Dua hari berlalu sejak Evi menjadi pembantu.
Selama dua hari ini, Liam lebih banyak menghindar dari Evi. Ia sengaja bekerja lembur karena kejadian yang membuatnya sedikit malu itu. Selain itu, ia juga khawatir pikiran liarnya kembali menguasai tiap kali berdekatan, atau bahkan hanya melihat tubuh molek pembantunya itu.
Beruntung, pikir Liam, malam ini Nala akhirnya pulang. Ia bisa menagih janji sang istri. Menyalurkan hasratnya yang terpendam.
“Aku lelah, Liam. Besok pagi saja, ya?” hindar Nala.
Padahal Liam sudah semangat. Hasratnya sudah mulai bangkit tepat ketika mencium aroma segar nan lembut usai Nala mandi.
Namun kali ini, Liam tidak ingin lagi kehilangan kesempatan. Ia singkirkan dulu egonya sebagai laki-laki, demi kepuasan batin yang dirindukannya.
“Kamu tidur saja, seperti biasa. Aku akan ‘bekerja’ sendiri.”
Ia memberikan kecupan-kecupan kecil di pundak Nala. Deru napasnya sudah memburu, dengan mata yang berkabut.
“Bisakah kamu tidak melulu berpikir tentang seks dan seks, Liam?!”
Hal tidak terduga terjadi.
Tubuh Liam justru didorong dengan kasar oleh Nala sampai pria itu nyaris tersungkur dari ranjang. Pria itu hendak mengeluarkan suara, tapi suara tinggi Nala lebih dulu menyambar lagi.
“Aku lelah, dan aku ingin istirahat! Jadi, jangan ganggu aku lagi!” ketus wanita itu, kemudian menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut.
Tatapan kemarahan, kekecewaan tampak di wajah Liam. Egonya yang sudah ia turunkan, kini jatuh berserakan—terinjak berkeping-keping oleh penolakan, juga hardikan sang istri.
Tersinggung dengan penolakan itu, Liam pun keluar dari kamar dengan raut wajah penuh amarah.
Ia menuju dapur, berniat mengambil air dingin untuk meredakan rasa panas di dada.
Saat Liam nyaris sampai di dapur, ia melihat Evi yang juga berada di sana.
“Belum tidur?”
Tubuh Evi berjengit. Suara bariton Liam mengagetkannya, sampai membuat wanita itu tersedak.
“Uhuk!” Air yang masih belum ditelan Evi pun menyembur dan membasahi Liam. “B-Bapak! Maaf, saya tidak sengaja!”
Evi panik bukan main. Ia menatap Liam yang sudah memejamkan mata, dengan rahang mengetat.
Buru-buru, wanita itu pun menaruh gelasnya dan mengambil beberapa lembar tisu. Ia mengeringkan wajah dan badan Liam yang basah karenanya.
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud begitu.” Sambil menekan-nekan gumpalan tisu, Evi terus berbicara.
Di hadapannya, Liam terpaku merasakan sentuhan dan tekanan yang diberikan Evi.
Hasratnya yang tadi padam, kini perlahan bangkit lagi.
“Pak, Bapak jangan pecat saya, ya. Saya—”
“Kalau kamu terus menyentuhku seperti itu,” Liam membuka mata. Suaranya terdengar serak dan dalam, dengan pandangan mata menusuk. “Aku tidak akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi selanjutnya.”
Evi terperangah. Cekalan tangan Liam padanya membuat ia justru tidak bisa berkutik.
“M-maksud Bapak?”
Saat Evi mengerjap, saat itulah ia baru menyadari jika tangannya sudah lancang menyentuh dada Liam yang telanjang.
Sontak, Evi segera menarik tangannya. Namun, Liam tidak membiarkan hal itu menjadi mudah.
“Kamu harus bertanggung jawab!” titah Liam, masih dengan suara rendahnya. “Layani aku.”
Evi yang sudah panik, seketika membelalak mendengar kata ‘melayani’ yang keluar dari mulut Liam. Bayangan kejadian dua hari yang lalu melintas, membuat sekujur tubuh Evi merinding.
“Jangan macam-macam, Pak!” seru Evi panik. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, berusaha melindungi dirinya sendiri.
Sementara Liam menatapnya dengan dahi mengerut, lalu tersadar betapa ambigunya ucapan barusan.
Ia lantas berdehem pelan, kemudian melirik Evi yang tampak tegang.
