Home / Romansa / Terjebak Gairah Panas Majikanku / Bab 3: Sesuatu yang Mengganjal

Share

Bab 3: Sesuatu yang Mengganjal

last update Last Updated: 2025-06-29 13:39:41

Dua hari berlalu sejak Evi menjadi pembantu. 

Selama dua hari ini, Liam lebih banyak menghindar dari Evi. Ia sengaja bekerja lembur karena kejadian yang membuatnya sedikit malu itu. Selain itu, ia juga khawatir pikiran liarnya kembali menguasai tiap kali berdekatan, atau bahkan hanya melihat tubuh molek pembantunya itu.

Beruntung, pikir Liam, malam ini Nala akhirnya pulang. Ia bisa menagih janji sang istri. Menyalurkan hasratnya yang terpendam.

“Aku lelah, Liam. Besok pagi saja, ya?” hindar Nala.

Padahal Liam sudah semangat. Hasratnya sudah mulai bangkit tepat ketika mencium aroma segar nan lembut usai Nala mandi.

Namun kali ini, Liam tidak ingin lagi kehilangan kesempatan. Ia singkirkan dulu egonya sebagai laki-laki, demi kepuasan batin yang dirindukannya.

“Kamu tidur saja, seperti biasa. Aku akan ‘bekerja’ sendiri.” 

Ia memberikan kecupan-kecupan kecil di pundak Nala. Deru napasnya sudah memburu, dengan mata yang berkabut.

“Bisakah kamu tidak melulu berpikir tentang seks dan seks, Liam?!” 

Hal tidak terduga terjadi. 

Tubuh Liam justru didorong dengan kasar oleh Nala sampai pria itu nyaris tersungkur dari ranjang. Pria itu hendak mengeluarkan suara, tapi suara tinggi Nala lebih dulu menyambar lagi. 

“Aku lelah, dan aku ingin istirahat! Jadi, jangan ganggu aku lagi!” ketus wanita itu, kemudian menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut.

Tatapan kemarahan, kekecewaan tampak di wajah Liam. Egonya yang sudah ia turunkan, kini jatuh berserakan—terinjak berkeping-keping oleh penolakan, juga hardikan sang istri.

Tersinggung dengan penolakan itu, Liam pun keluar dari kamar dengan raut wajah penuh amarah.

Ia menuju dapur, berniat mengambil air dingin untuk meredakan rasa panas di dada. 

Saat Liam nyaris sampai di dapur, ia melihat Evi yang juga berada di sana.

“Belum tidur?” 

Tubuh Evi berjengit. Suara bariton Liam mengagetkannya, sampai membuat wanita itu tersedak.

“Uhuk!” Air yang masih belum ditelan Evi pun menyembur dan membasahi Liam. “B-Bapak! Maaf, saya tidak sengaja!”

Evi panik bukan main. Ia menatap Liam yang sudah memejamkan mata, dengan rahang mengetat.

Buru-buru, wanita itu pun menaruh gelasnya dan mengambil beberapa lembar tisu. Ia mengeringkan wajah dan badan Liam yang basah karenanya.

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud begitu.” Sambil menekan-nekan gumpalan tisu, Evi terus berbicara.

Di hadapannya, Liam terpaku merasakan sentuhan dan tekanan yang diberikan Evi.

Hasratnya yang tadi padam, kini perlahan bangkit lagi.

“Pak, Bapak jangan pecat saya, ya. Saya—”

“Kalau kamu terus menyentuhku seperti itu,” Liam membuka mata. Suaranya terdengar serak dan dalam, dengan pandangan mata menusuk. “Aku tidak akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi selanjutnya.”

Evi terperangah. Cekalan tangan Liam padanya membuat ia justru tidak bisa berkutik.

“M-maksud Bapak?”

Saat Evi mengerjap, saat itulah ia baru menyadari jika tangannya sudah lancang menyentuh dada Liam yang telanjang. 

Sontak, Evi segera menarik tangannya. Namun, Liam tidak membiarkan hal itu menjadi mudah. 

“Kamu harus bertanggung jawab!” titah Liam, masih dengan suara rendahnya. “Layani aku.” 

Evi yang sudah panik, seketika membelalak mendengar kata ‘melayani’ yang keluar dari mulut Liam. Bayangan kejadian dua hari yang lalu melintas, membuat sekujur tubuh Evi merinding.

“Jangan macam-macam, Pak!” seru Evi panik. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada, berusaha melindungi dirinya sendiri. 

Sementara Liam menatapnya dengan dahi mengerut, lalu tersadar betapa ambigunya ucapan barusan. 

Ia lantas berdehem pelan, kemudian melirik Evi yang tampak tegang. 

“Kamu mikir apa?” ujar Liam. “Buatkan aku kopi!” 

