Niken berdiri tercekat, Sonya pun ikut berhenti. Di depannya berdiri Steven melihat ke arahnya. Niken tak tahu harus berbuat atau berkata apa.
"Hai," sapa Steven memecah suasana.
"Ha- hai," jawab Niken, masih dengan ekspresi kagetnya.
Sonya yang masih berdiri di samping Niken hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Tadi aku ngeliat kamu dari bawah pas lagi main basket," kata Steven terang-terangan namun dengan gaya yang masih jaga image.
"Ma- masa?" tanya Niken tergagap, mati kutu.
"Iya," balas Steven sambil tersenyum. "Oh ya, aku Steven dari kelas 10-A." Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Niken.
"Ni...ken, 10-C," kata Niken sambil menyambut uluran tangan Steven. Sonya membelalak sambil menyenggol-nyenggol kecil lengan Niken. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
Steven Gunawan, anak salah satu pemilik perusahaan investasi terbesar Indonesia, yang nama papanya bahkan masuk di dalam daftar 100 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, mengajak Niken berkenalan. Dari caranya memperlakukan perempuan dengan sangat sopan dan manis, kalian pasti bisa menebak apa keahliannya. Ya, merebut hati wanita. Dilengkapi dengan visualnya yang top tier, Steven adalah the real Casanova di Trio Casanova.
Ia sudah berkali-kali berganti-ganti pacar sejak SMP. Alasannya klasik, tidak cocok. Tapi ia tidak pernah mempermainkan hati perempuan ataupun berselingkuh. Ia pun sebenarnya tidak menyukai sebutan playboy yang diberikan orang lain padanya karena ia menganggap yang dilakukannya adalah normal sebagai seorang remaja. Lagipula ia berganti-ganti pacar bukan untuk kesenangan.
Ia merupakan orang yang terang-terangan menunjukkan perhatian kepada gadis yang disukainya, seolah ingin menandai teritorinya. Ia memperlakukan semua mantan pacarnya dengan sangat manis. Tapi kebanyakan pacarnya hanya memanfaatkannya, entah memanfaatkan materi ataupun popularitasnya. Dan di situlah ia akan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya lagi. Perempuan masih banyak, pikirnya.
Sementara itu, Niken Luisa adalah anak seorang pengacara yang cukup kondang di Ibukota dan mamanya merupakan seorang notaris ternama. Keluarganya sebagian besar berkecimpung di dunia hukum. Ia sendiri dikenal teman-temannya sebagai seorang gadis yang tidak banyak tingkah, anggun dan agak pendiam, namun murah senyum.
Melihat Niken yang tak sanggup berkata-kata, Steven pun mengakhiri perkenalan singkatnya.
"Yaudah Niken, yang penting aku udah tau nama kamu. Makasih ya. Aku mau lanjut main basket lagi." Steven mengakhiri kata-katanya dengan senyuman hangat, kemudian berjalan turun lagi ke bawah.
Niken masih terdiam di ujung tangga.
Tiba-tiba Sonya berceletuk, "Ken, Ken. Itu tadi Steven Gunawan loh, ngajak kamu kenalan! Oh my God, oh my God!" Sonya menggoyang-goyang lengan Niken dengan kegirangan.
Niken tak bisa berkata apa-apa. Bukannya merasa senang, ia malah bingung. Orang yang disukainya adalah Alex tetapi mengapa malah Steven yang datang padanya?
Masih merasa heran, ia pun berjalan turun menuju lantai dasar. Sonya mengikutinya sambil tetap merasa takjub. Mereka berjalan ke arah kantin, namun mereka harus melewati koridor di sebelah lapangan basket.
Sambil berjalan, Niken menoleh ke arah lapangan basket, mencari Alex. Dilihatnya Alex sedang memainkan bola kemudian melakukan shooting dan bolanya masuk ke dalam ring. Seolah merasakan bahwa ada yang memandanginya, Alex pun menoleh ke arah Niken dan pandangan mereka pun bertemu. Berbeda dengan Niken yang merasa terkejut, Alex hanya melihatnya sekilas lalu pandangannya mengarah kembali ke bola basket, seolah tak ada apapun yang dirasakannya. Alex memang tak mengenal Niken. Namun hal itu tetap membuat Niken merasa kecewa.
Alex Linardi. Seorang pemuda berkharisma, berhati baik dan penuh simpati, namun sangat acuh terhadap para gadis dan tak pernah ambil pusing dengan masalah percintaan. Baginya, hidupnya sudah terasa cukup bahagia tanpa kehadiran pacar sekali pun. Ia lebih menghabiskan waktunya untuk memberi perhatian pada teman-teman dan hal-hal yang ia sukai. Karena itu, siapapun yang menyukai Alex harus bersiap-siap untuk menelan pil pahit.
***
Elisa dan geng Vocalistanya mampir ke sebuah coffee shop langganan mereka sepulang sekolah. Biasanya mereka menghabiskan waktu di situ untuk mengobrol sambil menyeruput kopi racikan dengan harga merakyat. Semuanya memesan kopi favorit masing-masing. Elisa sendiri sangat menyukai Red Velvet Latte dan tak pernah mengganti pesanannya sampai-sampai pegawai di sana sangat hafal.
"Eh, eh, kalian tau kan Pak Aan guru Matematika yang baru itu?" tanya Meria memulai percakapan asyik mereka.
"Iya tau, kenapa kenapa?" tanya Elisa penasaran.
"Ganteng banget!" Meria berseru dengan bersemangat.
"Nah, ini murid... alamat jelalatan matanya kalau diajar sama guru itu, " ledek Agusta.
"Tapi emang bener sih. Masih muda, ganteng, lucu lagi kata anak-anak kelas sebelah. Pengen deh kelas kita diajar sama dia. Katanya ngajarnya asik, gampang dimengerti," celoteh Lili.
"Katanya dia baru lulus taun lalu ya? Emang dia lulusan dari mana sih?" tanya Agusta, mendadak penasaran dengan guru muda itu.
"Katanya anak-anak sih dari UGM. Emang bener baru lulus taun lalu," jawab Elisa sesuai yang ia tau.
"Taun lalu? Wah, hebat dong. UGM emang bagus ya? Lulusannya pinter gitu," tanya Lili dengan polosnya.
"Hmmm... Makanya kamu itu jangan video tutorial make up terus yang dipantengin. UGM itu masuk universitas top di Indonesia, Li," sahut Meria yang disambut dengan wajah masam Lili. "Oya, ngomong-ngomong kalian nanti pengen kuliah di mana?" tanyanya.
Deg! Elisa terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba Meria. Ia merasa belum siap memberitahu sahabat-sahabatnya mengenai mimpinya kuliah di Cambridge University dan rencana ke depannya.
"Aku sih pengen ke universitas negeri. Mana aja deh, pokoknya ada jurusan Psikologi." Lili menjabarkan keinginannya.
"Masih jauh kali. Belum kepikiran," kata Agusta dengan cueknya seperti biasa.
"Ya... kali aja udah kebayang gitu." Meria melihat ke arah Elisa dan bertanya, "Kalau kamu, Sa?"
Akhirnya pertanyaan ini pun datang. Cepat atau lambat ia harus memberitahu sahabat-sahabatnya.
"Aku... pingin ke..." Elisa berhenti sejenak, memberi waktu dirinya untuk berpikir. Beri tahu atau tidak, beri tahu atau tidak. Kemudian ia pun melanjutkan, "... Cambridge University." Akhirnya ia bisa menyelesaikan perkataannya.
Meria yang sedang menyeruput minumannya pun sontak terkejut dan tersedak.
"Jakarta mana?" tanya Lili dengan polosnya. Kini giliran Agusta yang tersedak minumannya, kemudian menepuk bahu Lili.
"Singapura kali," sanggah Agusta.
