Risa Abdullah bernapas dengan nada memburu, dadanya naik turun oleh amarah, mata menatap layar ponselnya penuh kemarahan. “Ada apa?” Suara Shouhei mengejutkan Risa disertai dengan tepukan di salah satu bahunya. “Sho-Shouhei?” gugup Risa, menatapnya setengah berkaca-kaca. Wajah sembabnya terlihat jelas. “Kenapa kamu menangis? Siapa yang kamu ajak bicara barusan?” tanya Shouhei dengan kening berkerut tak enak dipandang. Risa menghapus air matanya dan menggeleng cepat. “Bukan apa-apa. Lupakan saja. Tadi hanya telepon tidak penting sama sekali.” Shouhei tidak setuju, tetap menatapnya penuh keseriusan. Kedua tangannya kini memegang kedua bahunya sekuat mungkin. “Siapa, Risa Abdullah? Katakan kepadaku. Apanya yang salah? Kenapa kamu harus meminta maaf?” Wajah kelam penuh intimidasi Shouhei sangat terlihat jelas bagaikan gunung es hitam di depannya, membuat Risa menelan saliva gugup. “Shouhei... sungguh. Tadi itu tidak penting sama sekali.” “Risa. Abdullah,” ejanya dengan nada meneka
Risa Abdullah berpikir kalau acara bermain golf kedua pria beda generasi itu akhirnya selesai, maka mereka pasti akan segera langsung pulang ke rumah. Nyatanya tidak demikian. Keduanya lanjut dengan sesi makan malam bersama di sebuah restoran mahal sebuah hotel tidak jauh dari tempat golf sebelumnya. “Aku senang dengan konsep yang kamu berikan, Anak muda. Besok kita lihat saja bagaimana acaranya berlangsung meriah,” puji Pak tua CEO, menyisip teh hangatnya dengan wajah penuh senyum. “Tentu saja kami akan memberikan yang terbaik kepada klien terbaik kami,” balas Shouhei dengan penuh sikap dewasa dan bermartabat. Risa yang tengah menikmati makanannya usai stres gara-gara telepon Andres, dan juga ucapan Shouhei, hanya melirik kedua orang tersebut bercakap-cakap sejak tadi. Perusahaan mereka memang berjalan di bidang iklan, tapi juga memiliki bidang konsultasi dan penawaran ide bagi perusahaan terkait yang ingin mengambil paket khusus. Shouhei Shiraishi dengan mudahnya menawarkan hal
Keesokan harinya, Sabtu ini Risa Abdullah bangun sangat pagi.. Bahkan, meskipun kemarin banyak kejadian menyebalkan, malam harinya dia tidur dengan memeluk boneka-boneka yang diberikan oleh Shouhei, termasuk gantungan pewangi mobil berbentuk penguin yang dulu dimintanya gara-gara bersikap canggung. Semua benda-benda yang ada bersamanya semalam, membuat hatinya sedikit lebih tenang, dan bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Apalagi ketika teringat gombalan maut Shouhei yang akan membelikannya lima pulau pribadi. Risa merasa itu sangat konyol dan tidak masuk akal, tapi cukup menghiburnya. Wanita ini berpikir, ternyata Shouhei tidak sedingin es abadi, karena ternyata dia bisa bercanda juga. Namun, yang tidak Risa ketahui adalah Shouhei Shiraishi bukanlah pria yang suka bercanda, apalagi jika hal terkait janjinya kepada wanita yang dicintainya. Begitu turun dari lantai dua dan selesai berpakaian lengkap, Risa sangat berseri-seri hingga menarik perhatian ibunya. “Waduh, kamu sepertinya
“Apa maksudmu berkata begitu kepada orang tuaku, hah?!” desis Risa galak ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Shouhei yang sibuk mengemudi dengan santainya menjawab, “aku rasa, tidak perlu mengatakan hal yang sudah pasti jawabannya apa.” “Kamu bicara apa, sih? Tolong singkirkan dulu status antara bos dan sekretaris di antara kita berdua! Ayo bicara antara sesama Tuan dan simpanannya!” Mendengar hal itu, mobil mendadak direm! Risa Abdullah kaget sampai berteriak marah, langsung memukul bahunya penuh emosi. “Kamu sudah gila betulan, ya? Kenapa mendadak mengerem begitu?!” koar Risa kesal, menatapnya super galak seolah ingin membakar Shouhei hingga menjadi arang. Anehnya, malah gelak tawa Shouhei Shiraishi yang muncul ke permukaan, membuat jantung Risa tertegun sangat kaget. “Soalnya kamu menyebut istilah ‘Tuan dan simpanan’. Padahal, aku sudah bertemu dengan calon ibu dan ayah mertua. Bukankah itu sangat lucu?” jelasnya dengan tawa indahnya. Risa memang sudah pernah m
