Setelah pertimbangan yang begitu berat, hati Evi dilanda badai yang tak kunjung reda. Bayangan wajah ibunya yang lemah di ranjang rumah sakit terus membayangi.
Ia akhirnya menghampiri Liam dan menatap wajah lelaki itu dengan tatapan datarnya.
“Sa-saya … saya bersedia, Pak. Asalkan Bapak tepati janji Bapak akan membayar saya secara tunai.”
Seketika, senyum terukir di wajah lelaki itu. Senyum tipis, seperti kemenangan yang sudah ia prediksi sejak awal. Tapi tetap, Liam menjaga gayanya yang dingin dan tenang. Tak ada sorak, tak ada pelukan. Hanya satu anggukan kecil dan satu kalimat pelan yang membuat jantung Evi bergetar.
“Keputusan yang bijak. Aku akan mengirim uangnya segera.”
Sebelum melangkah pergi ke kantor, Liam mendekat. Tangan kirinya mengangkat dagu Evi dengan lembut namun mengandung otoritas. Tatapan mereka bertemu.
Mata kelam itu seolah mampu menelanjangi isi kepala Evi. Tanpa sepatah kata pun, Liam menunduk dan mengecup bibirnya. Hangat dan singkat, tapi meninggalkan sengatan aneh di seluruh tubuhnya.
Ketika pintu tertutup dan suara langkah Liam menjauh, Evi berdiri kaku di tempat. Ia menyentuh bibirnya yang baru saja disentuh lelaki itu. Degup jantungnya tidak bisa ia kendalikan.
“Apa yang sudah aku lakukan,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Maafkan aku, Bu Nala….”
Waktu sudah menunjuk angka dua siang.
Evi duduk di sudut ruang tamu mewah sambil menggenggam ponselnya erat. Matanya terus-menerus melirik ke layar, menunggu notifikasi yang belum kunjung datang—uang dari Liam. Uang yang katanya akan langsung ditransfer hari itu juga untuk membayar operasi ibunya.
Namun, rasa tak sabar itu bercampur dengan ketakutan. Ketakutan akan malam yang akan datang. Ketakutan akan perjanjian diam-diam yang telah ia sepakati. Ketakutan karena ia tahu, setelah uang itu masuk, ia tidak bisa lagi mundur.
Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyeduh teh, menyalakan TV, bahkan membuka buku yang tak pernah selesai ia baca. Tapi tak satu pun berhasil menenangkan pikirannya. Setiap detik terasa menghantam batinnya.
Tak lama, sebuah notifikasi masuk. Transfer berhasil.
Tangannya gemetar saat membuka pesan dari bank. Jumlah uang itu cukup untuk membayar seluruh biaya rumah sakit dan perawatan ibunya.
Air matanya menetes, bukan karena bahagia… tapi karena sadar ia telah menjual harga dirinya.
Untuk cinta? Tidak.
Untuk kebaikan? Entahlah.
Malam pun tiba. Evi berdiri di depan cermin, mengenakan piyama lusuhnya, saat ia mendengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah.
Jantungnya seolah melompat ke tenggorokan. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan suara langkah sepatu kulit itu kembali mengisi rumah.
Evi tak berani keluar dari kamar. Tapi suara Liam memanggil dari luar.
“Ke kamar tamu. Sekarang,” titahnya dengan nada datar, tapi mengandung tekanan yang tak bisa ditolak.
Dengan tubuh menggigil, Evi berjalan menuju kamar tamu. Tangan mungilnya meraih kenop pintu, membuka pelan, dan langsung tertegun.
Di atas ranjang putih bersih, tergantung di hanger, tergeletak sepotong kostum maid. Tapi bukan kostum biasa—potongan bajunya sangat pendek, dengan renda dan pita kecil.
Lengan bajunya hanya sebatas pundak, dan roknya… Tuhan. Jauh dari kata sopan. Bahkan sepatu hak tinggi dan stocking jala hitam telah disiapkan di sisi ranjang.
Di atasnya, secarik kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Liam:
“Pakai ini. Aku tunggu.”
Tangannya gemetar saat meraih kostum itu. Mata Evi panas, napasnya tersengal. Tapi ia tahu… tak ada jalan kembali. Ia sudah menandatangani perjanjian diam itu, meski tanpa tinta atau saksi.
