Share

Bab 2. Malu-maluin Aja

Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.

Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.

Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.

Meski ayah mereka memberi ultimatum, tapi Raika sampai saat ini tidak pernah benar-benar memiliki gebetan atau pacar. Mengingat janji itu, Raika merasa harus berhati-hati dalam mencari pasangan.

“Pemikiran kakak-kakak kamu tuh emang nggak ada yang bisa nandingin sih, Ka,” ujar Khalif, sahabat kecil Raika ketika dirinya curhat tentang janji ketiga kakaknya.

Kiran, sahabat lain Raika, mengangguk dan berkata, “Kamu sendiri ada kandidat yang potensial, nggak?”

Raika terdiam sejenak untuk berpikir. Beberapa detik kemudian perempuan itu mengangguk seraya tersenyum.

“Siapa?” tanya kedua sahabatnya antusias.

“Abang Shun Oguri,” jawab Raika dengan seringai jahilnya. Membuat kedua sahabatnya mendesis kesal dan mengejeknya.

Raika tertawa meski dalam hatinya merasa tertindih beban yang sangat berat. Entah siapa lelaki itu, Raika hanya bisa berharap dia adalah lelaki yang bisa menaklukkan ketiga kakaknya.

***

Raika menggeleng pelan kepalanya supaya tak disadari oleh keempat orang yang ada di sana. Inilah yang membuat Raika tidak bisa sembarangan mencari lelaki. Ingatan janji ketiga kakaknya selalu muncul tiap kali Raika bertemu lelaki. Siapapun itu.

Uluran tangan Raika disambut oleh Aidan. “Saya Aidan. Salam kenal juga,” balas lelaki itu dengan ramah, namun terkesan sedikit dingin. Pikiran itu coba Raika enyahkan. Mungkin hanya perasaannya saja.

Raika terlebih dahulu melepas jabat tangan tersebut. Berjabat tangan lama-lama hanya akan membuat jantungnya tidak sehat.

Oh iya, untuk ukuran wajah, ketampanan ketiga kakaknya sedikit kalah dengan Aidan. Namun, untuk tinggi badan sepertinya Aidan sedikit lebih pendek dari kedua kakaknya, Rasya dan Rama. Apalagi postur tubuh kakak keduanya yang lebih berotot dibanding Aidan.

Lah, kenapa aku jadi bandingin dia sama mereka, ya? ujar Raika dalam hati tidak mengerti. Perempuan itu menggeleng pelan kepalanya lagi.

Aidan mempersilakan ketiganya untuk duduk. Raika sengaja memilih duduk di sisi kanan, Bu Dina di tengah, dan Hani di sisi lainnya. Rudi sendiri duduk bersebelahan dengan Aidan. Obrolan seputar Aidan pun menjadi bahasan utama mereka setelah semua pesanan makanan dibawa oleh pelayan.

“Lo kapan nyampe Bandung?” tanya Hani dengan antusias. Perempuan itu terlihat senang bertemu Aidan kembali. Itu karena sewaktu di kantor pusat Hani cukup dekat dengan Aidan sebelum dirinya dipindahkan ke cabang Bandung.

“Tadi malam sekitar jam sembilanan,” jawab Aidan. “Padahal saya pergi dari siang, tapi ternyata jalanan di Jakarta emang nggak bisa diprediksi.”

“Mau tengah malem juga jalanan di Jakarta mah nggak akan sepi,” komentar Hani yang pernah menjadi warga Jakarta. “Jadinya lo nyewa apartemen?”

Aidan mengangguk. “Iya, minggu lalu saya udah bayar sewanya untuk enam bulan dulu. Kalau betah saya mungkin akan pertimbangkan lagi untuk nambah sewanya.”

Percakapan yang cukup meriah itu hanya bisa didengarkan oleh Raika sebagai orang baru. Selain dirinya masih malu karena insiden tadi, Raika tidak mau dianggap sok akrab. Hanya sesekali gadis itu menjawab jika salah satu dari teman kantornya memberitahu hal yang berkaitan dengan perusahaan.

Selebihnya gadis itu hanya menjadi pendengar yang baik. Raika tidak mau nimbrung dalam obrolan yang tidak ia ketahui. Apalagi Raika baru pertama kali bertemu dengan atasannya ini, setidaknya Raika ingin memberi kesan yang baik.

***

Selang dua puluh menit kemudian makanan yang mereka pesan datang. Dua ayam goreng kremes, dua bebek goreng kremes, dan satu nasi goreng lada hitam. Kelimanya makan dengan lahap seraya mengobrol ringan.

Raika yang tidak terlalu ikut dalam obrolan fokus dengan makanannya. Gadis itu menikmati ayam goreng kremesnya. Apalagi dengan sambel dadak yang pedas-pedas sedap membuat nafsu makannya bertambah. Ekspresi makan gadis itu tak pelak menjadi salah satu hal yang diperhatikan oleh Aidan secara diam-diam.

“Anteng banget Neng makannya,” seloroh Rudi mulai menyadari Raika yang asyik makan sendiri.

“Dia kalau udah makan sama ayam goreng bakal lupa sama dunia,” cibir Hani membuat Raika yang masih mengunyah makanannya hanya bisa protes lewat bola matanya yang membesar. “Udah sana lanjut aja, anggap kita nggak ada.”

“Nggak gitu, Teh,” kilah Raika malu setelah makanannya turun ke tenggorokan.

Perempuan itu menoleh pada Aidan yang sedang tersenyum melihatnya. Baru bertemu sudah membuat malu dua kali. Ah, Hani menghancurkan imagenya. Lagian kenapa juga ayam ini begitu enak? Fix, ini salah ayam goreng kremesnya. Mau memberi kesan yang baik? Hah, kesan yang baik dari Hongkong!

“Maaf, ya, Pak.” Gadis itu meminta maaf pada Aidan. “Saya nggak begitu kok, tapi ayam goreng ini emang enak,” ujar gadis itu sungkan dan jujur sekaligus.

Aidan akhirnya tertawa kecil mendengar permintaan maaf Raika yang lucu. Gadis itu meminta maaf karena menikmati makanannya yang lezat. Entah di mana salahnya, tapi Aidan menerima permintaan maaf tersebut.

“Nggak apa-apa. Saya malah senang kamu menikmati makanannya,” balas Aidan yang sudah menyelesaikan makannya. “Makanan enak itu memang harus dinikmati dan disyukuri.”

“Betul itu, nggak apa-apa kok, Neng. Ibu juga pengennya mah nambah, tapi malu.” Kalimat jenaka Bu Dina tersebut sedikit mereduksi rasa malu Raika.

Suara tawa memenuhi meja makan mereka. Semua kini menyuruh Bu Dina untuk menambah porsi, tetapi ditolak Bu Dina dengan alasan dirinya sedang diet. Yang tentu saja malah menjadi bahan ledekan Hani.

Raika yang tertawa karena perseteruan Hani dan Bu Dina kembali menjadi perhatian kecil Aidan. Sudut mata lelaki itu menciptakan kombinasi senyum tipis di bibirnya karena melihat tawa Raika. Sebuah lesung pipi tercetak manis di pipi kanan gadis itu.

Tanpa keduanya sadari, itulah awal dari sebuah kisah cinta, penolakan, sebuah restu, dan keikhlasan menerima.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status