"Bukan, Ta. Di Inggris," koreksi Elisa. Sahabat-sahabatnya memandang kaget ke arah Elisa, hampir semuanya membelalakkan matanya.
"Serius kamu mau ke Inggris?" tanya Meria memastikan. Elisa pun mengangguk.
"Jauh banget, Sa! Tapi kamu kan pinter ya, cocok sih kamu kuliah di luar negeri." Lili berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Elisa tersenyum kemudian memberanikan diri bercerita tentang keadaannya sekarang. "Tapi... ada berita buruknya, guys." Elisa memasang ekspresi wajah muram.
"Buruk kenapa, Sa?" tanya Agusta.
Elisa mempersiapkan kata-katanya. Walaupun berat baginya melihat reaksi yang akan diberikan oleh sahabat-sahabatnya itu, ia harus tetap memberitahu mereka.
"Mmm... aku kan pingin banget ngajuin program beasiswa ke Cambridge. Tapi buat bisa lancar jalannya ke sana, aku harus lulus dari sekolah yang pake kurikulum Cambridge juga," terang Elisa dengan pelan. Namun sahabat-sahabatnya itu tampak masih belum paham maksud perkataannya.
"Maksudnya?" Lili akhirnya bertanya, memastikan maksud dari perkataan Elisa.
"Aku lagi ngajuin pendaftaran program beasiswa di salah satu sekolah bertaraf internasional yang pakai kurikulum yang diminta. Kalau misalnya aku berhasil diterima di sana, kayaknya aku harus pindah sekolah di kenaikan kelas 11 ini...," lanjut Elisa dengan perasaan bersalah. Ia akhirnya bisa melepaskan semua beban yang disimpannya cukup lama, sambil berharap teman-temannya mau mengerti. Di lain sisi, ia juga tidak sanggup membayangkan kesedihan yang akan ia dan sahabat-sahabatnya rasakan.
Agusta, Lili, dan Meria terdiam tak sanggup berkata apa-apa. Kenaikan kelas hanya tinggal beberapa hari lagi setelah ujian sekolah selesai! Mereka seolah mendapat petir di siang bolong hari itu mengetahui bahwa salah satu sahabatnya akan meninggalkan mereka. Rasa kaget, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu menggambarkan suasana yang mereka rasakan siang itu.
Hai, teruntuk kamu pembacaku yang tercinta. Iya, kamu! ❤️ Ada kabar baik nih. Kalau kamu mau tambahan koin untuk baca cerita-cerita selanjutnya, pembelian koin di Shop lagi banyak DISKON dan BONUS tambahan loh! Jangan sampai kelewatan ya 😍😍 Ikutin terus ya kisahnya Rich, Richer, Richest. Dijamin konfliknya makin seru! Thank you ❤️
Sesampainya di rumah, Elisa memarkirkan motornya. Raut wajahnya terlihat lesu setelah apa yang dialaminya siang tadi bersama sahabat-sahabatnya. Perasaan sedih yang ia rasakan terbawa sampai ia pulang. "Elisa pulang," seru Elisa dengan tak bersemangat memasuki rumahnya. Ayahnya menoleh ke arahnya dan berlari dengan wajah sumringah, seperti hendak menyampaikan sebuah kabar baik. Tapi raut wajahnya mendadak berubah ketika melihat wajah Elisa yang muram. "Loh, Sa. Kenapa kok muka kamu sedih gitu?" tanya ayahnya cemas. "Sedih, Yah... Gimana kalau sebentar lagi Elisa bener-bener pindah sekolah dan ninggalin sahabat-sahabat Elisa, Yah?" tanya Elisa dengan bibirnya dimanyunkan, dan matanya seperti berkaca-kaca. "Lho, kok kamu jadi sedih? Katanya mau ke Inggris..." kata ayahnya sambil mengelus pipi anaknya itu. Elisa hanya bisa mengangguk-angguk sambil bibirnya tetap dimanyunkan dan matanya masih berkaca-kaca melihat ayahnya. "Beneran masih pi
