Arian berpura-pura sibuk dengan ponselnya. "Aku hanya memastikan kau tidak terlalu akrab dengan orang yang baru kau kenal."
Nazharina menyilangkan tangan. "Oh? Sejak kapan itu jadi urusanmu?"Arian menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan. "Aku hanya tidak suka melihatnya."Sebelum Nazharina bisa membalas, suara familiar terdengar dari belakang mereka."Wah, ini terlalu lucu." Maxime menyeringai sambil melipat tangan di dada.Arian langsung mendelik. "Apa maksudmu?"Maxime berjalan mendekat, ekspresinya penuh godaan. "Kau tiba-tiba muncul saat Nazharina sedang mengobrol dengan pria lain, mengalihkan perhatiannya, dan sekarang mencoba berdalih seolah ini bukan kecemburuan? Astaga, Arian. Ini klasik."Nazharina menahan sebal sementara Arian berdeham canggung. "Aku tidak cemburu."Maxime memiringkan kepala. "Benarkah? Lalu kenapa tatapan matamu tadi seperti ingin menelan anak baru itu hidup-hidup?"Arian menghela napas panjang. "Aku hanPintu kaca buram itu terbuka tanpa ketukan. Maxime menyelip masuk dengan gaya seenaknya, satu tangan membawa dua cangkir kopi. Senyum jahil langsung mengembang begitu melihat Arian sedang berdiri di dekat jendela, dengan senyum kecil yang tidak biasa.“Ini untukmu, Bapak CEO yang sedang mabuk asmara,” kata Maxime sambil meletakkan kopi di meja Arian.Arian hanya melirik, tak bereaksi. Tapi Maxime tahu betul, sikap datar itu hanya kedok dari pria yang sedang menyembunyikan sesuatu.“Pagi yang cerah, bukan?” sindir Maxime sambil menjatuhkan diri ke sofa. “Tapi sepertinya cuaca di kamarmu lebih panas dari kemarin.”Arian hanya menggeleng, melirik sekilas. “Apa kau selalu punya waktu untuk urusan pribadi orang lain?”“Kalau itu melibatkan teman lama dan wanita yang selama ini membuatnya susah tidur, tentu saja,” jawab Maxime santai. “Kau terlalu bersinar hari ini. Matamu bahkan tidak sekaku biasanya.”Arian kembali ke mejanya. “Max.”“Aku serius. Kau d
"A-Astaga, Kinoshita! Berhenti!" seru Nazharina panik, mengejar langkah cepat temannya yang langsung menuju lorong kamar.Tapi terlambat.Kinoshita sudah sampai di depan pintu kamar yang terbuka sedikit, dan apa yang dilihatnya membuat dia terdiam membeku.Di dalam, Arian duduk santai di tepian kasur, hanya mengenakan celana panjang, dada bidangnya telanjang, rambutnya berantakan dengan cara yang sangat... sangat intim.Kinoshita menutup mulutnya erat-erat, menahan teriakan. Matanya membulat seperti piring. Ia mundur cepat, membentur dinding dengan bunyi 'duk' kecil.Nazharina buru-buru menarik lengannya, menyeretnya keluar sebelum Arian sempat sadar.Mereka berdua jatuh ke sofa, napas memburu."Nazh!" Kinoshita akhirnya bersuara, setengah berbisik, setengah menjerit. "Kau tidur dengan Tuan Arian!"Nazharina memejamkan mata, mengutuk nasibnya."Aku bisa jelaskan semuanya," desahnya, berusaha terdengar tenang."Astaga, astaga..." Kino
Arian membalik tubuh Nazharina, mencium tulang belakangnya dengan lembut, lalu kembali mengisinya, kali ini lebih dalam, lebih perlahan, seolah ingin membuat malam itu bertahan selamanya.Nazharina mengerjap pelan, berusaha mengatur napas yang masih memburu. Tubuhnya terasa lemas, nyaris tak bisa bergerak, tapi kehangatan aneh menyelimuti hatinya.Lengan kekar itu menariknya kembali ke dalam pelukan. Kulit panas mereka kembali bersentuhan, membangkitkan bara yang belum sepenuhnya padam."Kau pikir aku puas hanya sekali?" bisik Arian di telinganya, suaranya serak dan berat oleh hasrat yang belum reda.Nazharina menggeliat kecil, mencoba berpaling, tapi Arian sudah membalik tubuhnya hingga kini ia menatap pria itu. Wajah Arian berada sangat dekat, matanya menatap dengan dalam."Aku ingin melihatmu lebih jelas," gumam Arian, mengusap helai rambut yang menempel di pipi Nazharina.Sebelum Nazharina bisa membalas, Arian kembali menunduk, mencium bibirnya perl
“Bagaimana kalau aku hamil?”“Kalau kau hamil,” katanya akhirnya, “aku akan bertanggung jawab. Karena memang itu sudah seharusnya.”Nazharina menyipitkan mata. “Seperti apa bentuk tanggung jawab itu?”Arian terdiam lagi. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terlalu besar untuk keluar begitu saja. Ia ingin melamar Nazharina, tentu saja. Tapi bukan seperti ini. Ia ingin momen yang layak, waktu yang tepat, dan—yang terpenting—hati Nazharina yang benar-benar telah kembali padanya.“Kalau itu terjadi... kita akan pikirkan bersama,” jawabnya perlahan.Nazharina mendesah pelan. Kemudian ia merebahkan kepalanya kembali di dada Arian. “Aku rindu bekerja,” ujarnya. “Aku ingin kembali masuk kerja. Aku tak bisa terus seperti ini.”Arian menautkan jari-jarinya dengan jari Nazharina, menggenggamnya kuat. “Kau tak perlu bekerja lagi, Nazh. Aku akan menjagamu seumur hidup.”“Tapi aku tetap ingin bekerja. Aku butuh rutinitasku kembali. Dan aku ingin pulang ke rumahku.”
Begitu tiba di kamar, Arian meletakkan Nazharina di ranjang. “Nakal sekali. Karena berani mencoba kabur, hari ini kau dapat hukuman.” Nazharina memelototinya. “Apa? Apa maumu, Arian?” Arian menyeringai penuh kemenangan. “Pakai baju paling seksi yang kuberikan... dan menari di hadapanku nanti malam.” Nazharina membeku. “Apaaa?!” “Anggap saja ini pembelajaran,” gumam Arian, sambil melepas dasinya perlahan. “Agar kau tidak pernah berpikir untuk kabur lagi.” “Kau gila!” “Mungkin... tapi aku hanya… mencintaimu dengan cara yang egois. Untuk saat ini.” Nazharina memukul dadanya pelan, tapi tidak menolak saat Arian mendorongnya perlahan kembali ke kasur, tubuhnya membungkus tubuh mantan istrinya itu dengan hangat. “Berapa lama cutiku sebenarnya, Tuan Pemilik Dunia?” Arian tersenyum di lehernya. “Minimal sampai aku puas.” “Dan kapan itu akan terjadi?” Ia menjawa
“Nazharina mengambil cuti seminggu.”Kinoshita terdiam. Matanya menyipit curiga. “Cuti… seminggu?”“Ya,” jawab Arian cepat, lalu menambahkan, “atas permintaan pribadi.”Dari arah belakang, Maxime muncul membawa map, lengkap dengan setelan navy-nya yang rapi seperti biasa. “Cuti seminggu?” ulangnya, mendekat dengan alis terangkat. “Sejak kapan kau menjadi HR, Arian?”Arian melirik Maxime dengan muka susah payah menahan senyum. “Sudah kuatur langsung. Tidak perlu khawatir, semua tugasnya sudah aku delegasikan ke tim.”Maxime menatapnya dalam diam sejenak, lalu menoleh ke Kinoshita. “Kau tidak penasaran kenapa Nazharina bisa-bisanya ‘menghilang’ di minggu yang justru sibuk ini?”Kinoshita menoleh cepat. “Ya! Itu juga pertanyaanku!”Arian menarik napas, lalu berjalan ke lift. “Nazharina sedang… istirahat. Dia butuh waktu.”Maxime mengikutinya, meninggalkan Kinoshita yang masih tak percaya sahabatnya cuti mendadak. “Istirahat dari apa?