“Kamu mikir apa?” ujar Liam. “Buatkan aku kopi!”
Setelah mengatakan itu, Liam melangkah menuju teras belakang.
Sedangkan Evi masih mematung di tempatnya. Ia memandang punggung Liam yang menjauh.
“Kenapa aku deg-degan?” gumamnya masih menatap sosok Liam dari belakang. “Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Astaga!”
Evi menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang pikiran kotor yang tiba-tiba merasuki dirinya.
Secangkir kopi panas tersaji lima menit kemudian. Evi membawanya menuju Liam yang terlihat sedang melamun.
Niat kabur usai menaruh cangkir kopi di meja gagal saat lagi-lagi tangannya dicekal. Tubuh Evi limbung.
“Akh!” Ia memejamkan mata, mengira tubuhnya akan membentur lantai yang dingin. Siapa sangka, ia justru terjatuh di atas pangkuan Liam. “M-maaf, Pak.”
“Kamu sepertinya terus mengujiku.” Suara Liam terdengar nyaris seperti geraman. “Apa peringatanku tadi tidak cukup membuatmu berhati-hati?” bisik Liam di telinga Evi.
Sekujur tubuh Evi meremang. Napas Liam yang hangat terasa menggelitiknya hingga menimbulkan rasa aneh yang belum pernah ia rasakan.
“P-Pak, lepas. Jangan begini. Kalau nanti Bu Nala lihat, dia bisa jadi salah paham.”
Wanita itu mencoba memberontak. Akan tetapi, kekarnya badan Liam yang membelit tubuhnya membuat usaha Evi sia-sia.
Gerakan Evi yang tak terkontrol justru membuat Liam semakin menggila.
“Dia tidak akan tahu. Selama kamu diam.”
Evi merasakan hidung Liam menempel pada lehernya, membuat tubuhnya semakin bergetar. Keringat sebiji jagung mulai membasahi di pelipisnya.
“Pak Liam….” Suara gadis itu semakin mengecil, lalu menghilang seiring tangan Liam yang mulai bergerak ke atas. Nyaris menyentuh dadanya.
“Katakan, apa kamu menikmati sentuhanku?” bisik Liam di sela-sela jarinya yang terus merangkak naik.
Laki-laki itu sekarang sudah benar-benar dikuasai gairah.
Evi tahu, sebab dia bisa merasakan bukti nyata bangkitnya gairah Liam yang luar biasa. Di bawah sana, Evi bisa merasakan junior Liam membengkak. Terasa hangat, menekan bokongnya.
“S-saya—ahh!”
“Oh! Jadi, orang tua kamu tidak pernah menghubungimu dan protes kalau dia minta cucu darimu, huh?” serang Nala dengan nada menyudutkan.Liam mengangkat alisnya perlahan. Pandangannya tajam dan sinis, tak menyukai arah pembicaraan yang mulai menyentuh batas privasi keluarganya.“Apa maksudmu bawa-bawa nama orang tuaku?” tanyanya pelan namun tajam. “Bahkan hubungan kamu saja dengan mereka tidak pernah akur.”Nada suara Liam tidak meninggi, tetapi cukup tajam untuk melukai harga diri Nala. Sebuah serangan balik yang tak butuh teriakan, hanya fakta dingin yang disampaikan tanpa belas kasihan.“Ya. Tidak pernah akur sampai-sampai menuduhku yang tidak mau punya anak,” balas Nala cepat dan tak mau kalah. Matanya membara, rahangnya mengeras, dan tangannya mulai mengepal erat di atas meja.“Memang dari awal kamu yang menolak, Nala. Jangan pura-pura amnesia,” ucap Liam santai sembari menyeruput air minumnya dengan elegan.Nada santainya justru membuat Nala makin murka. Tangan yang semula mengep
Evi yang tengah mencuci peralatan dapur bekas masak tadi sontak menghentikan pergerakannya.Suara air dari keran masih mengalir deras, namun tangan Evi membeku di atas tumpukan piring berminyak.Hatinya langsung mencelos begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nala barusan.Perlahan, dia melirik ke arah ruang makan dari balik dinding dapur. Tatapannya tajam namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang sedang menguping pembicaraan yang tidak boleh didengar.Di sana, Nala duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, sementara Liam menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.Liam mengerutkan keningnya. Ucapan Nala barusan membuat alisnya terangkat dan dahinya mengernyit seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.“Anak?” ulang Liam, suaranya rendah namun terdengar jelas, nyaris bercampur bingung dengan sinis.Nala mengangguk cepat dengan antusias. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ucapannya barusan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Hawa malam yang lembap menyelinap masuk lewat celah-celah jendela dapur, membuat aroma sup hangat dan bumbu tumis semakin terasa menggoda.Evi sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk para majikannya. Tangannya cekatan memotong seledri dan menaburkannya ke dalam mangkuk sup yang mengepul harum.Di atas kompor, daging tumis lada hitam telah matang sempurna, sementara ikan goreng tepung keemasan baru saja dia tiriskan.Semua menu favorit Liam telah dia buat dengan trampil seperti biasanya. Setiap bumbu dia racik dengan takaran yang nyaris sempurna, bukan karena cinta—tapi karena tugas.Namun entah mengapa, setiap kali memasak sesuatu yang disukai pria itu, hatinya ikut berdebar, seakan menunggu pengakuan yang tak pernah benar-benar dia minta.Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Suara yang sudah sangat dia kenal, dan selalu membuatnya waspada.“Evi?”