Elisa berlari menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV di ruang tamu. "Aduh duh duh... jangan lari-lari, udah malem, Sa! Ntar dikira tetangga ada gempa bumi," omel ayahnya dengan menunjukkan ekspresi kaget. "Yah, Yah, tau nggak?" tanya Elisa bersemangat. "Kasih tau dulu dong, baru Ayah bisa tahu," canda ayahnya. "Ih... Ayah, ih!" Elisa menepuk bahu ayahnya melihat kejahilan ayahnya itu, kemudian ia melanjutkan, "Ayah tau Pak Bambang langganan kita kan?" "Iya tau. Kenapa emangnya?" tanya ayahnya santai. "Pak Bambang itu ternyata salah satu orang paling kaya di Indonesia, Yah! " Elisa berbicara sambil membelalakkan matanya. Ayahnya seperti tidak terkejut, ia hanya terdiam sejenak. "Udah tau," jawab ayahnya yang membuat Elisa terkejut. Ekspresi wajah Elisa mendadak berubah menjadi kesal karena merasa dikerjai oleh ayahnya. "Kok Ayah nggak kasih tau Elisa sih?" Elisa mengernyitkan dahinya. "Lah kamu nggak pernah
Hari itu hari libur sekolah setelah selesai ujian, tapi Elisa sedang berdiri di depan cermin mengenakan seragam sekolahnya lengkap dengan riasan tipisnya. Wajahnya terlihat agak tegang dari biasanya. Ia menghela nafas panjang kemudian mengepalkan kedua tangannya menghadap ke atas. "Elisa, kamu pasti bisa!" Ia berseru pada dirinya sendiri memberi semangat, kemudian mengangguk penuh keyakinan. Ia lalu berjalan menuju ruang keluarga dan menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV pagi itu. "Ayah, Elisa berangkat. Doain Elisa ya," kata Elisa sambil mencium tangan ayahnya. Kemudian ayahnya bangkit berdiri dari kursinya. "Pasti, Nak. Ayah doain yang terbaik buat kamu. Pokoknya kamu harus fokus ngerjain tesnya. Oke?" Ayahnya memberi semangat sambil mengelus kepala Elisa. "Oke, Ayah. Elisa berangkat ya." Elisa tersenyum pada ayahnya lalu berjalan keluar rumah menuju tempat Scooby-doo terparkir. Ayahnya mengantarnya sampai ke depan rumah. Elisa mengenakan helm
"Hai!" Sapa gadis itu, dan memilih tempat duduk di sebelah kanan Elisa. "Hai!" balas Elisa. "Ternyata kamu juga daftar beasiswa di sini. Masih ingat aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. Elisa cukup terkejut. Seingat Elisa, gadis itu adalah seseorang dengan kesan yang kuat. Namun ternyata ia ramah juga. "Iya masih, kok," jawab Elisa juga dengan tersenyum. "Oh iya, kita belum kenalan ya waktu itu. Meta," kata gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aura percaya dirinya begitu kuat. "Elisa." Elisa menjabat tangan Meta. "Gak nyangka ya, kita bisa ketemu lagi di sini," kata Meta merasa tak percaya. "Katanya cuma ada 3 orang yang bakal lolos program beasiswa ini. Semoga kita berdua termasuk salah satunya ya," harapnya. "Amin, amin...," jawab Elisa. Mereka berdua saling tersenyum. Elisa lega karena ia dan Meta tidak harus saling mengalahkan satu sama lain karena ada tiga orang yang memiliki kesempa
Elisa berlari memasuki kamarnya dan mengambil handphone yang diletakkan di atas meja belajarnya, hendak menghubungi Meta. Dibukanya daftar kontak dan ia mencari huruf M. Tiba-tiba handphone-nya berdering tanda ada telepon masuk. Kebetulan sekali, ada telepon masuk dari Meta. Elisa yang kaget kemudian buru-buru mengangkatnya. "Halo," sapa Elisa. "Halo, Sa. Gimana, udah ada telepon dari Akasia?" Dari nada bicaranya, terdengar Meta sedang bersemangat. Elisa berpikir mungkin itu adalah sebuah pertanda yang baik. "Udah, Ta. Barusan," jawab Elisa dengan bersemangat. Ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. "Gimana hasilnya? Eh, tunggu. Kita ucapin bareng-bareng yuk!" Meta mengajak. Elisa mengangguk dengan bersemangat. "Satu, dua, tiga!" Meta memulai hitungannya. "Lolos!" Mereka berteriak bersamaan di saluran telepon masing-masing. Elisa dan Meta sama-sama merasa sangat bahagia karena harapan mereka sama-s
Elisa menata beberapa helai bajunya di atas tempat tidur. Ia mengambil traveling bag-nya kemudian meletakkannya juga di atas tempat tidur. Dimasukkannya beberapa helai bajunya itu ke dalam tas tersebut. Kemudian sambil berdiri, ia berpikir apa lagi yang sekiranya kurang atau terlupa. "Oh iya, sikat gigi," katanya pada dirinya sendiri yang lupa memasukkan sikat gigi ke dalam tasnya. Ia pun berjalan keluar dari kamarnya ka arah kamar mandi. Diambilnya sikat giginya yang berwarna merah dan berjalan keluar dari kamar mandi melewati ruang keluarga, di mana ayahnya sedang duduk menonton TV. "Handuknya nggak lupa, Sa?" tanya ayahnya mengingatkan. "Udah, Yah," jawab Elisa sambil berjalan melewati ruang keluarga. "Sabunnya? Sikat giginya? Odolnya?" tanya ayahnya berentetan. Biasalah... Ayahnya suka menggoda Elisa dengan candaannya. "Udah, Yah!" jawab Elisa yang sudah hampir sampai di depan pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamarnya dan m
Tanggal 5 Juli. Hari pertama masuk kembali ke sekolah setelah liburan kenaikan kelas. Siswa-siswa di SMA Akasia hari itu akan datang lebih pagi untuk berkenalan dengan teman-teman sekelasnya yang baru. Kelas baru dan daftar nama teman-teman sekelas mereka memang telah diberikan kepada siswa masing-masing pada saat liburan kenaikan kelas. Alex dan Steven tetap berada di dalam satu kelas yang sama, kelas 11-A, sedangkan Joshua terpisah dari mereka dan masuk ke kelas 11-B. Setelah berjalan bersama memasuki area sekolah, mereka pun harus berpisah di depan kelas mereka masing-masing. Di dalam kelas Joshua, sudah ada beberapa anak yang duduk dan mengobrol serta bercanda ria. Melihat Joshua sekelas dengan mereka, mereka pun menyapanya dan kelas menjadi cukup riuh. "Wah, Joshua dateng, guys!" seru salah seorang anak laki-laki bernama Martin yang dulunya memang sekelas dengan Joshua. "Wuih, sekelas sama Joshua nih!" seru anak laki-laki yang lain lagi yang dulunya berb
Good morning, everyone. I would like to introduce your new classmate," kata Miss Ratna hendak memperkenalkan teman sekelas baru mereka. Semua siswa di situ memang baru saja memasuki kelas baru dan baru saja saling mengenal teman-teman sekelas mereka yang baru. Namun siswa pindahan pasti akan selalu diperkenalkan secara khusus di depan kelas. "Elisa, please introduce yourself," kata Miss Ratna mempersilahkan Elisa memperkenalkan dirinya sendiri di depan kelas. Elisa mengumpulkan keberaniannya dan mulai memperkenalkan dirinya di depan teman-teman barunya itu. "Hi, my name is Elisa. I'm 16 years old. Nice to meet you all, and I hope that we can be good friends," kata Elisa mempekenalkan diri dengan penuh senyum, sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya, "Hi, Elisa!" sapa teman-teman sekelasnya bersamaan. "Be good to Elisa, guys! Alright, Elisa. You may sit over there," kata Miss Ratna mempersilahkan Elisa duduk sambil menunjuk sebuah bangku kosong di