Beberapa menit kemudian, Evi berdiri di depan cermin kamar tamu. Ia bahkan nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Gaun maid itu melekat ketat di tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk tubuh yang selama ini ia sembunyikan.
Pipinya merah, bukan karena malu, tapi karena amarah pada diri sendiri yang tak mampu berkata “tidak.”
Ketukan terdengar.
Tok. Tok. Tok.
Belum sempat Evi menjawab, pintu terbuka perlahan. Liam muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang atasannya terbuka dua kancing. Tatapan pria itu langsung menyapu tubuh Evi dari ujung kepala hingga kaki.
Senyum miring muncul di sudut bibirnya. “Bagus. Kamu cepat belajar.”
Evi menunduk, tubuhnya menegang. Ia merasa seperti barang pajangan, seperti boneka hidup yang harus memuaskan pemiliknya.
Liam melangkah masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Langkahnya perlahan, tapi pasti. Udara di ruangan terasa berubah—lebih panas, lebih sunyi, dan penuh tekanan yang membuat napas Evi tersangkut di dada.
Liam berdiri di depannya, satu tangan menyentuh pinggang Evi, menyusuri sisi tubuhnya dengan pelan. Jemari lelaki itu terasa seperti bara api di kulit Evi.
“Kamu gemetar, Evi,” bisik Liam di telinganya.
“Sa-saya … saya takut,” lirih Evi nyaris tak terdengar.
Liam tertawa pelan. Suara rendahnya terdengar menyebalkan tapi entah kenapa membuat bulu kuduk Evi meremang.
“Kamu tidak perlu takut. Aku tak akan menyakitimu … selama kamu menurut.”
Tangan Liam berpindah ke dagu Evi dan mengangkatnya perlahan hingga wajah mereka kembali bertemu. Tatapan mata Liam membuat Evi seolah kehilangan pijakan.
Wajah itu mendekat, dan Evi nyaris menutup matanya, tapi kemudian Liam berhenti hanya beberapa senti dari wajahnya.
“Aku bisa menyentuhmu sekarang,” ucap Liam dengan pelan, napasnya hangat menyentuh kulit Evi, “tapi aku ingin kamu memintanya.”
Evi menelan ludah dengan tubuhnya yang masih gemetar.
“Tidak akan,” jawabnya lemah, nyaris seperti bisikan.
Liam menyeringai. “Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan.”
Dua hari sudah Evi melewati masa rawat di rumah sakit, dan kini akhirnya dia kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi baru saja melangkah melewati pintu, matanya langsung membulat.Balon warna-warni tergantung di langit-langit, pita biru dan putih membentang dengan tulisan besar “Welcome Home, Mommy & Baby Lucas!” di tengahnya.Di bawahnya, Selly berdiri dengan wajah sumringah sambil membawa kue kecil bertuliskan “Selamat Datang di Dunia, Lucas!”.Ardi berdiri di sampingnya, bertepuk tangan dengan gaya berlebihan seperti pembawa acara televisi.“Selamat datang kembali, Evi, Liam, dan … pangeran kecil Lucas!” seru Ardi dengan suara lantang.Evi yang masih agak lemah tertegun di tempatnya. Bibirnya bergetar menahan haru dan matanya memanas.Ia menatap Selly dan Ardi bergantian, sebelum akhirnya tersenyum dan tertawa kecil. “Ya ampun, kalian … bikin aku hampir
Setelah beberapa jam di ruang bersalin, Evi kini sudah dibawa ke ruang rawat.Di ruang rawat yang remang, hanya terdengar suara alat infus dan desahan napas lembut dari Evi yang sedang tertidur pulas.Wajahnya masih tampak lelah, tapi di balik keringat dan pucatnya, tersimpan ketenangan yang luar biasa.Tangannya yang mungil terkulai di sisi tempat tidur, dengan jari-jari yang masih sedikit menggenggam selimut putih itu.Liam duduk di kursi di samping ranjangnya, tak beranjak sejak Evi dipindahkan dari ruang bersalin.Tatapannya lekat pada wajah istrinya itu, seolah takut kalau sebentar saja dia mengalihkan pandangan, semuanya akan menghilang begitu saja.Dengan gerakan lembut, dia mengusap pucuk kepala Evi, membenarkan beberapa helai rambut yang menempel di keningnya.Senyum lirih terbit di bibir Liam. “Kamu hebat sekali, Vi,” gumamnya dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar.“Kamu … benar-benar lu
