Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun.
"Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.
Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.
Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhkan tubuhnya dari Kezia, sehingga gadis tersebut langsung menggunakan kesempatan untuk turun dari wastafel. Arnold tidak sejahat itu. Meski nalurinya sebagai pria normal terus berteriak agar mengerjai Kezia lebih lanjut, tapi ia tak sampai hati. Saat mengamati bibir merah gadis itu tadi, Arnold langsung tahu kalau Kezia belum pernah menyerahkan first kiss pada siapa pun. Ia juga yakin kalau seluruh bagian tubuh Kezia masih utuh dari jamahan laki-laki mana pun.
"Minggir! Aku mau cuci tangan." Arnold mendorong lengan Kezia agar menyingkir dari depan wastafel. Pria itu buru-buru mengucur tangannya di bawah keran. Tak lupa dia membasuh bagian jasnya yang terkena tumpahan kopi akibat kecerobohan Kezia.
Walau noda kopi itu tak hilang sempurna, tapi setidaknya bantuan air bisa sedikit mengurangi lengketnya. Setelah membenarkan posisi jas dan mematuk wujudnya di depan cermin wastafel, Arnold segera balik kanan untuk melangkah menuju pintu keluar.
"Tunggu, Tuan Arnold." Kezia buru-buru mengejar. Dia jadi kesal sendiri karena Arnold kembali jutek setelah berhasil membuat detak jantungnya maraton beberapa menit yang lalu. Dengan tubuh mungilnya, Kezia mencegat pintu agar pria itu tidak bisa keluar.
"Mau apa lagi?" tanya Arnold dengan muka garang.
"Tuan Arnold belum menerima maafku." Walaupun sedikit gentar, tapi Kezia memberanikan diri untuk mengangkat kepala hingga mukanya berhadapan langsung dengan milik Arnold.
Pria itu menarik satu sudut bibirnya lagi. "Memangnya ada tanda-tanda aku akan menerima maafmu?"
Kezia tersentak atas pertanyaan yang diberikan Arnold. Dia kembali menundukkan kepala, kemudian beringsut ke samping untuk memberi jalan keluar. Sepertinya berdebat dengan Arnold tidak akan ada ujungnya.
Sebelum benar-benar pergi dari toilet itu, Arnold berkata, "Kau boleh kembali lagi ke rumahku besok siang." Pria itu mengambil jeda untuk mendekatkan bibir ke telinga Kezia, kemudian berbisik di sana untuk melanjutkan ucapannya, "Tapi jangan berpenampilan seperti ini karena itu akan menggodaku. Aku bisa saja berbuat lebih kalau tak bisa menahan."
Kezia memberi anggukan tipis tanda ia paham. Arnold benar-benar pergi dari toilet itu tanpa menghiraukannya lagi. Dengan leher dipanjangkan, Kezia mengintip dari celah pintu untuk memastikan kalau pria itu benar-benar telah kembali ke mejanya yang tadi.
Menit berikutnya, gadis dua puluh satu tahun itu berlari menuju wastafel tempat Arnold menghukum napasnya tadi. Dia berkaca sambil berputar-putar mengamati tubuhnya.
"Benar juga. Penampilan seperti ini akan menggoda pria mana pun yang tak bisa menahan diri," gumam Kezia sambil mengamati belahan di tengah-tengah dadanya. Ia tak bisa menafikan senyum malu yang tiba-tiba terbit ketika mengingat perlakuan Arnold tadi. Kalau saja pria itu tidak bisa menahan diri, kira-kira apa yang bakal terjadi, ya?
***
Setibanya di rumah, Kezia langsung disambut oleh pertanyaan dengan nada tak sabar dari Eva.
"Bagaimana tadi? Sukses, tidak?" Wajah Eva berbinar oleh temaram lampu teras. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Taksi yang mengantarkan Kezia pulang baru pamit dari pekarangan.
Kezia mengambrukkan tubuh begitu saja di kursi teras. Ia memandang lagi ke bawah untuk menyaksikan penampilannya yang begitu tidak sopan malam ini. "Kezia nggak mau pakai baju kayak gini lagi," serunya dengan wajah masam.
"Memangnya kenapa?" Eva menaruh tubuh pada kursi yang berdampingan. Dia menatap putrinya dengan janggal.
"Dia hampir saja membuat jantungku ingin meledak!"
"What?" Eva segera membulatkan matanya untuk meminta kejelasan. "Membuat jantungmu ingin meledak bagaimana?"
Kezia membenarkan posisi duduknya, mengangkat tegak kepalanya, kemudian mengarahkan mata ke Eva untuk memulai penjelasan. Gadis itu bertutur secara lengkap, mulai saat pertama kali tiba di restoran, kemudian mondar-mandir tidak jelas di depan pintu restoran selama puluhan menit seperti satpam. Tak lupa ia menceritakan kejadian inti, di mana tiba-tiba muncul ide untuk menumpahkan kopi ke pakaian Arnold agar bisa menarik perhatian pria itu. Eva cekikikan saat cerita Kezia tiba di mana Arnold membawanya ke toilet dan meletakkan tubuhnya di antara dua paha putrinya.
"Kenapa Mama tertawa? Apa yang lucu?" Kezia mendengkus di sela pertanyaannya. Mukanya terlihat kusut seperti orang lelah. "Skenario yang Mama rancang malam ini gagal total. Itu sudah cukup membuktikan kalau ternyata Mama tak cerdas-cerdas amat."
"Hei, kau ini bicara apa, Putriku?" Eva bersuara dengan lembut hingga suaranya terkesan hendak menyaingi desau angin. "Kalau Mama tak cerdas, sudah pasti Mama tak akan berhasil menggoda mendiang papamu hingga akhirnya lahir gadis cantik sepertimu."
Kezia masih merengut di atas kursinya. Kali ini dua tangannya dilipat di depan dada hingga belahan di sana terlihat semakin menonjol. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengumpat rencana Eva malam ini. Lebih parahnya lagi, ia juga tak berhenti memaki dirinya sendiri yang sudah membuat rencana gila dengan secangkir kopi.
"Kalau Arnold sampai membawamu ke kamar mandi dan memandangimu seperti itu, berarti dia sudah tertarik padamu. Kita telah melewati satu langkah dengan sangat sempurna, Dear," ucap Eva dengan suara pelan seperti berbisik. Caranya berbicara seolah tengah membahas sebuah misi rahasia yang tak boleh didengar oleh debu sekali pun.
Kezia bergeming di atas kursinya. Kali ini raut masam telah ditanggalkan dari mukanya. Benar juga kata Eva. Kalau Arnold tidak tertarik, tidak mungkin pria itu menghadiahinya dengan tatapan lapar seperti tadi. "Lalu bagaimana kalau Arnold seperti itu hanya karena menjalankan instingnya sebagai pria dewasa saja?"
Eva tertawa tipis mendengar pertanyaan putrinya. "Hal itu tak perlu kau pikirkan di awal-awal, Kez. Yang penting, sekarang kita harus fokus memasukkan tuan muda itu dalam perangkap keindahan tubuhmu. Kalau dia nanti sudah terlena, tugasmu adalah membuatnya jatuh cinta."
Kezia segera meloncatkan alisnya. Eva belum pernah membahas tentang jatuh cinta sebelumnya. "Maksudnya apa, Ma?"
Eva mengembuskan napas panjang. Ternyata putrinya itu terlampau polos sampai tak paham ini. "Ya, kamu harus membuat Arnold jatuh cinta kepadamu sampai menikahimu. Dengan begitu, rencana kita akan berjalan semulus jalan tol."
Kezia bergeming lagi di kursinya. Urat di kepalanya berkedut-kedut karena berpikir. Angin malam menampar kulit kian ganas hingga dinginnya seolah merembes lewat setiap detak waktu. Benar juga kata Eva. Kalau dia berhasil jadi nyonya di rumah itu, maka kesempatan untuk mencapai tujuan akan semakin mudah. Status Arnold yang sudah resmi bercerai dari Rebecca seolah menjadi pintu masuk yang sengaja dibuka lebar oleh semesta untuk Kezia.
Sebelum percakapan malam itu berakhir, Eva mendekatkan wajahnya ke arah Kezia untuk berpesan, "Tapi ingat, jangan sampai kamu ikut jatuh cinta sama dia. Cuma dia yang boleh mencintaimu, kamu tidak!"
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik