Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.
Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.
Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.
Meski ayah mereka memberi ultimatum, tapi Raika sampai saat ini tidak pernah benar-benar memiliki gebetan atau pacar. Mengingat janji itu, Raika merasa harus berhati-hati dalam mencari pasangan.
“Pemikiran kakak-kakak kamu tuh emang nggak ada yang bisa nandingin sih, Ka,” ujar Khalif, sahabat kecil Raika ketika dirinya curhat tentang janji ketiga kakaknya.
Kiran, sahabat lain Raika, mengangguk dan berkata, “Kamu sendiri ada kandidat yang potensial, nggak?”
Raika terdiam sejenak untuk berpikir. Beberapa detik kemudian perempuan itu mengangguk seraya tersenyum.
“Siapa?” tanya kedua sahabatnya antusias.
“Abang Shun Oguri,” jawab Raika dengan seringai jahilnya. Membuat kedua sahabatnya mendesis kesal dan mengejeknya.
Raika tertawa meski dalam hatinya merasa tertindih beban yang sangat berat. Entah siapa lelaki itu, Raika hanya bisa berharap dia adalah lelaki yang bisa menaklukkan ketiga kakaknya.
***
Raika menggeleng pelan kepalanya supaya tak disadari oleh keempat orang yang ada di sana. Inilah yang membuat Raika tidak bisa sembarangan mencari lelaki. Ingatan janji ketiga kakaknya selalu muncul tiap kali Raika bertemu lelaki. Siapapun itu.
Uluran tangan Raika disambut oleh Aidan. “Saya Aidan. Salam kenal juga,” balas lelaki itu dengan ramah, namun terkesan sedikit dingin. Pikiran itu coba Raika enyahkan. Mungkin hanya perasaannya saja.
Raika terlebih dahulu melepas jabat tangan tersebut. Berjabat tangan lama-lama hanya akan membuat jantungnya tidak sehat.
Oh iya, untuk ukuran wajah, ketampanan ketiga kakaknya sedikit kalah dengan Aidan. Namun, untuk tinggi badan sepertinya Aidan sedikit lebih pendek dari kedua kakaknya, Rasya dan Rama. Apalagi postur tubuh kakak keduanya yang lebih berotot dibanding Aidan.
Lah, kenapa aku jadi bandingin dia sama mereka, ya? ujar Raika dalam hati tidak mengerti. Perempuan itu menggeleng pelan kepalanya lagi.
Aidan mempersilakan ketiganya untuk duduk. Raika sengaja memilih duduk di sisi kanan, Bu Dina di tengah, dan Hani di sisi lainnya. Rudi sendiri duduk bersebelahan dengan Aidan. Obrolan seputar Aidan pun menjadi bahasan utama mereka setelah semua pesanan makanan dibawa oleh pelayan.
“Lo kapan nyampe Bandung?” tanya Hani dengan antusias. Perempuan itu terlihat senang bertemu Aidan kembali. Itu karena sewaktu di kantor pusat Hani cukup dekat dengan Aidan sebelum dirinya dipindahkan ke cabang Bandung.
“Tadi malam sekitar jam sembilanan,” jawab Aidan. “Padahal saya pergi dari siang, tapi ternyata jalanan di Jakarta emang nggak bisa diprediksi.”
“Mau tengah malem juga jalanan di Jakarta mah nggak akan sepi,” komentar Hani yang pernah menjadi warga Jakarta. “Jadinya lo nyewa apartemen?”
Aidan mengangguk. “Iya, minggu lalu saya udah bayar sewanya untuk enam bulan dulu. Kalau betah saya mungkin akan pertimbangkan lagi untuk nambah sewanya.”
Percakapan yang cukup meriah itu hanya bisa didengarkan oleh Raika sebagai orang baru. Selain dirinya masih malu karena insiden tadi, Raika tidak mau dianggap sok akrab. Hanya sesekali gadis itu menjawab jika salah satu dari teman kantornya memberitahu hal yang berkaitan dengan perusahaan.
Selebihnya gadis itu hanya menjadi pendengar yang baik. Raika tidak mau nimbrung dalam obrolan yang tidak ia ketahui. Apalagi Raika baru pertama kali bertemu dengan atasannya ini, setidaknya Raika ingin memberi kesan yang baik.
