Share

Bab 5. Mimpi Akasia

Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa.

"Hai," sapa Steven memecah suasana.

"Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya.

Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.

"Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image.

"Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu.

"Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken.

"Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang nama papanya bahkan masuk di dalam daftar 100 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, mengajak Niken berkenalan. Dari caranya memperlakukan perempuan dengan sangat sopan dan manis, kalian pasti bisa menebak apa keahliannya. Ya, merebut hati wanita. Dilengkapi dengan visualnya yang top tier, Steven adalah the real Casanova di Trio Casanova.

Ia sudah berkali-kali berganti-ganti pacar sejak SMP. Alasannya klasik, tidak cocok. Tapi ia tidak pernah mempermainkan hati perempuan ataupun berselingkuh. Ia pun sebenarnya tidak menyukai sebutan playboy yang diberikan orang lain padanya karena ia menganggap yang dilakukannya adalah normal sebagai seorang remaja. Lagipula ia berganti-ganti pacar bukan untuk kesenangan.

Ia merupakan orang yang terang-terangan menunjukkan perhatian kepada gadis yang disukainya, seolah ingin menandai teritorinya. Ia memperlakukan semua mantan pacarnya dengan sangat manis. Tapi kebanyakan pacarnya hanya memanfaatkannya, entah memanfaatkan materi ataupun popularitasnya. Dan di situlah ia akan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya lagi. Perempuan masih banyak, pikirnya.

Sementara itu, Niken Luisa adalah anak seorang pengacara yang cukup kondang di Ibukota dan mamanya merupakan seorang notaris ternama. Keluarganya sebagian besar berkecimpung di dunia hukum. Ia sendiri dikenal teman-temannya sebagai seorang gadis yang tidak banyak tingkah, anggun dan agak pendiam, namun murah senyum.

Melihat Niken yang tak sanggup berkata-kata, Steven pun mengakhiri perkenalan singkatnya.

"Yaudah Niken, yang penting aku udah tau nama kamu. Makasih ya. Aku mau lanjut main basket lagi." Steven mengakhiri kata-katanya dengan senyuman hangat, kemudian berjalan turun lagi ke bawah.

Niken masih terdiam di ujung tangga.

Tiba-tiba Sonya berceletuk, "Ken, Ken. Itu tadi Steven Gunawan loh, ngajak kamu kenalan! Oh my God, oh my God!" Sonya menggoyang-goyang lengan Niken dengan kegirangan.

Niken tak bisa berkata apa-apa. Bukannya merasa senang, ia malah bingung. Orang yang disukainya adalah Alex tetapi mengapa malah Steven yang datang padanya?

Masih merasa heran, ia pun berjalan turun menuju lantai dasar. Sonya mengikutinya sambil tetap merasa takjub. Mereka berjalan ke arah kantin, namun mereka harus melewati koridor di sebelah lapangan basket. 

Sambil berjalan, Niken menoleh ke arah lapangan basket, mencari Alex. Dilihatnya Alex sedang memainkan bola kemudian melakukan shooting dan bolanya masuk ke dalam ring. Seolah merasakan bahwa ada yang memandanginya, Alex pun menoleh ke arah Niken dan pandangan mereka pun bertemu. Berbeda dengan Niken yang merasa terkejut, Alex hanya melihatnya sekilas lalu pandangannya mengarah kembali ke bola basket, seolah tak ada apapun yang dirasakannya. Alex memang tak mengenal Niken. Namun hal itu tetap membuat Niken merasa kecewa.

Alex Linardi. Seorang pemuda berkharisma, berhati baik dan penuh simpati, namun sangat acuh terhadap para gadis dan tak pernah ambil pusing dengan masalah percintaan. Baginya, hidupnya sudah terasa cukup bahagia tanpa kehadiran pacar sekali pun. Ia lebih menghabiskan waktunya untuk memberi perhatian pada teman-teman dan hal-hal yang ia sukai. Karena itu, siapapun yang menyukai Alex harus bersiap-siap untuk menelan pil pahit.

***

Elisa dan geng Vocalistanya mampir ke sebuah coffee shop langganan mereka sepulang sekolah. Biasanya mereka menghabiskan waktu di situ untuk mengobrol sambil menyeruput kopi racikan dengan harga merakyat. Semuanya memesan kopi favorit masing-masing. Elisa sendiri sangat menyukai Red Velvet Latte dan tak pernah mengganti pesanannya sampai-sampai pegawai di sana sangat hafal.

"Eh, eh, kalian tau kan Pak Aan guru Matematika yang baru itu?" tanya Meria memulai percakapan asyik mereka.

"Iya tau, kenapa kenapa?" tanya Elisa penasaran.

"Ganteng banget!" Meria berseru dengan bersemangat.

"Nah, ini murid... alamat jelalatan matanya kalau diajar sama guru itu, " ledek Agusta. 