Risa dan Shouhei akhirnya tiba di kantor setelah jam makan siang, dan sang bos segera berpisah dengannya untuk menghadiri rapat yang tertunda. Risa Abdullah hanya bisa melihatnya dari jauh dengan senyum dipaksakan ketika Shouhei tersenyum kecil menuju arah ruang rapat sementara dirinya sudah duduk manis di meja kerjanya. Dari jauh beberapa anggota tim sekretaris buru-buru mendekatinya dengan wajah penasaran. “Kalian dari mana saja, sih? Katanya, sang bos galak kita itu jarang sekali menunda rapat penting seperti itu. Apakah ada masalah di luar sana?” tanya salah seorang wanita kepada Risa, sudah bersandar di tepi meja sambil jongkok untuk mendengarkan kisah Risa dan bosnya. Maksudnya ‘masalah’ ranjang bosnya yang ganas dan tak kenal ampun itu? Risa memekik kesal dalam hati. Tapi, tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya, karena dia merasa semuanya bukanlah kesalahan Shouhei. Itu gara-gara dia yang memulai api panas di antara mereka berdua di mobil sebelumnya hingga berakhir lebih pan
Risa Abdullah tidak menyangka kalau mereka akan kembali ke taman hiburan. “U-untuk apa kita ke sini lagi?” tanya Risa dengan wajah bodohnya, menoleh bergantian antara outdoor taman hiburan di depannya dengan pria dingin bermantel hitam di sebelahnya. Shouhei Shiraishi hanya tersenyum lebar. “Setelah pukul tujuh lewat malam ini, bukankah akan ada pawai karnaval?” “I-iya, sih. Aku juga tahu. Tapi, buat apa kita ke sini?” Sang bos dingin merangkul kedua bahu sang wanita lalu menggiringnya berjalan menembusi kerumunan orang-orang yang mulai sangat antusias menunggu acara spektakuler malam ini. “Acara itu adalah salah satu poin yang ada di dalam proposal yang kita ajukan.” “Be-benarkah? Kenapa aku tidak tahu?” balas Risa dengan wajah lugu, mata mengerjap polos. Menatap wajah tampan di dekatnya seolah terhipnotis. “Tentu saja kamu tidak tahu karena aku mengubah sedikit isinya sebelum Pak tua CEO itu menyetujuinya.” “Oh, begitu rupanya.” Beberapa saat kemudian, mereka telah berada d
Deretan pawai Karnaval akhirnya menghiasi mata para pengunjung taman hiburan. Sorak-sorak kegembiraan mewarnai malam yang indah, dan seperti sebelum gladi bersih beberapa saat lalu, atraksi penari api yang menakjubkan tetap diselenggarakan dalam pawai tersebut. Namun, kali ini lebih ketat dan terkendali pengamanannya. Sepanjang jalan pawai tersebut diberi garis batas, dan terdapat beberapa penjaga keamanan yang berjaga setiap dua meter. Tidak lupa juga balon-balon yang ada di sana menjadi perhatian utama mereka, ditiadakan selama proses pawai berlangsung. “Balon kecil yang berisi helium, meski bukan hidrogen, sebenarnya sangat berbahaya jika sampai lepas di udara. Apalagi jika dalam jumlah besar. Dalam sejarah dunia, terdapat beberapa tragedi terkait balon helium, atau juga dengan balon yang bisa dinaiki.” Shouhei Shiraishi menjelaskan sambil menatap deretan pawai di depan mereka. Risa Abdullah menoleh dengan tatapan penuh minat, melupakan sejenak soal pertengkaran kecil mereka yang
“Sho-Shouhei... apa yang kamu lakukan?” gagap Risa bingung. Dia ingin marah, tapi melihat kesungguhan di wajah pria galak dan dingin itu, membuatnya langsung kehilangan kata-kata. “Aku tahu ini terbilang sangat terlambat. Tapi, aku mohon terimalah.” Risa Abdullah bingung. Mau terima bagaimana? Dia ini sudah menjadi tunangan dari pria lain! “Ma-maaf... tapi aku sudah bertunangan dengan pria lain, Shouhei... candaanmu ini tidak lucu sama sekali,” ungkap Risa dengan wajah muram, kepala menunduk menatap cincin indah di dalam kotak. “Aku tidak peduli. Kamu adalah wanitaku, Risa. Aku duluan yang melamarmu berkali-kali dan menjanjikanmu pernikahan yang indah. Bukan pria lain.” Risa mengerutkan kening, menatapnya kesal. “Shouhei! Kita berdua tidak mungkin bisa bersama secara sah di masa depan, bukan? Kalau hanya ingin membuatku patah hati lebih dalam, sungguh kamu keterlaluan luar biasa! Kamu pikir aku akan tersentuh dengan segala hal romantis ini? Apa kamu sama sekali tidak punya hati