***
Selang dua puluh menit kemudian makanan yang mereka pesan datang. Dua ayam goreng kremes, dua bebek goreng kremes, dan satu nasi goreng lada hitam. Kelimanya makan dengan lahap seraya mengobrol ringan.
Raika yang tidak terlalu ikut dalam obrolan fokus dengan makanannya. Gadis itu menikmati ayam goreng kremesnya. Apalagi dengan sambel dadak yang pedas-pedas sedap membuat nafsu makannya bertambah. Ekspresi makan gadis itu tak pelak menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh Aidan secara diam-diam.
“Anteng banget Neng makannya,” seloroh Rudi mulai menyadari Raika yang asyik makan sendiri.
“Dia kalau udah makan sama ayam goreng bakal lupa sama dunia,” cibir Hani membuat Raika yang masih mengunyah makanannya hanya bisa protes lewat bola matanya yang membesar. “Udah sana lanjut aja, anggap kita nggak ada.”
“Nggak gitu, Teh,” kilah Raika malu setelah makanannya turun ke tenggorokan.
Perempuan itu menoleh pada Aidan yang sedang tersenyum melihatnya. Baru bertemu sudah membuat malu dua kali. Ah, Hani menghancurkan imagenya. Lagian kenapa juga ayam ini begitu enak? Fix, ini salah ayam goreng kremesnya. Mau memberi kesan yang baik? Hah, kesan yang baik dari Hongkong!
“Maaf, ya, Pak.” Gadis itu meminta maaf pada Aidan. “Saya nggak begitu kok, tapi ayam goreng ini emang enak,” ujar gadis itu sungkan dan jujur sekaligus.
Aidan akhirnya tertawa kecil mendengar permintaan maaf Raika yang lucu. Gadis itu meminta maaf karena menikmati makanannya yang lezat. Entah di mana salahnya, tapi Aidan menerima permintaan maaf tersebut.
“Nggak apa-apa. Saya malah senang kamu menikmati makanannya,” balas Aidan yang sudah menyelesaikan makannya. “Makanan enak itu memang harus dinikmati dan disyukuri.”
“Betul itu, nggak apa-apa kok, Neng. Ibu juga pengennya mah nambah, tapi malu.” Kalimat jenaka Bu Dina tersebut sedikit mereduksi rasa malu Raika.
Suara tawa memenuhi meja makan mereka. Semua kini menyuruh Bu Dina untuk menambah porsi, tetapi ditolak Bu Dina dengan alasan dirinya sedang diet. Yang tentu saja malah menjadi bahan ledekan Hani.
Raika yang tertawa karena perseteruan Hani dan Bu Dina kembali menjadi perhatian kecil Aidan. Sudut mata lelaki itu menciptakan kombinasi senyum tipis di bibirnya karena melihat tawa Raika. Sebuah lesung pipi tercetak manis di pipi kanan gadis itu.
Tanpa keduanya sadari, itulah awal dari sebuah kisah cinta, penolakan, sebuah restu, dan keikhlasan menerima.
***
Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri. Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy. Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla. Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya
Meski hampir satu bulan Aidan memimpin PDP Bandung, Raika masih belum terbiasa dengan keberadaan atasannya itu. Selain karena kejadian di restoran masih membuatnya malu. Raika pun belum bisa menatap Aidan secara langsung lebih dari lima detik. Wajah tampan lelaki itu sering membuat Raika lupa diri.Aidan memang bersikap seperti biasa, tidak pernah menggoda Raika apalagi bersikap genit. Aidan cenderung tenang dan kalem. Tapi, entah kenapa terkadang Raika merasa jika Aidan sering memperhatikannya. Apalagi jika lelaki itu sedang berada di ruangannya untuk membahas pekerjaan bersama Hani.Bukannya ge-er, tapi itulah yang dirasakannya selama hampir dua minggu ini. Terkadang terlintas di pikiran perempuan itu, apakah Aidan tahu sikapnya yang selalu menghindari lelaki itu? Hingga Aidan sengaja memperhatikannya dan sering mengajaknya bicara. Apa jangan-jangan itu sebagai sebuah penilaian Aidan pada pegawainya?Ah, harusnya Raika bersikap lebih baik lagi, bukan?