Liam baru saja tiba di kantor. Suasana masih lengang, belum banyak karyawan yang datang.Sinar matahari pagi menembus jendela besar ruangannya, menerangi meja kerjanya yang tertata rapi.Dia baru saja duduk di kursi putar kulit hitam kesayangannya ketika pintu ruangannya terbuka pelan.“Masih pagi, Ardi. Kamu sudah bawa tumpukan dokumen aja,” ucap Liam setengah malas ketika melihat Ardi—sahabat sekaligus rekan kerjanya—muncul sambil menenteng map tebal berisi berkas-berkas yang sepertinya akan menyita banyak waktu.Ardi menyeringai sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Liam. “Pak Bos udah nanya dan harus segera konfirmasi ke kamu. Kayaknya dia mau mempercepat progresnya karena duitnya gede. Proyek luar negeri yang kemarin itu,” jelasnya lalu menjatuhkan diri ke sofa di sudut ruangan dan menyilangkan kaki dengan santai.Liam menghela napas lalu mulai membuka halaman demi halaman berkas tersebut. Matanya menelusuri angka dan paragraf panjang dengan ekspresi serius.“Istrimu masi
“Nggak juga. Aku hanya bicara fakta,” ucap Liam pelan dan matanya tak lepas dari wajah Nala yang kini terlihat memerah karena kesal.Wajah itu—yang dulu dia kira anggun dan kuat—kini hanya tampak penuh tuntutan dan keluhan.Tatapan Nala menyala marah, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.Bibirnya terkatup rapat dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya naik turun menahan emosi yang jelas sudah memuncak.Dengan langkah cepat dan berat, Nala berbalik lalu berjalan menuju kamar mandi. Suara pintu kamar mandi yang ditutup sedikit keras menggema di seisi kamar, namun Liam sama sekali tidak bergeming.Liam hanya menggeleng pelan, lalu menghela napas panjang seakan baru saja lolos dari medan pertempuran emosional.Dia meraih ponselnya di meja samping ranjang dan menyalakan layar. Sebuah pesan masuk dari Evi masih menyala di notifikasi.Evi: Terima kasih, Pak.Liam menatap pesan singkat itu. Ada se
Nala beranjak dari duduknya dengan gerakan cepat. Tumit sepatunya menghentak lantai keras, menciptakan bunyi nyaring yang membuat Evi refleks menegakkan tubuhnya.Tatapan dingin Nala menusuk wajah Evi seperti belati. Matanya menyipit penuh amarah, dan napasnya terdengar berat.“Kamu minta uang? Yang benar saja, Evi?!” Suaranya meninggi dan menggelegar di ruang tamu yang tadinya sunyi.“Bahkan kamu dapat informasi soal Liam ada di hotel aja dari aku. Dan kamu minta uang? Apa kamu gila, hah?!”Pekikan itu menghantam telinga Evi seperti tamparan. Tubuhnya langsung menciut. Bahunya menguncup, dan kepala tertunduk rendah. Matanya menatap lantai, nyaris tak sanggup mengangkat wajah.“Ma-maaf, Bu. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu saya. Dan Ibu juga sudah menjanjik—”“Menjanjikan apa?!” Nala memotong dengan tajam dan matanya kini melebar.“Aku tidak pernah menjanjikan apa pun ke