Share

Bab 1. Gantengnya Bos Baru

Raika memasuki ruang kerjanya ketika Hani, rekan satu ruangannya sedang menerima telepon. Gadis itu hanya menyapa Hani lewat tangan dan berderap menuju meja kerjanya. Raika duduk dan menyimpan ranselnya di bawah meja.

Hani menutup telepon yang ada di ruangan mereka dan menatap Raika.

“Ka, Bu Dina bakal telat datang katanya, soalnya kudu ke kantor pajak dulu. Terus, Bu Dina minta faktur minggu kemarin ke lo,” ujar Hani menyampaikan pesan Bu Dina.

“Oke. Siap, Teh,” sahut Raika seraya mengacungkan jempolnya.

“Oh iya, besok BM yang baru datang. Lo nggak lupa, kan?”

“Nggak dong, Teh. Apalagi pas tahu kalau yang jadi BMnya cucu yang punya PDP,” jawab gadis itu.

PDP atau PT. Perdana Djaya Persada adalah perusahaan distributor mesin untuk beberapa brand luar ternama. Fokusnya, mereka memperjualbelikan produk luar secara resmi seperti, mesin fotocopy, mesin spanduk, dan  mesin cetak. Kantor pusatnya bergerak di Jakarta, sementara Raika bekerja di kantor cabang yang terletak di kota Bandung.

Dan saat ini kantor cabang Bandung akan kedatangan Branch Manager baru, setelah Branch Manager sebelumnya pensiun. Selama sebulan ini kantor cabang Bandung ditangani sementara oleh Manager Regional.

Barulah seminggu yang lalu terdengar kabar jika Branch Manager baru akan mulai bekerja besok. Namun, berita yang mengejutkannya adalah Branch Manager baru mereka adalah salah satu cucu pemilik PDP. Bukan hal aneh sebenarnya untuk sebuah perusahaan turun temurun seperti PDP. Direktur perusahaan mereka adalah anak pemilik PDP, begitu juga untuk manager kantor pusat di Jakarta yang dibawahi oleh salah satu cucu pemilik PDP.

“Kepo dong, Teh. Orangnya kayak gimana?”

Hani menimbang-nimbang jawaban untuk Raika, seperti mencari kalimat yang tepat.

“Yang pasti dia bakal bikin lo nggak bisa berkata-kata.” Itulah jawaban Hani.

Raika yang tidak mengerti hanya bisa berkata, “Hah? Gimana, Teh?”

***

Hani tertawa kecil melihat ekspresi melongo Raika.

“Lo tahu kan kalau keluarga Pak Ahmad itu produk high quality semua,” jabar Hani dengan memuji keluarga pemilik PDP. “Gue aja hampir tergoda sama salah satu cucu Pak Ahmad kalau kagak inget anak sama laki gue,” gurau wanita berambut sebahu itu setengah tertawa.

“Teteh ih, serius,” protes Raika setengah merajuk.

Sorry, sorry. Gimana, ya. Selama gue kenal sama dia sih, orangnya cukup asik. Cuma untuk yang belum kenal mungkin ngiranya dia ini agak jutek aja orangnya, sama pendiem gitu,” imbuh Hani untuk BM baru mereka. “Dan biarpun dia cucunya Pak Ahmad yang punya ni perusahaan, tapi dia nggak arogan. Eh, semua keluarganya juga nggak ada yang begitu, sih. Pak Direktur aja orangnya humble banget sama karyawan.”

Raika menganggukkan kepalanya. Sebelumnya Raika pernah melihat calon  BM ini dari foto yang pernah ditunjukkan oleh Hani. Ketika di kantor pusat dulu Hani cukup dekat dengan calon BM mereka. Wajah lelaki itu tampan karena memiliki wajah keturunan setengah Timur-Tengah.

“Aku jadi nyesel deh nggak pernah bisa ikut acara tahunan PDP,” keluh Raika. “Padahal aku pengen tahu gimana wajah mereka secara langsung gitu, Teh.”

 “Nanti juga ‘kan lo bakal ketemu sama salah satunya. Puas-puasin deh, lo liatin  wajahnya,” ucap Hani blak-blakan.

“Ya, nggak gitu juga kali, Teh,” timpal Raika tertawa kecil.

Hani ikut tertawa. “Lagian lo nggak bisa ikut juga bukan ke pengen lo sendiri,” hibur Hani agar gadis itu tidak terlalu merasa sedih.

“Tapi kadang sebel aja gitu Teh Han, mau pergi kemana-mana masih diatur,” ucap Raika setengah lesu.

“Ya, namanya juga jadi kesayangan,” ujar Hani setengah mengolok dengan senyum usil.

“Ih, Teh Hani mah malah nyindir,” Gadis itu merengut seraya mengambil berkas di meja kerjanya. Lalu gadis itu teringat sesuatu. “Eh, by the way Teh, ini yang Sinar Jaya untuk sparepartnya kemarin nggak jadi, kan?”

“Iya kagak jadi. Udah gue konfirm ke gudang juga dan sparepartnya udah dibalikin kemarin sama si Roni,” jelas Hani yang diiyakan oleh Raika.

