Alana berbalik dan mendapati mimpi buruknya menjelma di hadapannya. “A-aku ... ““Siapa yang mengizinkanmu masuk kemari?!” Braden menatapnya dengan penuh amarah.Alana tidak tahu mengapa pemuda itu selalu saja berjalan tanpa suara. Hal itu selalu saja membuatnya terkejut. Apalagi memang sebelumnya Alana dengan sengaja membiarkan pintu kamar tetap terbuka, sehingga Braden bisa masuk tanpa dia ketahui sebelumnya.“Dan siapa yang memperbolehkanmu menyentuh barang-barangku?” Braden menyambar bingkai foto yang masih dipegang oleh gadis itu. “Keluar dari kamarku!”“Maafkan aku.” Alana mencari-cari keranjang baju yang tadi dibawanya.“Ku bilang keluar! Keluar sekarang juga!” Kali ini Braden menarik lengan Alana dan mendorongnya keluar untuk kemudian membanting pintu menutup tepat di depan wajah gadis itu. Alana terbelalak ngeri dengan apa yang terjadi.Dia tidak menyangka Braden akan kembali secepat itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri yang mempunyai rasa ingin tahu sehingga berada di k
Braden mengancingkan resleting jaketnya dan menuruni tangga menuju lantai satu. Liburan telah berakhir dan dia harus kembali pada rutinitasnya sebagai mahasiswa. Braden mlirik jam tangannya. Pukul setengah sembilan pagi, masih satu jam sebelum kuliah dimulai.“Braden, tolong bawa Lana sekalian, ya. Pak Darmo sedang antar Om Steve ke bandara, jadi Lana tidak ada yang antar.” Kata Sherly yang tiba-tiba muncul.Pak Darmo adalah sopir di rumah itu, yang juga merangkap sebagai tukang kebun.“Dia kan bisa berangkat sendiri, Ma. Atau Mama saja yang antar,” jawab Braden.“Ya kan sekalian. Jadwal kuliah kalian kan sama hari ini. Tempat tujuan kalian juga sama. Jadi kenapa harus berangkat sendiri-sendiri? Lagi pula Lana kan masih baru di kota ini. Dia masih belum familier dengan jalanan di sini.”“Tidak bisa. Aku harus jemput teman.”“Teman yang mana? Jangan bohong kamu. Kamu kan tidak pernah jemput teman,” kata Sherly dengan tatapan menyelidik.“Aku tidak bohong, Ma. Untuk apa aku bohong?” Bra
Seperti kesepakatan, ketika berada di kampus Alana tidak pernah repot-repot menyapa saat bertemu dengan Braden. Dia juga bersikap seolah tidak mengenal pemuda itu. Dan Braden juga melakukan hal yang sama pada Alana.Sialnya, ternyata mereka berdua sering bertemu meski Alana sudah berusaha untuk menghindari hal itu.“Hei, lihat. Itu Kak Braden. Dia salah satu mahasiswa paling populer di jurusan kita.” Renata, teman yang baru dua jam terakhir dikenalnya, mencoba memberi tahu.“Oh, ya? Kenapa? Apa karena dia pintar?” tanya Alana sambil mengamati Braden yang berada di ujung lorong.“Tentu saja karena dia sangat tampan.”“Tampan? Dia?” tanya Alana keheranan, sejenak dia mengamati pemuda itu.Apa kau bercanda? Batin Alana. Dilihat dari sudut mana pun dia hanya terlihat menyebalkan.“Tentu saja. Sayang sekali dia sangat sulit didekati. Jadi kau tidak perlu repot-repot mendekati yang satu itu. Dia hanya akan membuatmu patah hati.”Oh, tidak akan. Yang akan kulakukan justru sebaliknya.Dari ke
Hari sudah cukup siang saat Braden membuka mata. Dia tidak turun untuk sarapan, karena ingin tidur lebih lama. Sinar matahari menerobos sela-sela tirai yang tidak tertutup rapat, membuatnya mengernyitkan dahi saat seberkas sinar jatuh ke matanya yang terpejam.Braden selalu menghabiskan pagi akhir pekan dengan tidur, karena semalaman begadang atau pergi nongkrong bersama teman-temannya. Dia berguling miring dan mengerjapkan mata. Menggeliat untuk melemaskan otot lalu menguap.Setelah mandi singkat baru dia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Di dalam lemari penyimpanan makanan Braden mengambil sepotong roti bakar yang kini sudah dingin.Lalu sepotong ayam goreng yang dimakannya sambil berjalan ke arah kulkas untuk menuang segelas susu putih rendah kalori dari kotak karton. Braden mendapati rumah kosong dan sepi, tidak seperti biasanya.Ke mana orang-orang?Setelah menelan beberapa teguk susu dingin, Braden mulai mendapatkan kesadaran penuh. Dan samar-samar dia mendengar
Braden mencium aroma harum saat memasuki rumah. Aroma itu bahkan samar-samar sudah tercium dari halaman depan saat dia baru datang. Dan di dapur Braden mendapati ibunya dan Alana sedang berkutat dengan adonan krim. Mereka berdua mengenakan celemek berenda bermotif bunga-bunga yang feminim.Di atas kabinet terdapat berbagai bahan dan cetakan kue, membuat dapur terlihat berantakan. Sudah sangat lama Braden tidak melihat ibunya memanggang kue. Ada seloyang brownis yang baru saja dikeluarkan dari cetakan dan masih menguarkan aroma wangi mentega.Mungkin itu salah satu alasan ibunya sangat mendambakan anak perempuan. Ada seseorang yang bisa diajaknya memanggang kue dan berbagi resep. Bukannya anak lelaki yang gemar berbuat onar dan hanya akan membuatnya sakit kepala.“Braden, kamu sudah pulang?” Sherly melirik sekilas putranya dan kembali meneruskan pekerjaannya.“Heemm ... “ gumam Braden sebagai jawaban.Braden bertemu pandang dengan Alana dan gadis itu memalingkan wajah, berpura-pura sib
“Jadi, itu alasanmu tidak memberi tahu kami selama ini? Kau tidak ingin semua orang tahu bahwa kau memiliki seorang saudara tiri?” tanya Jonathan.Braden menatap ketiga orang temannya yang berbaring telentang di tempat tidur seperti paus terdampar setelah makan seperti orang kesurupan.“Padahal kalau aku punya adik seperti Alana, aku akan memamerkannya pada semua orang. Aku akan membuat semua orang iri,” timpal Fero.“Kalau kau tidak mau, biar Alana jadi adikku saja. Aku sama sekali tidak keberatan memiliki adik seperti dia.” David menanggapi sambil menyalakan televisi.“Kalian tidak tahu saja. Dia itu menyebalkan. Dan dia juga manipulatif. Dia menggunakan wajah polos dan lugunya untuk memikat semua orang. Lihat saja diri kalian. Baru juga bertemu, kalian sudah menyukainya.” Ucap Braden uring-uringan.“Itu karena dia begitu manis dan menyenangkan. Ayolah, buka matamu kawan. Kau terlalu membenci ayah tirimu, sehingga kau juga membenci Alana.” Kata David sambil memindah-mindah saluran t
Hari sudah hampir malam jadi Alana bergegas untuk pulang. Kuliahnya sudah selesai dari siang, tetapi ada tugas kelompok yang harus dia kerjakan bersama teman-temannya. Salah seorang teman menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun dia menolak karena tidak ingin merepotkan.Dia juga menolak dijemput karena tidak ingin merepotkan orang rumah. Alana membalas pesan masuk dari Sherly dan Adrian yang khawatir karena dia belum pulang hingga hampir malam.Ada juga tiga panggilan tak terjawab dari papanya. Alana tersenyum mengingat kekhawatiran mereka yang sedikit berlebihan.Saat dia sedang berjalan tiba-tiba sebuah mobil tipe hatchback berwarna putih melintas dan berhenti tepat di sampingnya. Dia terus saja melangkah sampai perlahan kaca pintu mobil terbuka dan menampakkan wajah David dan Fero yang berada di bagian kemudi.“Lana ... “ sapa mereka.“Ayo, masuklah. Biar aku antar kau pulang.” Kata Fero.“Ah, tidak usah, Kak. Biar aku naik ojek saja.” Tolak Alana dengan melambaikan tangan
Membuang sampah adalah tugas para lelaki di rumah itu. Semua sampah dari sepenjuru rumah dikumpulkan dalam sebuah bak sampah plastik besar beroda yang ditaruh di pekarangan sebelah dapur.Karena semua lelaki sedang tidak ada di rumah kecuali Braden, maka Mbok Ijah menyuruhnya untuk membuang sampah ke bak sampah di depan rumah karena kondisinya yang sudah penuh.Braden menarik kantung plastik besar berwarna hitam berisi sampah dan memindahkannya ke bak luar. Dia sedikit mengernyitkan hidung untuk menahan aroma tidak sedap yang menguar. Baru saja dia hendak berbalik saat sebuah mobil berwarna putih berhenti tidak jauh darinya.Dia mengenali mobil itu sebagai milik Fero, sahabatnya. Dia sampai harus melihat plat di bagian belakang mobil untuk memastikan hal itu. Tetapi Braden merasa heran karena mobil itu tidak langsung masuk ke halaman, seperti yang biasa teman-temannya lakukan saat berkunjung.Tidak lama kemudian dia melihat Alana keluar dari mobil tersebut. Dia terlihat was-was sepert