Hari itu Oriaga mengajak Shanaya pergi ke rumah utama, karena sudah lama mereka tidak menginjakkan kaki di sana. Sebenarnya Oriaga juga ingin melihat bagaimana reaksi Shanaya sebelum dia mengajak calon ibu dari anaknya itu kembali tinggal di sana. Shanaya tampak bersikap biasa, meskipun dalam hati dia merasa sedih sekaligus senang. Bagaimanapun juga rumah utama memberikan banyak kenangan baginya, setiap sudut rumah itu seolah memiliki cerita tersendiri.“Rumahnya masih sama,” ucap Shanaya sambil menatap rumah mewah itu.“Memangnya kamu pikir akan berubah seperti apa?” Oriaga malah menanggapi ucapan Shanaya dengan candaan, hingga membuat sang istri tertawa. “Ayo keluar!” ajak Oriaga sambil membuka pintu mobil.Shanaya pun menganggukkan kepala, dia melepas seatbelt sambil memandang Oriaga yang selalu membuatnya terpesona. Oriaga bergegas membukakan pintu sebelum pelayan mendekat, pria itu bahkan meletakkan tangan di atas kepala Shanaya.“Selamat datang.”Pak Wira dan pelayan menyambut
“Kalian datang.” Amora terlihat senang melihat Shanaya datang bersama Oriaga ke penthousenya sore itu. Padahal hampir setiap hari sang anak dan menantunya datang.Shanaya hanya mengangguk membalas ucapan Amora. Dia kemudian duduk di samping baby box tempat Xavi berbaring.“Dia lucu sekali,” ucap Shanaya sambil menusuk-nusuk pelan pipi adik bayinya itu.“Kalian dari mana? Apa dari rumah utama langsung ke sini?” tanya Isaak yang kebetulan juga sudah berada di sana. Pria itu mendekat sambil mengaduk cairan pekat bercampur susu di cangkir. Oriaga langsung melirik Isaak, tentu saja ada arti dari tatapan matanya itu.“Tidak! Kami baru saja dari rumah sakit untuk melihat calon bayi kami,” jawab Oriaga penuh rasa bangga. Meskipun di dalam hati dia sedikit kesal karena lupa menanyakan hal penting ke dokter kandungan. Amora dan Isaak langsung saling tatap. Mereka hampir saja tertawa, lantas melihat Oriaga yang mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja.“Lihat, ini hasil USG calon bayi kami. Dia p
Hari itu Kirana dan Elkan pergi ke apartemen Isaak. Mereka memang sengaja datang ke sana untuk menjenguk bayi Amora.“Dia lucu sekali.” Kirana memangku bayi Amora sambil sesekali menusuk pipi bayi itu.Elkan duduk di samping Kirana sambil memangku Celine. Dia ikut menatap keponakannya itu seraya memberitahu Celine bahwa Xavi adalah sepupunya.Mereka larut dalam keceriaan, hingga Elkan tiba-tiba bertanya pada Amora, saat kakak kandungnya itu menyuguhkan teh untuknya dan Kirana.“Apa Kakak sudah membantu bicara ke Papa dan Mama soal rencanaku ingin menikahi Kirana?” tanya Elkan bahkan sebelum Amora mendaratkan bokong di kursi.Kirana langsung menoleh Elkan saat mendengar pertanyaan pria itu. Wajahnta menunjukkan gurat keterkejutan, lantas menatap ke Amora.“Sudah,” jawab Amora lugas.“Lalu? Apa kata mereka?” Elkan penasaran, meskipun di dalam hati sudah memutuskan. Elkan berjanji pada dirinya sendiri, mau mendapat atau tidak izin dari kedua orang tuanya, dia akan tetap menikahi Kirana.