Keduanya masih melanjutkan obrolan sambil memulai pekerjaan yang menanti. Satu jam kemudian Bu Dina, atasan keduanya memasuki ruangan. Setelah berbasa-basi sebentar ketiganya kembali pada pekerjaan masing-masing.

***

Menjelang istirahat pintu ruangan ketiganya diketuk oleh seseorang. Ketiga orang di ruangan itu menoleh dan menyapa orang tersebut.

“Kenapa, Rud?” tanya Hani seraya membereskan pekerjaannya.

“Mau ikut makan siang bareng saya, nggak?” tanya balik lelaki itu, Rudi, Supervisor Teknisi. “Aidan lagi ada di BIP.”

Hani dan Bu Dina menampakan wajah terkejut, sementara Raika menampakan wajah bingung. Namun, beberapa saat kemudian wajahnya ikut terkejut bersamaan. Aidan kan nama BM baru mereka alias cucu dari pemilik PDP.

“Lah, ngapain dia di BIP?” tanya Hani setelah rasa terkejutnya hilang. “Dia kan baru kerja besok.”

Rudi mengangkat bahunya. “Jadi, mau ikut, nggak? Saya sih bilangnya mau ngajak kalian juga dan dia setuju.”

“Mau atuh. Udah lama saya nggak ketemu Aidan,” sahut Bu Dina. Perempuan 40 tahun itu menoleh ke arah Raika. “Makan siangnya jadi di BIP nggak apa-apa kan, Neng?”

Dengan ragu Raika menganggukan kepalanya. Gadis itu tidak masalah makan di mana saja. Tapi, makan bersama BM baru sepertinya akan menjadi hal yang cukup mendadak untuknya. Karena untuk pertama kalinya gadis itu akan bertemu dengan sosok yang selama ini hanya ia lihat lewat foto.

Perjalanan singkat menuju restoran yang berada di dalam mall tersebut, membuat Raika membayangkan bagaimana cara menyapa BM baru mereka. Berbagai skenario ia bayangkan, mulai dari bersikap sangat sopan hingga sesantai mungkin. Raika tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ini pertama kalinya Raika akan bertemu dengan salah satu orang penting di PDP.

Monolog di kepala Raika yang berkelana harus pecah karena Rudi berkata, “Itu Aidan.” Lelaki itu menghampiri Aidan bersama Hani, Bu Dina, dan Raika.

Rudi memanggil Aidan setengah berteriak sehingga lelaki yang sedang memainkan ponselnya itu menengadahkan kepalanya. Melihat siapa yang datang Aidan berdiri dan menyambut ketiganya dengan senyum tipis. Lelaki itu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Rudi yang pertama kali menghampiri Aidan dan bersalaman ala pria. Disusul oleh Hani yang terlihat senang bertemu kembali dengan Aidan dan Bu Dina yang bersikap lebih santai pada Aidan. Lalu lelaki itu melihat sosok asing di antara mereka bertiga. Dan dengan sigap Hani segera memperkenalkan keduanya.

“Oh iya, dia Raika. Admin baru di PDP Bandung. Dia masuk setelah lo balik ke Jakarta,” tutur Hani.

Raika maju beberapa langkah supaya lebih dekat dengan lelaki itu. Entah kenapa Raika merasa begitu gugup. Apa itu karena dia bertemu dengan salah satu orang penting di PDP atau karena lelaki yang ada di depannya ini ternyata sangat tampan?

Ya Allah, kirain cuma cakep doang. Ini mah dia cakeeppp banget!!! Mirip Zayn Malik ini mah wajahnya!!

Raika tanpa sadar menatap Aidan dengan lekat. Dari foto lelaki ini tampannya biasa saja, tapi lihatlah ketika Raika berhadapan langsung dengannya. Gadis itu menjadi tak bisa berkutik.

Tangan yang lebih besar darinya itu begitu kokoh digenggamannya. Memang ya, bibit unggul itu tidak pernah main-main hasilnya. Lihatlah lelaki ini, tubuhnya tinggi dengan badan yang ramping, wajah setengah Timur-Tengahnya begitu menarik perhatian, dagu tajam dengan sedikit janggut dan jambang tipis yang menghiasi wajahnya. Lekuk mata yang dalam dan alis tebal itu menambah poin ketampanan lelaki ini.

“Maaf, ada yang salah dengan wajah saya?” tanya Aidan membuat Raika tersadar.

“O-Oh, nggak ada, Pak. Maaf. Salam kenal, Pak. Saya Raika.” Gadis itu mencoba bersikap cool untuk menutupi rasa malunya yang sudah hampir menjalar ke pipinya. Kenapa pada perkenalan pertama ini Raika malah bersikap memalukan seperti ini?

Salahkan wajah tampan di depannya ini. Baru beberapa detik bertemu sudah bisa membuat jantung Raika berdegup kencang. Raika merasa seperti diserang cinta pada pandangan pertama.

Pokoknya kita nggak akan nikah sebelum Adek nikah duluan!”

Ah, sial!

Kenapa di saat seperti ini ingatan itu malah terngiang kembali di kepalanya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status