"Tapi emang bener sih. Masih muda, ganteng, lucu lagi kata anak-anak kelas sebelah. Pengen deh kelas kita diajar sama dia. Katanya ngajarnya asik, gampang dimengerti," celoteh Lili.

"Katanya dia baru lulus taun lalu ya? Emang dia lulusan dari mana sih?" tanya Agusta, mendadak penasaran dengan guru muda itu.

"Katanya anak-anak sih dari UGM. Emang bener baru lulus taun lalu," jawab Elisa sesuai yang ia tau. 

"Taun lalu? Wah, hebat dong. UGM emang bagus ya? Lulusannya pinter gitu," tanya Lili dengan polosnya.

"Hmmm... Makanya kamu itu jangan video tutorial make up terus yang dipantengin. UGM itu masuk universitas top di Indonesia, Li," sahut Meria yang disambut dengan wajah masam Lili. "Oya, ngomong-ngomong kalian nanti pengen kuliah di mana?" tanyanya.

Deg! Elisa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba Meria. Ia merasa belum siap memberitahu sahabat-sahabatnya mengenai mimpinya kuliah di Cambridge University dan rencana ke depannya.

"Aku sih pengen ke universitas negeri. Mana aja deh, pokoknya ada jurusan Psikologi." Lili menjabarkan keinginannya.

"Masih jauh kali. Belum kepikiran," kata Agusta dengan cueknya seperti biasa.

"Ya... kali aja udah kebayang gitu." Meria melihat ke arah Elisa dan bertanya, "Kalau kamu, Sa?"

Akhirnya pertanyaan ini pun datang. Cepat atau lambat ia harus memberitahu sahabat-sahabatnya.

"Aku... pingin ke..." Elisa berhenti sejenak, memberi waktu dirinya untuk berpikir. Beri tahu atau tidak, beri tahu atau tidak. Kemudian ia pun melanjutkan, "... Cambridge University." Akhirnya ia bisa menyelesaikan perkataannya.

Meria yang sedang menyeruput minumannya pun sontak terkejut dan tersedak.

"Jakarta mana?" tanya Lili dengan polosnya. Kini giliran Agusta yang tersedak minumannya, kemudian menepuk bahu Lili.

"Singapura kali," sanggah Agusta.

"Bukan, Ta. Di Inggris," koreksi Elisa. Sahabat-sahabatnya memandang kaget ke arah Elisa, hampir semuanya membelalakkan matanya. 

"Serius kamu mau ke Inggris?" tanya Meria memastikan. Elisa pun mengangguk.

"Jauh banget, Sa! Tapi kamu kan pinter ya, cocok sih kamu kuliah di luar negeri." Lili berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Elisa tersenyum kemudian memberanikan diri bercerita tentang keadaannya sekarang. "Tapi... ada berita buruknya, guys." Elisa memasang ekspresi wajah muram.

"Buruk kenapa, Sa?" tanya Agusta.

Elisa mempersiapkan kata-katanya. Walaupun berat baginya melihat reaksi yang akan diberikan oleh sahabat-sahabatnya itu, ia harus tetap memberitahu mereka. 

"Mmm... aku kan pingin banget ngajuin program beasiswa ke Cambridge. Tapi buat bisa lancar jalannya ke sana, aku harus lulus dari sekolah yang pake kurikulum Cambridge juga," terang Elisa dengan pelan. Namun sahabat-sahabatnya itu tampak masih belum paham maksud perkataannya.

"Maksudnya?" Lili akhirnya bertanya, memastikan maksud dari perkataan Elisa.

"Aku lagi ngajuin pendaftaran program beasiswa di salah satu sekolah bertaraf internasional yang pakai kurikulum yang diminta. Kalau misalnya aku berhasil diterima di sana, kayaknya aku harus pindah sekolah di kenaikan kelas 11 ini...," lanjut Elisa dengan perasaan bersalah. Ia akhirnya bisa melepaskan semua beban yang disimpannya cukup lama, sambil berharap teman-temannya mau mengerti. Di lain sisi, ia juga tidak sanggup membayangkan kesedihan yang akan ia dan sahabat-sahabatnya rasakan.

Agusta, Lili, dan Meria terdiam tak sanggup berkata apa-apa. Kenaikan kelas hanya tinggal beberapa hari lagi setelah ujian sekolah selesai! Mereka seolah mendapat petir di siang bolong hari itu mengetahui bahwa salah satu sahabatnya akan meninggalkan mereka. Rasa kaget, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu menggambarkan suasana yang mereka rasakan siang itu.

Tia Kim

Hai, teruntuk kamu pembacaku yang tercinta. Iya, kamu! ❤️ Ada kabar baik nih. Kalau kamu mau tambahan koin untuk baca cerita-cerita selanjutnya, pembelian koin di Shop lagi banyak DISKON dan BONUS tambahan loh! Jangan sampai kelewatan ya 😍😍 Ikutin terus ya kisahnya Rich, Richer, Richest. Dijamin konfliknya makin seru! Thank you ❤️

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status