Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia.
Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini.
"Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu Kezia sambil memajukan bibirnya. Di salah satu meja dalam restoran itu, Kezia mendapati Arnold tengah fokus membaca beberapa dokumen dari klien, kemudian dia akan mengangguk-angguk ketika klien di depannya menjelaskan sesuatu. Hingga menit-menit berlalu lagi, Arnold sama sekali belum membagi fokusnya pada hal selain topik yang sedang dibicarakannya dengan klien. Diam-diam Kezia mengamati wajah pria itu sambil tersenyum karena terpesona. Dalam keadaan fokus seperti itu, Arnold terlihat lebih tampan. Wibawanya tumpah ruah seperti aliran air di musim hujan. Namun di balik semua itu, Kezia juga merasa jengkel sebab harus menunggu terlalu lama. Malam kian matang. Udara terasa menggigit. Gaun tanpa lengan yang dikenakan Kezia memudahkan angin untuk menusuk-nusuk kulitnya. "Sial! Mama menyuruhku berangkat terlalu awal. Yang ada aku malah harus menunggu dia selesai meeting sambil mondar-mandir di depan pintu seperti ini," umpat Kezia dalam hati. Dia melirik lagi ke meja Arnold. Kali ini hatinya bersorak sebab mendapati orang-orang di meja itu mulai mengemasi dokumen. Itu artinya, meeting mereka sudah selesai. Tak lama kemudian, datang dua pelayan restoran yang membawakan beberapa pesanan meja itu. Kezia melihat makanan yang cukup banyak. Kali ini ia menggerutu lagi sebab khawatir orang-orang di meja itu akan membutuhkan waktu cukup lama untuk menghabiskan makanan-makanan pesanan mereka. Ketika tidak sengaja melihat secangkir kopi yang ada di atas meja itu, pikiran Kezia mendadak digelayuti ide yang menurutnya sangat menakjubkan. Ia memaki lagi rencana yang dicetuskan Eva untuk terus menunggu di pintu sampai akhirnya Arnold melihatnya. Sejak tadi saja, pria itu seolah tak punya waktu untuk melihat ke arah lain. Sepertinya secangkir kopi akan jadi sesuatu yang jauh lebih baik dan menguntungkan daripada ia harus lebih lama menunggu sampai jamuran. Menit berikutnya, Kezia segera melangkah masuk dan mendekat ke meja itu. Derap langkahnya terdengar anggun sebab bantuan sepatu setinggi sepuluh senti. Tangan kanannya menenteng tas berwarna abu muda penuh percaya diri. Dengan penampilan yang begitu mencolok dan mengundang gairah, Kezia tahu kalau banyak pengunjung pria yang tengah memperhatikannya detik ini. Namun, fokus utamanya hanya tertuju pada Arnold saja.Saat jaraknya dari meja Arnold sempurna terpangkas, Kezia segera melancarkan aksinya. Dia pura-pura menabrak meja, kemudian menumpahkan secangkir kopi ke baju Arnold begitu saja. Tubuhnya sengaja dibuat membungkuk untuk menggoda naluri pria itu. Tentu gaun tanpa lengan yang dikenakannya sangat mendukung Arnold melihat dada bagian atasnya. "Aduh, maafkan kecerobohanku, Tuan." Kezia bergerak cepat mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, kemudian menyapukan tissue itu ke jas Arnold yang terkena tumpahan kopi. Di atas kursinya, Arnold hanya bisa menahan napas karena marah. Penampilannya malam ini harus rusak karena kedatangan seorang gadis yang tidak diundang. Ia membiarkan saja gadis ceroboh itu membersihkan bajunya walau tahu kalau tissue tak akan bisa menghilangkan noda dengan sempurna. Tiga pria lain yang duduk satu meja dengannya hanya bisa menatap prihatin."Saya benar-benar tidak sengaja, Tuan. Kaki meja ini telah mengenai sepatu saya hingga akhirnya saya tidak bisa berjalan dengan seimbang." Kezia mengumpulkan beberapa helai tissue kotor yang usai digunakan untuk mengelap jas Arnold, kemudian menjatuhkannya ke bawah meja. Kini gadis itu berdiri tegak dengan kepala ditundukkan karena takut. Detik itu juga, Arnold segera membulatkan