“Bagaimana kabar Ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?”Flo—pemilik toko kue tempat Shanaya bekerja tampak cemas dengan kondisi Nugroho. Sebagai seorang bos, wanita lajang itu sebenarnya selalu perhatian ke seluruh anak buahnya tak hanya pada Shanaya.“Aku belum menemui Ayah karena aku ke sini lebih dulu, tapi kata mba Rahma kondisi Ayah sudah semakin membaik.”Flo mengerutkan kening saat merasa ada yang janggal dari jawaban Shanaya. Meskipun belum sepenuhnya percaya, tapi dia berpikir mungkin saja kabar yang disebutkan oleh dua pegawainya memang benar.“Kata Farah kamu menikah, apa benar?”“Benar, dari rumah suamiku aku langsung datang menemui kakak.”Shanaya menundukkan kepala setelah bicara. Takut jika sampai Flo menanyakan sesuatu tentang suaminya, juga khawatir kalau wanita itu berpikir dia melangkahi dengan menikah lebih dulu. Meski tidak memiliki hubungan darah, tapi Shanaya sudah menganggap Flo seperti kakak kandung sendiri, dia juga tahu bagaimana rumitnya kisah cinta bosnya
Setelah beberapa saat duduk untuk meredam rasa sedihnya karena tidak akan bekerja lagi di Wonderflo — toko kue di mana dia pernah bekerja. Shanaya pun pergi ke halte sambil membawa tentengan berisi kue yang Flo berikan padanya.Shanaya hendak menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Sebenarnya dia bisa saja menggunakan taksi, tapi enggan karena merasa harus berhemat.Meskipun Oriaga sudah setuju dengan syarat yang disebutnya sebagai keinginan, tapi tetap saja Shanaya tidak bisa tenang, bagaimanapun juga dia tetap tidak akan pernah mengetahui kapan Oriaga mulai bosan lalu meninggalkannya."Aku harus menghemat uang yang dia berikan, lebih baik aku mengambil uang transport dua ratus ribu dan hanya mengeluarkan lima puluh ribu." Shanaya bergumam di dalam hati, memegang erat kotak kue dari Flo di pangkuan sambil memandang keluar jendela. Beberapa menit berlalu Shanaya pun tiba di halte terdekat dari rumah sakit, dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan menyusuri trotoar untuk menjangk
Shanaya tak berani ikut masuk ke lift bersama Oriaga, dia mematung di posisinya dan tak sadar kalau Masayu juga Kirana melihatnya dengan seringai di wajah.Shanaya menekan tombol lift dan menunggu lift itu turun kembali. Dia terus diam sambil menyusun kalimat yang tepat di kepala agar tidak salah saat bicara ke Oriaga nanti.Namun, sepanjang apapun kalimat yang sudah dia buat, ternyata hanya ucapan maaf lah yang terlontar dari bibir Shanaya."Maaf, Oom! Aku pulang terlambat."Shanaya yakin Oriaga mendengar ucapannya, tapi entah kenapa pria yang saat ini sedang duduk di meja kerja itu diam tak membalas. Shanaya merasa sangat aneh karena Oriaga mendiamkannya seperti ini, hingga baru sadar kalau penampilannya tampak sangat kumal. Shanaya buru-buru masuk ke kamar ganti untuk mengambil baju. Dia bergegas membersihkan diri setelah itu berniat meminta maaf dengan cara yang lebih baik ke Oriaga. "Dia marah, iya 'kan? Tapi bukankah aku sudah diizinkan mengurus urusanku hari ini? Aku tidak mu
Kirana tak bisa langsung menjawab pertanyaan Shanaya. Untuk melancarkan aksi membuat Shanaya berpikir buruk tentang pamannya saja, dia dan Masayu harus menunggu pak Wira meninggalkan rumah utama, karena jika tidak mana mungkin Rini bisa dengan mudah membohongi Shanaya tadi."Kirana, apa Pak Wira diusir?" Shanaya bertanya lagi karena Kirana tak merespon."Ah ... pak Wira hanya mengambil libur, mana mungkin Paman mengusirnya?" Kirana tertawa canggung. Dia dan Masayu berani melakukan ini ke Shanaya, karena Kirana tahu bagaimana sifat gadis yang sedang menikmati makan malam di kamarnya ini.Pernah suatu kali di kampus Kirana sengaja menyenggol Shanaya saat berpapasan jalan, hingga tugas kuliah yang sedang Shanaya pegang jatuh ke kolam ikan, tapi gadis itu sama sekali tidak marah apalagi mengadu pada Andra yang jelas-jelas sedang mendekatinya.Kirana diam-diam menyeringai, merasa Shanaya begitu polos dan bodoh. Dia dan sang Mama jelas tidak akan membiarkan Shanaya menjadi nyonya di rumah
