Share

Bab 5

Author: Nur Asih
last update Last Updated: 2024-05-10 20:29:42

Amarah dan hasrat yang sudah tersalurkan membuat Bagaskara lega. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di samping Ratu.

“Sekarang aku percaya, dia tidak menyentuhmu. Tidurlah! Aku akan mentransfer uang ke rekeningmu. Gunakan untuk mengobati luka-luka ini.”

Ratu berdesis saat Bagaskara menyentuh ujung bibirnya. “Shh....” perih langsung menjalar ke seluruh tubuh.

Bagaskara menarik tubuh Ratu ke dalam pelukannya, mencium sudut bibir Maharatu yang membiru lalu menyelimuti tubuh keduanya.

Sinar matahari pagi sudah menembus tirai yang berkibar tertiup angin, menyilaukan pandangan wanita yang masih bergelung di dalam selimut itu. Tulang-tulang di tubuh Ratu seakan ingin terlepas satu per satu. Sungguh, badannya sakit semua. Belum lagi, kepalanya juga terasa pusing.

Melihat matahari yang sudah meninggi, Ratu begitu panik, hari ini dia ada syuting seharian penuh. Ratu menyibak selimutnya, tergesa-gesa.

“Aku terlambat,” rutuk Ratu. Kakinya baru akan menapaki lantai saat suara Bagaskara menghentikan gerakannya.

“Mau kemana?” tanya Bagaskara yang sudah terlihat rapi dengan kemeja putih yang digulung sebatas lengan, menunjukkan lengan berototnya, bawahan berbahan denim membuat pria itu terlihat awet muda.

Ya, harus diakui memang. Meski sudah berkepala empat, artis senior itu masih terlihat tampan dan gagah. Jadi, tidak heran banyak wanita yang masih mendambakannya.

Suara Bagaskara membuat Maharatu kembali menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Bagaskara membawa nampan di tangannya. “Syu–syuting.” Ratu mencengkram erat selimutnya.

Bagaskara mendekat ke arah istri simpanannya, lalu duduk di tepi ranjang. Segelas air putih dan roti bakar dia letakkan di atas meja rias. Helaan napas berat keluar dari hidung mancungnya.

“Hari ini tidak usah kerja dulu. Istirahatlah di rumah. Kamu demam!” titah Bagaskara.

Ratu menempelkan tangannya di dahi. Panas. “Tapi… kata Om Bondan hari ini kami—”

“Aku sudah menyuruhnya untuk memundurkan jadwal syuting,” potong Bagaskara yang menyodorkan roti pada Ratu.

Memang seberkuasa itu Bagaskara. Hingga sutradara sekelas Bondan saja patuh pada perintahnya.

“Setelah makan, minum obatmu. Sebentar lagi Sasa akan datang ke sini untuk merawatmu, karena aku harus kembali ke Singapura. Hanum akan curiga bila aku terlalu lama meninggalkannya,” lanjut Bagas yang berdiri di depan cermin sembari memakai jam tangan.

Ratu mengangguk patuh, roti bakar berlapis selai coklat pemberian Bagaskara terasa sangat sulit untuk dia telan.

Melihat Maharatu memakan roti buatannya, Bagaskara mengulas senyum tipis. “Bagus, aku suka gadis penurut sepertimu.” Bagas mengacak rambut Ratu pelan. Jari Bagas menyentuh sudut bibir Ratu yang membiru.

“Kamu tau… bibir ini membuatku candu. Tapi, kamu malah membuatku melukainya,” lanjut pria itu.

“Maaf!” Terdengar isakan kecil dari bibir Maharatu.

“Kali ini aku memaafkanmu. Tapi tidak di lain hari. Ingat itu!” Setiap kata yang keluar dari mulut Bagas penuh penekanan dan peringatan.

“Ratu janji tidak akan membuat kesalahan lagi.” Ratu mengangguk dan menunduk sangat dalam, tangannya meremas kuat-kuat roti yang dia pegang.

“Pintar. Jadilah perempuan penurut maka semua yang ada di hidupmu akan baik-baik saja. Baik itu kariermu, uangmu, ataupun keluargamu.

Aku harus pergi sekarang. Penerbanganku satu jam lagi. Jaga dirimu baik-baik!” Bagaskara melumat bibir Maharatu sebelum pergi.

“Hati-hati!” lirih Maharatu yang terus menunduk, tidak berani menatap wajah suaminya. Rasa perih menjalari bibir tipisnya karena luka semalam ditambah lumatan kasar dari Bagaskara.

Saat akan pergi Bagaskara berpapasan dengan Sasa di luar apartemen.

“Selamat pagi, Om,” sapa Sasa.

“Pagi! Baguslah kamu sudah datang, Sa. Pastikan, Ratu meminum obatnya dan tolong jaga dia selama aku pergi!” Bagas menginterupsi Sasa.

“Baik, Om.” Sasa mengangguk. Di telepon Bagaskara memang bilang pada Sasa kalau Ratu demam.

“Dari dulu, kamu memang selalu bisa diandalkan,” puji Bagaskara yang menepuk pundak Sasa.

***

Sasa masuk ke kamar Maharatu. “Astaga, Ra!” Sasa panik saat mendapati Ratu menggigil kedinginan di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh dan hanya menampakkan mata bulatnya saja.

Sasa menyentuh kening Ratu. “Badanmu panas sekali, Ra. Kita ke rumah sakit, ya.”

“Tidak usah,” tolak Ratu dengan suara yang lirih.

“Jangan keras kepala, Ra. Aku takut kamu kenapa-napa.”

“Kamu mau, mereka melihat ini.” Ratu menyibak selimutnya, memperlihatkan bekas cekikan di leher dan pipinya yang membiru.

“Astaga, Ratu!” Mata Sasa membola, wanita berambut pirang itu membekap mulutnya karena melihat bekas telapak tangan di leher Ratu. Sudut bibir artisnya itu juga terlihat membiru.

“Panggil Dokter Frans saja!” pinta Ratu.

Dokter Frans, dokter pribadi Bagaskara, yang biasa merawat bekas luka kdrt yang dialami Ratu.

Langsung Sasa menghubungi Dokter Frans.

“Bagas benar-benar keterlaluan,” geram Dokter Frans saat melihat kondisi Ratu yang memprihatinkan.

“Kenapa kamu diam saja saat dijadikan samsak hidup, Ra…!” imbuh Dokter Frans yang memeriksa Maharatu.

“Lalu saya harus bagaimana, Dok?” Ratu memaksakan diri untuk tersenyum. “Dokter tau sendiri bukan. Melawan Mas Bagas sama saja dengan bunuh diri,” imbuh Ratu.

Dokter Frans membuang napas. “Aku sudah meresepkan beberapa obat dan vitamin. Untuk luka-lukamu aku juga sudah meresepkan salep khusus, oleskan secara teratur. Selang dua atau tiga hari, lebamnya akan berangsur hilang.”

“Siap, Dok!”

Dokter Frans geleng-geleng kepala. Dalam kondisi yang seperti ini pun, wanita muda di depannya masih bisa tersenyum.

“Bagaimana keadaan Ratu, Dok?” cecar Sasa ketika Dokter Frans keluar dari kamar.

“Tebus resep ini ke apotek terdekat. Pastikan dia meminum obatnya secara teratur. Sepertinya bukan hanya fisiknya saja yang lelah. Mentalnya juga.” Panjang lebar Dokter menjelaskan pada Sasa.

“Entah kesalahan apa yang Ratu perbuat sampai Om Bagaskara semurka itu.” Sasa menatap pintu kamar Ratu.

Dokter Frans duduk di sofa ruang tamu diikuti Sasa. “Kita berdua sama-sama mengenal Bagaskara cukup lama, Sa. Dari dulu dia memang suka bermain wanita. Tapi, ya itu… tidak pernah bertahan lama karena pria itu gampang bosan.

Kukira tiga tahun lalu, saat dia menginginkan Ratu, nasib wanita muda itu akan sama seperti wanita-wanita lain. Dibuang setelah beberapa bulan. Aku benar-benar tidak menyangka, Bagaskara akan mengikat Ratu sangat lama. Bahkan bertahun-tahun.”

