberikan kepada siswa masing-masing pada saat liburan kenaikan kelas. Alex dan Steven tetap berada di dalam satu kelas yang sama, kelas 11-A, sedangkan Joshua terpisah dari mereka dan masuk ke kelas 11-B. Setelah berjalan bersama memasuki area sekolah, mereka pun harus berpisah di depan kelas mereka masing-masing. Di dalam kelas Joshua, sudah ada beberapa anak yang duduk dan mengobrol serta bercanda ria. Melihat Joshua sekelas dengan mereka, mereka pun menyapanya dan kelas menjadi cukup riuh. "Wah, Joshua dateng, guys!" seru salah seorang anak laki-laki bernama Martin yang dulunya memang sekelas dengan Joshua. "Wuih, sekelas sama Joshua nih!" seru anak laki-laki yang lain lagi yang dulunya berb