Jeritan Evi spontan keluar mana kala dadanya diremas kuat oleh tangan Liam yang berurat.
“P-Pak Liam….”
Tubuh gadis itu bergetar. Kali ini lebih hebat. Tubuhnya terasa dingin, tetapi keringat tidak berhenti bercucuran.
“Bukankah kamu sudah biasa melakukan ini dengan tamu-tamu kamu terdahulu?” sahut Liam. Ia sedikit melirik Evi yang wajahnya terlihat sudah sangat merah.
Sesaat, Evi merasa tersinggung. Tubuhnya menegang.
Ia memang pernah menjadi pemandu karaoke di sebuah karaoke bar kecil di kampungnya. Sebuah rumah sederhana yang disulap menjadi tempat hiburan malam, tempat ia mencari nafkah.
Namun, Evi bukan penjaja kepuasan. Banyak teman-temannya yang mengambil tambahan dengan menemani tamu mereka sampai ke ranjang. Tapi tidak dengan Evi.
“Saya bukan wanita murahan!” sahut Evi, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Ada kemarahan yang tersirat jelas di sana.
Setelahnya, memanfaatkan ketercenungan Liam, Evi pun mengerahkan seluruh tenaganya untuk bangkit dari pangkuan Liam.
“Saya rasa, malam ini adalah malam terakhir saya bekerja di sini, Pak. Selamat malam.”
Dengan hentakan kaki yang keras, Evi berjalan menuju kamarnya. Meninggalkan Liam yang terpaku, di antara rasa tidak percaya dan marah.
“Argh! Sialan!” Pria itu mencengkeram rambutnya kencang, marah pada dirinya sendiri.
Memasuki kamar, tidak lupa Evi mengunci pintu. Tubuhnya langsung luruh ke lantai, dengan tangis yang akhirnya tumpah bak air bah.
Jauh-jauh ia bekerja, merantau ke kota demi penghasilan yang lebih pantas. Namun ternyata, di sinilah justru ia dapat penghinaan.
Evi merasa tubuhnya kotor, karena sentuhan-sentuhan Liam.
“Bodoh!” raung Evi. Ia sadar, seharusnya ia bisa langsung berkelit lepas dari kungkungan Liam. Bukan menunggu pria itu melakukan hal yang lebih jauh lagi.
Saat pria itu meremasnya … Evi memang marah. Namun, entah mengapa ada sebuah gelenyar aneh yang juga muncul bersamaan.
Gelenyar itulah yang membuat Evi tidak bisa langsung berpikir cepat. Ia sempat terlena oleh sentuhan Liam.
Suami orang.
Dan majikannya sendiri.
“Aku akan cari pekerjaan lain!” tekadnya yang langsung merapikan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas.
Tepat ketika Evi berdiri dan hendak keluar dari kamarnya, ponselnya berbunyi nyaring. Sebuah panggilan masuk dari kampung muncul.
Evi mengusap air matanya sebelum menjawab panggilan itu.
“Halo, Dek. Ada apa?” tanya Evi langsung. Perasaannya mendadak tidak enak, sebab tidak biasanya orang kampung menelepon ia malam-malam begini.
“Mbak Evi … Ibu masuk rumah sakit. Serangan jantung, dan kata dokter harus segera dioperasi.”
Adiknya, Selly, terisak. Di belakangnya, Evi samar-samar mendengar sang adik dipanggil oleh dokter, diiringi suara mesin-mesin rumah sakit.
“Mbak akan cari uang secepatnya,” kata Evi, air matanya kembali jatuh. “Kamu tenang aja, ya. Ibu pasti selamat. Mbak akan carikan uangnya,” ulang Evi lagi. Suaranya terdengar yakin, meski sebenarnya ia panik luar biasa.
Dari mana ia akan mendapatkan uang?
Usai telepon ditutup, tangan Evi langsung terkulai lemah.
Ia baru saja bilang ingin resign dari pekerjaannya sekarang. Namun, mendengar kabar seperti ini, sepertinya keluar bukanlah pilihan terbaik.
Evi butuh uang yang jumlahnya tidak sedikit. 100 juta untuk biaya operasi, juga perawatan ibunya yang tidak punya asuransi apa-apa.
Satu-satunya jalan untuk Evi bisa menolong ibunya adalah bertahan di sini. Menebalkan hati, juga muka … ia bertekad akan merendahkan dirinya di hadapan sang majikan untuk bisa dipinjamkan uang.