Shanaya memutari meja kerja Oriaga. Dia pikir sesuatu yang harus dilakukan adalah memuaskan pria itu seperti sebelumnya. Padahal yang Oriaga maksud adalah ke depan Shanaya harus mengabarinya jika pulang terlambat."Tunggu! Kalau aku mencium atau bicara terlalu dekat, bisa-bisa Oom Ori tahu kalau aku tadi makan." Shanaya menghentikan langkah setelah bermonolog. Sedangkan Oriaga masih memandangi dengan tatapan heran. "Aku lupa belum gosok gigi saat mandi tadi," ucap Shanaya. Dia buru-buru memutar tumit untuk berlari ke kamar mandi. Tingkahnya ini malah semakin membuat Oriaga kebingungan. "Apa? Dia itu, benar-benar! Jorok sekali."Oriaga menggerutu tapi seketika sadar malah sedang memulas senyum, dia tak percaya bagaimana bisa salah tingkah karena kelakuan acak perempuan muda seperti Shanaya.Oriaga menggeleng seolah berusaha menyadarkan diri. Seharusnya hanya kejantanannya saja yang berereksi melihat tingkah Shanaya, karena dada dan hatinya tidak boleh sampai bereaksi."Aku pasti suda
Oriaga merasa Shanaya sedang menyindirnya, tapi entah kenapa dia tak sedikitpun merasa kesal ke gadis itu. Alih-alih menjawab, Oriaga malah sedikit memundurkan kepala untuk memastikan penampilan Shanaya. “Ayo cepat turun untuk sarapan! Kamu harus ikut aku berkuda hari ini.” Meskipun sudah menganggukkan kepala, tapi Shanaya masih mematung sambil bergumam di dalam hati. “Berkuda? Apa yang bisa aku lakukan di sana?” Pundak Shanaya pun longsor seiring dengan semangatnya yang perlahan menguap hilang. Seperti biasa semua orang sudah menunggu di ruang makan. Shanaya yang berjalan beberapa langkah di belakang Oriaga tampak membalas sapaan para pelayan dengan anggukan kepala dan senyuman kecil. Dia ingin sekali menyapa Masayu dan Arumi. Namun, dua wanita itu terlihat tak sedikitpun melirik ke arahnya. “Shana, apa kamu akan ikut Paman pergi berkuda?” Kirana tetap menjadi satu-satunya orang yang berani membuka pembicaraan saat mereka sedang makan. Berpikir mungkin saja pertanyaan Kirana bis
Mendengar ucapan orang itu Shanaya buru-buru mengunci layar ponsel dan menoleh. Dia tak menyangka Andra berada di sana, karena saat sarapan tadi kembaran Kirana itu tidak menampakkan diri. Tanpa meminta persetujuan, Andra menarik kursi lalu duduk satu meja dengan Shanaya. Dia kembali mengulangi ucapannya tadi soal tidak boleh mengambil foto di tempat itu. “Maaf, aku tidak tahu. Aku baru sekali datang ke sini,” kata Shanaya. “Apa kamu tidak melihat tulisan-tulisan itu bertebaran di beberapa sudut tempat ini?” Andra menjawab sambil mengangkat dagu untuk menunjuk papan peringatan berwarna putih dengan tulisan merah di atasnya. Meski memberitahu Shanaya letak tulisan itu, tapi matanya terus tertuju ke wajah Shanaya hingga membuat gadis itu merasa canggung. “Ah … iya, aku tidak memperhatikan.” Shanaya menjawab lirih kemudian menunduk, sejujurnya dia merasa malu ke Andra. “Tidak usah menunduk di depanku, Shana. Posisimu sekarang lebih tinggi dariku karena kamu adalah istri dari pamanku
Shanaya dan Oriaga masih bergumul di bilik itu hingga keringat tampak membasahi kening mereka. Tanpa keduanya duga, di luar bilik itu Andra berdiri sambil memulas senyum ironi. Pemuda itu tak percaya akan mendengar suara-suara erotis dari mulut gadis yang dia sukai.Tangan Andra mengepal kuat di sisi badan. Dia keluar dengan muka merah menahan amarah, bahkan Andra sama sekali tak menoleh tantenya yang berdiri di dekat sana. Arumi memulas seringai melihat betapa marahnya Andra. Wanita itu memiliki ide jahat saat melihat Shanaya masuk ke kamar ganti tadi. Arumi tentu saja tahu apa yang akan dilakukan sang kakak lalu membohongi Andra kalau Oriaga sedang mencarinya.Ini bukan kali pertama Oriaga meminta ruang ganti di tempat itu dikosongkan hanya untuknya. Setiap kali meminta hal ini Oriaga pasti akan memanggil PSK ke sana. "Apa yang kamu lihat di dalam sampai keluar dengan muka marah seperti itu?" gumam Arumi. Padahal dia sudah tahu jawabannya. Arumi menekuk tangan ke depan dada sambi