mata. Kepalanya sedikit diarahkan ke depan untuk memastikan tidak ada yang salah dalam penglihatannya. "Kezia?" gumamnya hingga terdengar seperti berbisik. Di detik yang sama, Kezia mengarahkan mata ke Arnold. Dia yang juga pura-pura tak mengetahui identitas pria di depannya segera membulatkan mata. "Tuan Arnold?"Arnold segera beranjak dari duduknya. Ia menatap Kezia lebih jeli, memastikan sekali lagi kalau gadis yang ada di depannya detik ini sama dengan gadis yang mengetuk pintu rumahnya kemarin pagi. "Mohon maaf, Pak Miko, Pak Daniel, dan Pak Reza, saya tinggal dulu, ya. Saya harus menyelesaikan beberapa urusan dengan gadis ceroboh ini." Arnold memberi anggukan hormat untuk pamit dari meja itu. Setelah menerima jawaban dari para rekan kerjanya, Arnold segera meraih lengan Kezia dengan kasar, kemudian membawa gadis itu pergi ke bagian restoran yang lebih dalam. Kezia gemetar ketakutan sebab merasai cengkeraman tangan Arnold yang begitu kuat. Rasanya ingin pergi dan kabur saja, tapi tentu ia tak akan mampu melawan kekuatan Arnold yang tidak sebanding dengan tenaganya. Rasa takut itu kian beranak-pinak ketika Arnold menyeretnya ke toilet pria. Kezia terus merapal mantra dalam hati agar di dalam toilet itu ada pengunjung lain. Sayangnya, pengharapan gadis itu menemui kekosongan sebab nyatanya di setiap sudut toilet tak ada satu pun manusia selain mereka. "Tuan mau ngapain?" tanya Kezia waswas. Usianya memang sudah dua puluh satu, tapi gadis itu belum pernah berpacaran di sepanjang hidupnya. Tentu tingkah mengganjal dari Arnold seperti ini langsung mengundang keringat dingin untuk mengalir di pelipisnya. Arnold tak menjawab apa pun. Matanya masih menatap garang. Dengan gerakan kasar, ia menarik tubuh Kezia dan mendudukkan gadis itu di pinggiran wastafel. Dua wajah mereka saling berhadapan sekarang. "Jangan macam-macam, Tuan. Saya bisa teriak kapan pun saya mau," ancam Kezia yang detik ini benar-benar merasa ketakutan. Tiba-tiba ia merutuki diri sendiri yang telah membuat rencana sekonyol tadi hingga Arnold menariknya dengan marah ke tempat ini. Dengan sorot mata yang masih berkilatan akan amarah, Arnold berkata, "Tidak akan ada yang bisa mendengar teriakanmu, gadis ceroboh." Dia sengaja membuka kaki Kezia, kemudian berdiri di antara dua paha gadis yang masih duduk di pinggiran wastafel itu. Untung saja Kezia mengenakan dalaman yang panjangnya hampir setara dengan ujung gaun. Kalau tidak, bisa gawat. Posisi seperti ini membuat Kezia semakin kewalahan mengatur napas. Dadanya naik turun menyangga kegugupan. Ia membayangkan Arnold nekat berbuat sesuatu yang menyakitinya, sementara tak ada seorang pun yang dapat dimintai tolong. Dengan posisi kepala yang ditundukkan, Kezia menjawab dengan suara gemetar, "Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja menumpahkan kopi itu."Sebab merasa gemas pada gadis di hadapannya, Arnold segera menaikkan dagu Kezia hingga dua wajah mereka kembali beradu dalam jarak yang sangat dekat. Dia lelaki dewasa yang normal. Tentu penampilan Kezia malam ini telah membangkitkan sesuatu dari dalam dirinya. Dengan tatapan nakalnya, mula-mula Arnold mengamati ujung rambut Kezia yang digelung, kemudian turun ke mata, hidung, pipi, dan berhenti di bibir gadis itu cukup lama. Lipstik berwarna mencolok yang dikenakan Kezia membuat ia sangat ingin menyentuh bibir itu. "Aku tidak menyangka kau bisa tampil semenggoda ini," bisik Arnold dengan suara yang mulai diselimuti kabut nafsu. Matanya lanjut mengamati leher jenjang Kezia yang terekspos nyata sebab tak ada helai rambut yang menghalanginya. Terakhir, mata itu turun pada dua gundukan yang melambai-lambai di bawah tulang selangka.Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia