Share

Bab 3. Kesan Itu Penting, nggak, sih?

Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri.

Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy.

Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla.

Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati oleh Aidan. Lalu ruang satunya berada tepat di seberang ruangan Rudi yang dipakai sebagai ruang rapat.

“Saya balik ke ruangan, ya,” ujar Rudi pada ketiganya.

Rudi pun meninggalkan ketiga wanita yang kini memasuki ruangannya. Ketiganya duduk di kursi masing-masing.

“Gimana Neng setelah ketemu Aidan?” tanya Bu Dina pada Raika sebelum melanjutkan pekerjaannya.

“Baik sih, Bu. Pas ngobrol juga lumayan seru, tapi kayak agak dingin, ya orangnya,” jawab Raika sedikit meringis karena takut salah bicara.

 “Dari dulu dia mah punya kelakuan anyep gitu,” komentar Hani membuka kembali pekerjaannya. “Tapi lama-lama juga nggak, kok.”

“Iya, Neng. Tapi kadang kalau yang cakep gitu, sikapnya dingin teh malah bikin penasaran,” seloroh Bu Dina membuat Hani tertawa.

“Tapi tadi saya konyol banget nggak, sih? Nggak sopan makan kayak begitu di depan Pak Aidan.” Wajah Raika kembali murung mengingat kejadian di restoran tadi. “Belum lagi saya bengong pas salaman sama Pak Aidan.”

***

Raika menatap Hani dan Bu Dina bergantian. Mencoba mencari jawaban dari kedua rekan kerjanya itu.

Hani mengibaskan tangannya tidak peduli. “Santai aja, Aidan bukan orang yang ribet kok. Dan gue ngerti kenapa lo sampe bengong gitu. Cakep banget kan tuh orang?” tembak Hani membuat Raika sedikit malu, namun akhirnya gadis itu menganggukan kepalanya.

Bu Dina pun ikut tersenyum. “Nggak usah malu ngakuinnya, Neng. Ibu juga kalau lebih muda dikit mau aja sama Aidan,” guraunya mendapat tawa dari kedua bawahannya.

   “Tapi malu, Bu. Baru ketemu udah ngasih kesan jelek,” tukas Raika.

  “Udah tenang aja, lagian Aidan juga nggak kan mikirin hal begitu. Bukan orang yang bakal nyindir-nyindir karena cara makan lo,” tutur Hani mencoba menenangkan Raika. “Dan gue yakin Aidan juga bakal lupa sama terpesonanya lo tadi ama dia,” tambahnya.

“Iya, deh, kalau gitu. Aku coba lupain,” ucap Raika.

“Tapi tuh orang emang cakep banget, nggak sih? Dia kalau jadi artis juga bakal laku kalau kata gue,” ujar Hani yakin.

“Iya, Teh. Aku sampe mikir mukanya kayak Zayn Malik. Udah kayak ketemu artis aja aku tuh tadi,” puji Raika tidak mencoba menyembunyikannya.

“Hati-hati nanti jatuh cinta, Neng,” tutur Bu Dina menggoda Raika.

Raika segera mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan ke kanan.

“Beda level, Bu,” balas Raika merendah. “Masa saya yang begini berani cinta-cintaan ke Pak Aidan.”

“Lah, kalau namanya jodoh siapa yang tahu, ya, Bu?” ujar Hani yang disetujui oleh Bu Dina.

“Aduh, Teh, asli deh kayaknya nggak mungkin banget terjadi,” sanggah Raika penuh keyakinan.

***

 Sesampainya di rumah Raika langsung menuju kamarnya. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu seraya menghela napasnya. Gadis itu masih merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri. Kenapa sikapnya bisa seceroboh itu pada orang yang baru ditemuinya. Apalagi dia adalah bos barunya di kantor.

“Hiks… Malu-maluin banget, sih,” gumam Raika seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Kenapa, Dek?” Suara berat menginterupsi membuat Raika melepaskan tangannya.

“Oh, nggak apa-apa, Kak. Cuma agak cape aja tadi di Cimindi agak macet,” jawabnya bohong pada sang kakak sulung, Rasya.

“Kakak ambilin minum dulu, ya untuk Adek.” ujar lelaki 32 tahun itu seraya melangkah menuju dapur.

“Eh, nggak usah, Kak.” Raika setengah berdiri, namun Rasya mendudukannya lagi di ranjang.

“Udah Adek istirahat dulu, biar Kakak yang ambilin minum.”

Rasya pun meninggalkan Raika menuju dapur. Untuk beberapa saat Raika kembali teringat janji ketiga kakaknya ketika berkenalan dengan Aidan tadi. Lagi-lagi Raika menghela napas pelan.

Ketiga kakaknya memang begitu perhatian, melindungi, dan menyayanginya. Apapun keinginan Raika pasti dikabulkan, meski kadang ada beberapa hal yang sulit diwujudkan. Namun, jika hal tersebut berhubungan dengan laki-laki, tidak ada kata setuju dalam kamus ketiganya.

Bahkan pacar pertamanya saat kuliah saja harus merasakan bogeman mentah kakak keduanya karena mereka ketahuan berpegangan tangan. Yang menyebabkan Raika masuk daftar hitam dalam incaran laki-laki di kampusnya.

“Ini Dek, minumnya,” Rasya menyodorkan gelas berisi sirup jeruk dingin untuk adiknya.

Raika tersenyum kala menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

“Seger bangettt!” ujar gadis itu girang. “Kakak tumben udah pulang?” tanya Raika.

“Tadi kakak dinas luar, terus langsung pulang,” jawab Rasya.

Raika hanya ber-oh ria dan kembali meneguk minumannya. Kali ini minuman itu dihabiskannya.

“Sini gelasnya Kakak bawa.” Raika menyerahkan gelas tersebut pada kakaknya. “Kakak ke bawah lagi, ya. Adek juga mandi gih, biar badannya seger lagi.”

Raika menganggukan kepalanya dan Rasya pun keluar dari kamar gadis itu.

Setelah Rasya pergi pikiran Raika kembali menerawang. Wajah tampan Aidan kembali memasuki pikirannya. Bagaimana Raika akan bekerja nanti jika wajah tampan itu akan selalu berseliweran setiap harinya? Apalagi Raika sudah memberi kesan memalukan pada Aidan. Mana mungkin lelaki itu akan suka pada-

“Eh, kok malah mikir ke situ sih?” tanyanya terkejut pada diri sendiri. Dengan cepat Raika menggelengkan kepalanya dan menepuk pelan pipinya. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Inget, Ka! Dia itu atasan kamu, udah gitu cucu konglomerat lagi. Lagian cowok cakep gitu pasti udah punya pacar. Jangan ngehalu. Mending cari yang normal-normal aja.” Sesaat kemudian gadis itu menurunkan bahunya lemah.

“Jangankan mau dapetin cowok cakep dan kaya. Baru dapet kenalan aja udah kena ancaman duluan.”

Dan lagi-lagi Raika menghela napas.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status