**
Esok harinya, Evi bangun lebih pagi. Ia menyiapkan semuanya seperti biasa.
Nala bangun lebih dulu. Majikan perempuannya itu memang selalu turun lebih dulu dari kamar untuk berangkat kerja lebih pagi.
“Bu Nala, apa boleh saya ngomong sebentar?” tanya Evi ragu-ragu.
Nala meliriknya, lantas melihat jam tangan mahal yang melingkar di tangannya. “Soal apa, Vi? Tolong cepat, ya. Saya ada meeting pagi ini.”
Evi mengangguk. “Begini, Bu. Saya minta maaf sebelumnya kalau lancang. Tapi, saya mau pinjam u—”
Suara dering telepon milik Nala menginterupsi. Wanita itu langsung mengangkatnya, dan berbicara serius beberapa detik.
“Vi, maaf. Tapi saya harus berangkat sekarang. Urusanmu nanti sama suami saya saja, ya. Kamu bilang saja sama dia.”
“Tapi, Bu, ini soal—” Kata-kata Evi tertahan, sebab Nala sudah hilang duluan dari hadapannya.
Mendengar ia harus berurusan lagi dengan Liam, pria yang melecehkannya semalam, Evi menjadi gamang.
Haruskah? Bagaimana kalau Liam melakukan hal yang sama seperti semalam, atau malah lebih parah?
Ketakutan-ketakutan itu terus menghantui. Akan tetapi, Evi kembali teringat kondisi ibunya yang butuh penanganan cepat.
Tak punya pilihan lain, ia pun akhirnya menunggu Liam turun.
Sekitar setengah jam berikutnya, Liam baru turun dari kamar. Pria itu kini sudah memakai pakain kerjanya yang formal.
“Bukannya kamu bilang mau resign? Kenapa masih di sini?” ujar Liam dengan pandangan sinis.
Evi langsung menundukkan kepala. Jantungnya berdebar kencang, terlebih melihat mata Liam yang seperti elang yang seolah siap memangsanya.
“Maaf untuk semalam, Pak. Tapi saya tidak jadi keluar. Saya… mau pinjam uang,” cicit Evi nyaris tidak terdengar.
Dengusan Liam terdengar kemudian. “Jadi, kamu masih butuh uang?”
Menahan kekesalannya pada tiap perkataan Liam, Evi menjelaskan, “Semalam, saya dapat kabar dari kampung, kalau Ibu saya serangan jantung dan harus dioperasi segera.”
Liam masih mencerna. Ia menatap Evi tampak menilai.
Beberapa detik setelahnya, pria itu baru berbicara, “Saya bersedia kasih kamu cuma-cuma, tapi dengan satu syarat.”
Evi langsung mengangkat kepala dan mengerjapkan mata, menatap Liam yang kini tampak tersenyum tipis.
“A-apa syaratnya, Pak?”
Liam melangkah mendekat dengan kedua tangan di saku celana. Ia berdiri tepat di samping tubuh Evi, lalu berbisik, “Tubuhmu. Jadilah pemuasku.”
Waktu sudah menunjuk angka enam pagi. Evi baru keluar dari kamarnya dan langkahnya langsung terhenti ketika melihat Nala sudah duduk di meja makan seolah tengah menunggu dirinya.“Bu Nala? Sejak kapan dia ada di rumah?” gumamnya kemudian menghela napasnya dengan panjang.“Kamu sudah bangun. Bagus,” ucap Nala ketika melihat sosok Evi yang berdiri dekat dapur.Evi langsung mengangguk dan menyapa wanita itu dengan sopan. “Selamat pagi, Bu.”“Aku tidak ingin basa-basi, Evi.” Nada suara Nala langsung menembus jantung. “Aku ingin laporan.”“Laporan, Bu?” Evi mengangkat kepala dengan pelan.“Ya. Selama dua hari aku tidak ada di rumah. Apa saja yang dia lakukan? Jam berapa dia sampai? Apakah ada tamu? Telepon? Atau tanda-tanda mencurigakan lainnya?”Evi menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering. Dia sudah menduga Nala akan menanyakan tentang laporan lagi.