“Kalau menurutku ini masalah ego, Dok. Seorang Bagaskara yang memiliki pengaruh besar di dunia entertain dan selalu berhasil mendapatkan wanita yang dia inginkan. Ditolak oleh seorang artis pendatang baru.”

“Ditolak?!” Dokter Frans mengernyit.

“Ya… awalnya Maharatu menolak Om Bagas, dia tidak mau jadi simpanan. Tapi karena Om Bagas mengancam akan menghancurkan kariernya ditambah dengan Sandra si wanita tua yang mata duitan itu. Si gadis malang itu, tidak punya pilihan lain… selain menerima Bagaskara,” jelas Sasa.

“Dan satu lagi, Dok.” Sasa berbicara berbisik. “Om Bagas yang pertama membuka segel, Ratu.”

“Ha…!” Dokter Frans terkejut. Di zaman sekarang masih ada perawan, pikirnya.

***

Ratu beringsut, tangannya terulur membuka laci meja rias. Jarinya menekan kode pada sebuah brangkas kecil. Mengeluarkan foto berwarna hitam putih. Mengusap foto itu lembut, membersihkan tetesan air mata yang jatuh diatasnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 75

    Danendra dan Maharatu sedang menikmati kebersamaan di ruang tamu. Keduanya menonton film bersama dengan kepala Maharatu yang berada di pangkuan Danendra. “Suamimu akhir-akhir ini sering sekali berkunjung, Ra?” tanya Danendra yang mengusap-usap rambut Maharatu. “Ndra….” Maharatu mengelus rahang Danendra. Menatap manik kekasihnya dalam-dalam. Seolah berkata kalau saat ini dia tidak ingin membahas tentang Bagaskara. Danendra membuang napas kasar. “Aku cemburu, Ra!” kata Danendra membuang muka.Maharatu bangkit dari posisinya. Ditangkupnya wajah Danendra, agar mata keduanya saling bertemu.“Aku tau kamu cemburu, tapi untuk saat ini aku belum bisa lepas dari Mas Bagas, beri waktu aku sedikit lagi.”Danendra melepaskan tangan Maharatu dari rahangnya dengan kasar. “Sedikit lagi … sedikit lagi … itu terus Ra yang kamu katakan sejak enam bulan lalu. Aku ini lelaki biasa yang juga punya rasa cemburu. Aku tidak bisa terus-terusan melihat kamu dijamah oleh Bagaskara!” Suara Danendra yang bia

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 74

    “Kamu mau kemana, Sandra?” Rahman yang baru keluar dari kamarnya tertatih-tatih menghampiri sang istri yang membawa dua koper besar.“Mau pergi dari sini,” sarkas Sandra yang terus melangkah tanpa menghiraukan suaminya.Rahman mempercepat langkahnya, meski masih terpincang-pincang karena memang kondisinya yang belum sembuh sempurna. “Pergi kemana?” Tangan Sandra dicekal oleh Rahman. “Lepasin!” Dengan kasar Sandra mengibaskan tangan suaminya. “Yang jelas sejauh mungkin. Karena aku tidak mau kembali hidup kere sama kalian seperti dulu.”Dahi Rahman berkerut. Hidup kere bagaimana? Saat ini hidup mereka bahkan bisa dibilang bergelimang harta. “Lihatlah semua ini Sandra. Kita bergelimang harta sekarang?”“Ya, sekarang, tapi sebentar lagi kita akan jadi kere seperti dulu. Karena anak perempuanmu itu main-main dengan Bagaskara,” ujar Sandra dengan bersungut-sungut. “Bicaramu semakin tidak jelas.”“Kalau ingin lebih jelas, nanti tanya pada putrimu itu.” Sandra memegang kedua kopernya hen

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 73

    “Maaf.” Maharatu memeluk tubuh Danendra dari belakang. Pria itu sedang berada di balkon, melukis sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang mencerminkan perasaannya saat ini.Danendra memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mencabik-cabik di hati. Karena pelukan kekasihnya. Pelukan yang Danendra tahu pasti sebabnya.Danendra meletakkan kuasnya. Tangannya menyentuh tangan Maharatu dengan lembut, berniat melepaskan pelukan Maharatu sejenak sebelum berbalik badan. Namun, Maharatu justru semakin mengeratkan pelukannya.“Jangan berbalik, kumohon,” lirih Maharatu dengan suara parau, “biarkan seperti ini. Aku masih ingin memelukmu, Ndra.”Hening, tidak ada suara. Hingga setelah beberapa saat, terdengar isakan kecil dari Maharatu. Danendra dapat merasakan kaos yang dipakainya basah di bagian belakang. Wanitanya sedang menangis. Tak tahan mendengar isakan Maharatu yang semakin menyayat hati. Danendra melepas pelukan Maharatu, berbalik badan lalu membawa wanitanya itu ke dalam dekapannya. “T

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 72

    Maharatu mengembuskan napas panjang. Dari pantulan cermin dapat dia lihat, Sandra sudah berdiri di belakangnya dengan wajah masam. Maharatu lalu berbalik badan. “Kenapa pagi-pagi sekali Mama sudah berdiri di situ. Jatah bulanan yang kukasih, kurang? Tapi, maaf Ma. Ratu nggak bisa kasih Mama credit card lagi,” ujar Maharatu. “Ck!” Sandra berdecak membuang muka ke samping sejenak lalu menatap wajah putrinya dengan amarah yang berkobar. “Apa kamu pikir setiap Mama datang padamu selalu karena uang?” bibir Sandra mencebik, tak terima dengan praduga Maharatu. “Tentu saja, karena sejak dulu Mama memang begitu. Selalu uang … uang … dan uang,” ketus Maharatu dengan senyum mengejek. “Terserah kamu, Ra, mau berpikir bagaimana. Mama hanya ingin memperingatkanmu?” Dahi Maharatu berkerut. “Untuk?!” Kini giliran Sandra yang tersenyum mengejek. “Jangan main-main dengan Bagaskara. Semalam Mama lihat kamu keluar dari kamar Endra!” Deg! Maharatu kaget dengan perkataan mamanya. Sial sekali bagin

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 71

    “Terima kasih karena sudah bicara pada, Pangeran,” ucap Maharatu yang menyandarkan kepalanya di pundak Danendra. Danendra mengusap pipi Maharatu lembut. “Kalian hanya miskomunikasi saja, sebenarnya.” “Kamu benar Sayang, seharusnya aku bertanya pelan-pelan pada Pangeran. Apa alasan yang mendasari dia bekerja bukannya malah langsung marah seperti tadi." Masih saja ada rasa sesal yang bercokol di hati Maharatu. “Sebenarnya kamu itu marah bukan karena Pangeran bekerja, tapi karena Pangeran dipermalukan di depan semua orang, ‘kan? Tapi sayangnya, kamu tidak tau haru melampiaskanya pada siapa? Jalan termudah, ya, kamu melampiaskanya pada Pangeran” “Kakak mana yang terima adiknya di hina seperti tadi, Ndra. Di depan semua orang lagi.” Keduanya sedang berada di kamar tamu, tempat Danendra tidur saat berada di rumah Maharatu. “Kata Pangeran, tadi Ayang kasih saran supaya dia buka usaha sendiri, ya?” sambung Maharatu. Mendengar panggilan Ayang dari Maharatu, sudut bibir Danendra terang

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 70

    Suara ketukan membuat Pangeran yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh. “Boleh, Mas masuk!” Danendra berdiri di ambang pintu dengan senyum yang mengembang. “Silakan, Mas!” Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Danendra masuk ke dalam kamar. “Interior yang bagus,” puji Danendra setelah menelisik setiap sudut kamar Pangeran. Tanpa menunggu dipersilakan oleh yang punya kamar, Danendra duduk di tepi ranjang. “Desain yang bagus.” Danendra melongok gambar yang sedang dibuat Pangeran di buku gambar. “Terima kasih, Mas.” Pangeran meletakkan pensil lalu menggeser kursinya agar menghadap ke arah Danendra secara langsung. “Daripada kerja di tempat lain, kenapa nggak buka usaha sendiri saja,” saran Danendra pada Pangeran. “Buka usaha apa, Mas?” “Costum kaos misalnya. Kan, kamu pintar gambar.” “Maksudnya?!” “Kamu buat desain yang bagus terus coba aplikasikan desain yang kamu buat itu ke dalam kaos. Post hasilnya di media sosial. Lalu tawarkan di sana. Untuk desain tulisan