Hari itu Shanaya dan Oriaga ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kandungan Shanaya. Oriaga terlihat tak tenang. Dia tampak canggung dengan sekitar, apalagi banyak orang yang juga sedang menunggu giliran untuk diperiksa.Sebenarnya Oriaga sudah meminta Shanaya menemui dokter secara private, tapi Shanaya malah memilih antrean biasa dengan alasan tidak perlu membiasakan calon anak mereka menikmati fasilitas mewah sejak dari kandungan.“Di sini banyak sekali orang,” bisik Oriaga. Entah kenapa Oriaga tiba-tiba merasa malu karena orang-orang tampak memandang aneh padanya. Padahal sebelumnya dia tidak peduli dan bersikap cuek.Shanaya bahkan sampai terkejut mendengar ucapan suaminya itu. Dia sempat memindai wajah Oriaga sebelum menjawab," “Ya, namanya juga tempat umum, pasti ramai."“Bukan begitu,” ucap Oriaga sambil memperlihatkan rasa tak nyamannya.Shanaya menatap bingung ke Oriaga, suaminya itu tampak begitu gelisah tak seperti biasa.“Lihat tatapan mata mereka ke kita, apa mereka mengi
Mauri berjalan menyusuri koridor perusahaan dengan terburu-buru. Raut wajahnya menunjukkan rasa kesal karena dia baru saja mendengar temannya membicarakan tentangnya di belakang.Bagaimana mungkin Mauri tidak kesal. Dia dituduh mendekati direktur perusahaan tempatnt bekerja agar mendapat jabatan sebagai manager, hal ini membuat Mauri geram karena merasa gosip itu sangat murahan.“Apa maksud mereka menggosipkanku seperti ini?”Mauri benar-benar geram hingga kata-kata rekan kerjanya itu kembali terngiang di kepala.“Mustahil dia tidak mengenal direktur yang sekarang, tidak mungkin dia menjilat kalau tidak tahu.”“Benar, bukankah sudah biasa kalau mau mendapat jabatan harus pandai mencari muka.”“Aku yakin, Mauri pasti kenal Pak Andra. Makanya dalam sekejab dia bisa menduduki posisi manager.”Kepala Mauri semakin ingin meledak saat teman-temannya menyebut nama Andra. Dia pun kesal karena Andra selama ini sudah berbohong kepadanya.Mauri hampir sampai di ruangan Andra, hingga dia menghent
Sudah lebih dari 3 bulan Arumi berada di rumah sakit jiwa, dan hari itu Masayu pergi menjenguknya ke sana. Namun, tentu saja sudah bisa diterka bagaimana sikap Arumi.“Mau apa kamu ke sini?” Arumi menyambut Masayu tak ramah, apalagi Masayu datang bersama Malik hingga membuatnya kesal.“Aku hanya ingin melihat keadaanmu,” jawab Masayu.Arumi tampak memalingkan muka, dia langsung tersenyum mencibir mendengar jawaban Masayu.“Aku tahu itu hanya alasanmu saja, karena sebenarnya kamu hanya ingin pamer hidupmu baik-baik saja, kan? Kamu hanya ingin aku melihat kalau kamu bahagia dengan pria itu, kamu mau pamer dan mencibirku," kata Arumi."Kamu tetap saja bodoh dan terlalu bucin, kamu seharusnya tidak usah datang memperlihatkan semua itu kepadaku!” Arumi menyindir karena tak menyukai kedatangan Masayu bersama Malik.“Kamu selalu berpikiran negatif, padahal aku datang ke sini karena mencemaskanmu. Aku masih menganggapmu sebagai adikku, kenapa kamu malah jahat dengan menuduhku seperti itu?”
Pagi itu Shanaya baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Oriaga berdiri di dekat jendela sedang menerima telepon. Shanaya pun memilih duduk di tepi ranjang bermain ponsel sembari menunggu Oriaga selesai menerima panggilan. Dia agak curiga karena suaminya itu tampak serius.Oriaga terlihat bicara dengan mimik tegang, hingga beberapa saat kemudian mengakhiri panggilan. Oriaga menoleh dan melihat Shanaya yang sedang duduk.“Siapa yang menelepon? apa ada seseuatu yang buruk?" tanya Shanaya yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.“Masayu,” jawab Oriaga sambil mendekat ke Shanaya lantas meletakkan ponsel di atas nakas.Shanaya hanya mengangguk pelan mendengar jawaban Oriaga, hingga pria itu duduk di sampingnya.“Apa ada masalah?” tanya Shanaya sambil menatap penasaran ke sang suami “Tidak,” jawab Oriaga, “dia hanya mengabari ingin datang ke sini untuk mengatakan sesuatu,” ujar Oriaga yang sebenarnya juga penasaran. "Aku sudah memintanya datang untuk makan malam sekalian."Sha
Malam itu Shanaya tampak berpenampilan sangat anggun. Wajahnya berseri menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini seperti tak memiliki beban.“Apa semuanya sudah siap?” Shanaya yang sekarang sedang berada di ruang makan bersama Pak Wira pun bertanya, dia mengawasi pelayan yang sibuk menata meja makan.“Semua makanan sudah siap, Nona. Tinggal menyajikan saja,” jawab Pak Wira lantas menoleh Shanaya.Pak Wira mengamati penampilan Shanaya yang tampak semakin bersinar, hingga tatapannya turun ke perut gadis itu.“Melihat Nona berada di sini lagi, saya tiba-tiba saja mengingat masa lalu,” ucap Pak Wira.Shanaya langsung menoleh Pak Wira dengan kening berkerut, dia penasaran dengan maksud ucapan pria itu.“Apa yang Pak Wira ingat?” tanya Shanaya.“Soal Tuan Ori, dulu saat baru saja kembali dari Belanda setelah meninggalkan Nona,” jawab Pak Wira.Tentu saja Shanaya begitu penasaran hingga tampak antusias mendengarkan.“Memangnya kenapa?” tanya Shanaya ingin tahu.Pak Wira menghela napas pela