Udara di rumah sakit malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk hidung, berpadu dengan aroma samar cairan infus dan suara langkah kaki perawat yang sibuk berlalu lalang di lorong panjang.Evi terbaring di atas ranjang bersalin, wajahnya pucat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit luar biasa yang datang setiap beberapa menit.Napasnya tersengal, keringat mengucur deras di pelipisnya. Tangannya mencengkeram selimut hingga buku jarinya memutih.“Sudah masuk bukaan lima, Pak. Mohon bersabar, nanti kalau sudah lengkap kami bantu proses persalinan,” ujar seorang dokter kandungan dengan suara lembut namun tegas.Liam yang berdiri di samping ranjang langsung mengangguk cepat. “Iya, Dok. Tolong bantu istri saya, ya.” Suaranya terdengar bergetar dan matanya terus memandang Evi dengan campuran panik dan takut.“Mas Liam,” suara Evi bergetar lirih. “Sakit banget ….”Liam seg
Usia kandungan Evi sudah memasuki sembilan bulan.Langit sore tampak begitu tenang, awan tipis berarak lembut, seolah ikut menikmati momen bahagia sepasang suami istri yang kini tengah berjalan menyusuri koridor toko perlengkapan bayi.Evi dan Liam tampak menonjol di antara para calon orang tua lain—Liam dengan wajah serius dan tatapan penuh perhitungan, sementara Evi dengan perut besarnya tampak cantik dalam balutan dress putih longgar yang sederhana namun anggun.“Mas Liam, jangan asal ambil begitu! Itu baju biru lagi,” omel Evi sambil menatap suaminya yang tengah memegang setelan bayi berwarna biru lembut.Liam mendengus kecil sambil menatap label harga dan bahan bajunya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.“Tapi yang ini bagus, Sayang. Bahannya lembut, adem, dan biru itu netral, kan?”“Netral dari mananya? Biru itu identik dengan laki-laki!” sahut Evi cepat dan alisnya naik ke atas.“T
Waktu sudah menunjuk angka empat sore dan gedung Liam masih ramai oleh para tamu yang masih betah di sana.Sementara di luar gedung, dua wanita berdiri diam—dalam diam yang bukan karena kagum, tapi karena api yang membakar dada.Sarah menggenggam tas tangannya kuat-kuat, bibirnya mengerucut penuh kekesalan.“Sial,” desisnya pelan. “Kita bahkan tidak diundang. Aku tidak percaya Liam bisa berubah sedingin ini setelah semua yang kulakukan untuknya.”Tari, yang berdiri di sampingnya menatap ke depan tanpa ekspresi.Angin sore meniup rambutnya perlahan, tapi tatapannya tetap fokus ke gedung itu—ke tempat di mana putranya sekarang berdiri dengan bangga bersama wanita yang dulu hanya dianggap ‘mantan pembantu’.“Jangan terlalu berharap dia akan memandangmu lagi, Sarah,” ucap Tari dengan nada datarnya. Suaranya terdengar dingin dan tenang, tapi menusuk.Sarah menoleh cepat. “Ja
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir dengan Tari. Waktu berjalan dengan cepat, tapi bagi Liam, setiap detik terasa seperti langkah baru menuju kehidupan yang sepenuhnya ia pilih sendiri.Hari ini, pagi itu, udara masih segar, langit cerah tanpa awan—seolah turut merestui langkah awal yang akan diukirnya.Sebuah gedung dua lantai berdesain minimalis berdiri anggun di tepi jalan utama kota.Di depannya, berjejer karangan bunga ucapan selamat dengan pita-pita warna perak dan emas bertuliskan Selamat & Sukses atas Grand Opening The L’M Corp.Beberapa tamu mulai berdatangan, para klien, rekan bisnis, dan orang-orang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan Liam dan Ardi.Di depan pintu kaca besar bertuliskan logo The L’M Corp, Liam berdiri mengenakan setelan abu-abu gelap yang rapi.Senyumnya hangat tapi sarat dengan kebanggaan. Di sisi kirinya, Evi tampak anggun mengenakan dress biru pastel, ram