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 69

    Di dalam mobil Maharatu sangat cemas. Dia mengkhawatirkan keadaan Pangeran. “Kira-kira, Endra bisa beresin masalah Pangeran, nggak, ya, Sa?”“Pasti bisa, kamu tenang saja!”Di saat kalut seperti ini ponsel Maharatu justru berdering. “Ck, Mas Bagas telpon lagi,” keluh Maharatu saat menatap layar ponselnya.“Angkat!” titah Sasa. “Hallo, Mas,” sapa Ratu yang memandang ke arah Sasa. “Kamu dimana? Kenapa tidak ada di apartemen?”“Maaf, Ratu masih di cafe tempat meet and great.”“Pekerjaanmu belum selesai?”“Sudah, sih, tapi—”“Tapi apa?” tanya Bagaskara sedikit cemas. “Ada masalah dengan Pangeran.”“Baiklah selesaikan dulu masalahmu baru setelah itu pulang?”“Em … Mas. Malam ini Ratu boleh pulang ke rumah Ayah, soalnya masalah Pangeran agak rumit.” Dengan hati-hati Maharatu meminta ijin pada Bagaskara. Sebenarnya Bagaskara sangat ingin bersama Maharatu malam ini, tapi karena mendengar suara Maharatu yang begitu cemas Bagaskara mencoba memberi kelonggaran.“ Baiklah, tapi untuk malam

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 68

    Maharatu yang sudah tidak tahan melihat pelayan itu terus dihina hendak melangkah. Namun, Sasa memegang lengan Maharatu, mencegah langkahnya. “Lepas, Sa!” hardik Maharatu. Tatapan Maharatu nyalang, matanya sudah berkaca-kaca. Dia berusaha melepaskan tangan Sasa yang memegangi lengannya. “Mau kemana?” Tatapan Sasa tidak kalah tajam. “Tentu saja merobek mulut gadis itu!” sarkas Maharatu.“Lalu setelah itu apa?” Sasa semakin mengencangkan pegangannya di lengan Maharatu, “memberitahu semua orang bahwa pelayan yang dihina itu adalah adikmu, adik seorang aktris ternama, MA-HA-RA-TU, iya?” Sengaja Sasa menekankan nama ‘Maharatu’, untuk mengingatkan Maharatu tentang posisinya saat ini dan komitmen Maharatu untuk menyembunyikan identitas keluarganya.“Tapi, aku tidak bisa melihat Pangeran dihina, Sa!” Wajah Maharatu memelas. Kakak mana yang terima adiknya dihina di depan banyak orang. Apalagi Pangeran hanya menunduk saat dihina tanpa membela diri. Hati Maharatu hancur. Dia baru saja kel

  • Terjebak Cinta Terlarang   Bab 67

    “Kalian sudah baikan?” tanya Sasa saat masuk ke dalam mobil.Sasa bicara begitu karena melihat Maharatu dan Danendra saling melempar canda. “Memangnya kapan kami bertengkar?!” ujar Maharatu.“Kalau tidak bertengkar kenapa kemarin diem-dieman?” selidik Sasa.Maharatu mencubit dua pipi Sasa dengan gemas. “Kemarin kami sama-sama masih capek, pulang dari Bali harus langsung kerja, dan itu juga gara-gara kamu yang tidak memberi kami kesempatan untuk istirahat sejenak, iya, ‘kan, Ndra?”“Benar sekali itu. Sasa ini memang cocok jadi kompeni,” canda Danendra menimpali.“Oiya?!” Sasa bersedep dada dengan mata yang mendelik. Seolah sulit untuk percaya pada perkataan Maharatu dan Danendra.Danendra dan Maharatu saling lirik dari kaca spion. Mereka harus bermain rapi agar Sasa tidak mencurigai hubungan keduanya.“Tentu saja, apalagi kami sempat main petak umpet di Bali,” ujar Danendra yang sengaja memantik rasa penasaran Sasa pada hal lain. “Petak umpet, kenapa?” Danendra tersenyum samar, umpa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status