Evi mencoba menghapus bukti di ruang tengah, lututnya bertumpu di lantai dingin saat tangannya terus menggosok bantal sofa yang ternoda.Namun, sekeras apa pun dia menyeka dengan tisu basah, bercak putih itu tetap saja membandel, menyisakan jejak dari dosa yang baru saja mereka lakukan.“Astaga ... bagaimana ini? Kenapa harus meninggalkan bercak ini di sini?” gumamnya sambil mendesah panik, keringat dingin mulai bermunculan di pelipisnya.Napasnya tidak teratur. Detak jantungnya berdentam keras di dada, seolah memukul-mukul peringatan akan bahaya yang mengintai.Pandangan matanya resah menelusuri ruangan. Tirai belum ditutup sepenuhnya, aroma samar tubuh Liam dan dirinya masih tercium di udara, dan di permukaan meja kaca, masih ada sisa gelas air yang sempat dia minum setelah tubuhnya dipakai—tanpa ampun bahkan tanpa bisa menolak.Liam sendiri telah menghilang ke kamarnya, pintu kayu besar itu tertutup sejak lima belas menit lalu. Mungkin sudah mandi, membersihkan diri setelah sesi pe
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Evi baru saja selesai membersihkan dapur saat suara deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Lampu sorot menerpa dinding rumah, menandakan mobil baru saja berhenti.Evi membeku seketika. Pikirnya, siapa yang datang lebih dulu? Nala atau Liam? Jika Nala, dia akan terbebas dari cengkeraman Liam yang sedari tadi sudah mengirim pesan padanya agar menunggunya pulang.Namun, jika Liam, maka dia tidak bisa menolak keinginan pria itu yang sudah tak sabar ingin menyentuhnya setelah satu minggu tidak pernah menyentuhnya.Tanpa pikir panjang, Evi segera berlari ke pintu depan, membuka tirai dan mengintip ke luar. Dan benar saja, mobil Liam yang terparkir.Detik berikutnya, pintu depan terbuka.
Sudah satu minggu sejak Nala mulai menerima laporan dari Evi setiap malam. Catatan waktu, aktivitas harian Liam, dan percakapan telepon … semuanya Evi tulis rapi dalam sebuah buku kecil berwarna cokelat.Namun, tidak ada satu pun yang mencurigakan. Tidak ada bukti bahwa Liam tengah menyembunyikan sesuatu apalagi berselingkuh. Setidaknya di mata Nala. Bahkan kecurigaannya pada Evi juga mulai luntur karena tidak juga mendapat gerak-gerik mencurigakan dari wanita itu apalagi Liam.Nala tetap tenang, bahkan terlalu tenang. Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak ada nada curiga dalam suaranya.Justru pagi ini, saat ia mengenakan blazer biru dan sibuk merapikan dokumen, ia hanya menatap Evi sekilas lalu berkata santai, “Evi, kamu yang antar dokumen itu ke kantor Liam, ya. Aku harus meeting di Bandung sampai beso
“Kamu pikir bisa pergi begitu saja setelah mengguncang hidupku, hah?” bisiknya dengan suara seraknya.Sebelum Evi sempat menjawab, bibir Liam sudah menempel di bibirnya—keras, mendesak, menuntut. Napas Evi tercekat. Tubuhnya gemetar menahan gejolak yang berdesir dalam dadanya.Liam menarik tubuh Evi ke dalam dekapannya. Tangan-tangannya yang besar dan kuat bergerak menyusuri punggungnya, pinggangnya, lalu menyelinap ke bawah blus tipis yang dipakainya.Evi tahu dia harus mendorongnya. Dia tahu dia harus menolak. Tapi tubuhnya telah mengkhianati pikirannya. Lemas, pasrah, terbakar dalam sentuhan itu.“Aku menginginkanmu sekarang, Evi. Jangan berani kabur apalagi menolakku,” bisiknya kemudian menarik tangan Evi dan membawanya ke dalam ru
Dua hari kemudian, Nala kembali muncul. Tak seperti sebelumnya, kali ini wajahnya lebih kaku. Tanpa basa-basi, dia meminta laporan langsung.“Ceritakan padaku semua yang kamu lihat dalam lima hari terakhir,” katanya dengan nada tajam.Evi menarik napas pelan, mengeluarkan buku kecil dari saku celemeknya. Ia mulai membaca.“Pak Liam keluar pukul 07.10, kembali pukul 18.45. Hari Senin, beliau menelepon seseorang bernama Pak Bima selama lima belas menit. Hari Rabu, beliau membeli kopi dan duduk sebentar di teras. Hari Kamis, beliau membersihkan meja kerjanya sendiri. Tidak ada interaksi dengan siapa pun selain lewat telepon.”Nala menyilangkan tangan di dadanya dengan bibir tersenyum tipis menatap datar wajah Evi.