Setelah mengatakan itu, Liam melangkah menuju teras belakang. 

Sedangkan Evi masih mematung di tempatnya. Ia memandang punggung Liam yang menjauh.

“Kenapa aku deg-degan?” gumamnya masih menatap sosok Liam dari belakang. “Aku sudah berpikir yang tidak-tidak. Astaga!” 

Evi menggeleng-gelengkan kepalanya, membuang pikiran kotor yang tiba-tiba merasuki dirinya. 

Secangkir kopi panas tersaji lima menit kemudian. Evi membawanya menuju Liam yang terlihat sedang melamun.

Niat kabur usai menaruh cangkir kopi di meja gagal saat lagi-lagi tangannya dicekal. Tubuh Evi limbung.

“Akh!” Ia memejamkan mata, mengira tubuhnya akan membentur lantai yang dingin. Siapa sangka, ia justru terjatuh di atas pangkuan Liam. “M-maaf, Pak.”

“Kamu sepertinya terus mengujiku.” Suara Liam terdengar nyaris seperti geraman. “Apa peringatanku tadi tidak cukup membuatmu berhati-hati?” bisik Liam di telinga Evi.

Sekujur tubuh Evi meremang. Napas Liam yang hangat terasa menggelitiknya hingga menimbulkan rasa aneh yang belum pernah ia rasakan.

“P-Pak, lepas. Jangan begini. Kalau nanti Bu Nala lihat, dia bisa jadi salah paham.” 

Wanita itu mencoba memberontak. Akan tetapi, kekarnya badan Liam yang membelit tubuhnya membuat usaha Evi sia-sia.

Gerakan Evi yang tak terkontrol justru membuat Liam semakin menggila.

“Dia tidak akan tahu. Selama kamu diam.” 

Evi merasakan hidung Liam menempel pada lehernya, membuat tubuhnya semakin bergetar. Keringat sebiji jagung mulai membasahi di pelipisnya.

“Pak Liam….” Suara gadis itu semakin mengecil, lalu menghilang seiring tangan Liam yang mulai bergerak ke atas. Nyaris menyentuh dadanya.

“Katakan, apa kamu menikmati sentuhanku?” bisik Liam di sela-sela jarinya yang terus merangkak naik.

Laki-laki itu sekarang sudah benar-benar dikuasai gairah.

Evi tahu, sebab dia bisa merasakan bukti nyata bangkitnya gairah Liam yang luar biasa. Di bawah sana, Evi bisa merasakan junior Liam membengkak. Terasa hangat, menekan bokongnya.

“S-saya—ahh!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (10)
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Nala jangan salahkan liam klo dia main dibelakang toh kamu yg gak melayani dia
goodnovel comment avatar
agustinius hernando
Nala sudah menolak terus jangan jangan sudah dengan Boss nya
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
sibuk berkarier bukan berarti harus menolak setiap suaminya ingin bercinta. suami mi bisa bisa mencari kepuasan di luar sana Nala
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Hari Pernikahan - Tamat

    Tiga bulan kemudian.Pagi itu langit tampak cerah. Sinar matahari menembus tirai putih kamar Selly, membuat bayangan halus menari di dinding.Udara terasa segar, dengan aroma bunga melati yang menguar dari vas kecil di meja rias. Hari itu, Selly akan menikah.Di depan cermin, dia menatap pantulan dirinya sendiri. Rambutnya ditata sederhana dengan sanggul rendah, diselipkan beberapa bunga kecil berwarna putih gading.Gaun renda berwarna krem lembut membungkus tubuhnya dengan elegan—tidak berlebihan, tapi indah dengan caranya sendiri.Evi berdiri di belakangnya, menatap adiknya lewat pantulan kaca sambil menahan air mata. “Kamu cantik banget, Sel,” bisiknya lirih.Selly menoleh, tersenyum kecil. “Mbak, jangan nangis duluan, dong,” ucapnya mencoba menertawakan suasana yang tiba-tiba terasa haru.Evi menggeleng pelan sambil memeluk pundaknya dari belakang. “Aku hanya nggak nyangka waktu berlalu secepat ini. Rasanya baru kemarin kamu main di halaman sambil bawa boneka, sekarang sudah mau j

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Candaan Kecil untuk Calon Pengantin

    Malam itu, rumah keluarga Liam terasa lebih hangat dari biasanya. Aroma teh melati yang baru saja diseduh oleh Evi menyebar ke seluruh ruang tamu, berpadu dengan wangi kue cinnamon yang masih tersisa di atas meja.Di luar, gerimis turun pelan menciptakan bunyi lembut di jendela kaca besar yang menghadap ke halaman.Ardi dan Selly duduk bersebelahan di sofa panjang, sementara Liam dan Evi di seberang mereka. Di meja, dua cangkir teh mengepul, ditemani beberapa potongan brownies yang masih tersisa separuh.Evi menatap keduanya dengan senyum lebar yang sulit disembunyikan. “Aku masih nggak percaya, loh. Adikku yang dulu suka nangis kalau gagal bikin kue, sekarang udah dilamar,” katanya sambil terkekeh lembut.Selly yang duduk di sebelah Ardi spontan menunduk malu. “Mbak, jangan gitu, malu ah,” ujarnya pelan, pipinya sudah berwarna merah muda.Ardi tertawa kecil melihat wajah calon istrinya itu. “Dia kelihatan malu, tapi waktu aku ngelamar, nangisnya sampai aku bingung mau ngapain,” selor

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Will You Marry Me?

    Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam.Di sebuah restoran di lantai atas hotel tempat Ardi biasa menginap ketika lembur proyek luar kota, suasana terasa begitu berbeda.Tak seperti biasanya yang ramai dengan percakapan bisnis, malam ini ruangan itu hanya diisi oleh denting lembut piano dan alunan musik romantis yang mengalun dari sudut ruangan.Ardi berdiri di dekat meja yang sudah dia pesan khusus. Taplak putih, bunga mawar merah muda di tengah meja, dan dua lilin kecil yang menyala redup hingga membuat suasananya begitu hangat dan intim.Dia tampak rapi dengan kemeja abu-abu tua yang dipadukan dengan jas hitam. Rambutnya sedikit disisir ke belakang, dan senyum gugup sesekali muncul di bibirnya.Di dalam sakunya, kotak kecil berwarna biru tua terasa seperti beban sekaligus harapan.Cincin itu sudah dia siapkan sejak seminggu lalu, tapi belum pernah ada waktu dan keberanian untuk memberikannya. Kini, semua yang pernah dia tunda akan dia ucapkan malam ini.Beberapa menit kemudian, pin

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Setidaknya Kini Aku Lega

    “Kenapa kamu tidak memberitahuku kalau kamu mau melamar Selly?”Nada suara Liam terdengar datar, tapi jelas ada sedikit ketegasan di dalamnya. Ia bersandar di kusen pintu ruang kerja Ardi dengan kedua tangan terlipat di dada.Pandangannya lurus menatap pria yang kini tengah menunduk di balik meja kerjanya.Ruangan itu dipenuhi dengan aroma kopi dan kertas desain yang baru saja dicetak—khas ruang kerja Ardi yang selalu tampak berantakan tapi penuh ide. Komputer masih menyala, memperlihatkan sketsa rancangan bangunan di layar.Ardi mengangkat wajahnya perlahan, lalu menatap Liam dengan senyum cengiran khasnya.“Aku cuma nanya doang ke Selly,” ujarnya sambil menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. “Kalau nanti aku melamar dia, Selly bakal nerima apa nggak. Udah, gitu doang, Liam. Bukan melamar beneran.”Liam menaikkan sebelah alisnya, matanya menyipit sedikit. Ia lalu berjalan perlahan masuk ke ruangan itu dan menatap Ardi seolah mencoba membaca kebohongan di wajahnya.“Oh? Berarti k

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Memberi Restu

    “Melamar?” ulang Liam dengan mata melotot dan mulut menganga lebar, hampir saja nasi di mulutnya tumpah keluar.Suara sendok yang tadi beradu dengan piring kini berhenti, menyisakan keheningan singkat di ruang makan yang biasanya penuh tawa.Malam itu, mereka bertiga duduk di meja makan yang hangat diterangi lampu gantung kekuningan.Aroma sup ayam buatan Evi bercampur dengan wangi sambal terasi yang baru diulek, menyelimuti ruangan kecil mereka.Evi baru saja menjatuhkan “bom” kecil di tengah makan malam—bahwa Ardi, rekan kerja sekaligus sahabat Liam, baru saja melamar adiknya, Selly.Liam masih belum sepenuhnya percaya. “Tunggu … apa?” ujarnya lagi, kali ini lebih pelan, seolah butuh waktu mencerna informasi itu. Matanya kemudian beralih ke arah Selly yang duduk di hadapannya.Selly hanya bisa menunduk, memainkan ujung sendok di pinggir piringnya. “Iya, Kak. Sebelum berangkat ke kantor

  • Terjebak Gairah Panas Majikanku   Meminta Izin pada Evi

    “Mbak, ada yang ingin aku bicarakan dengan Mbak. Soal Mas Ardi,” ucap Selly perlahan sambil melangkah masuk ke dapur.Aroma bawang putih yang tengah ditumis memenuhi ruangan, membuat suasana rumah sore itu terasa hangat dan tenang. Namun, suara Selly terdengar sedikit bergetar, seolah ada sesuatu yang berat di hatinya.Evi, yang sedang mengaduk sayur di wajan, menoleh cepat. Alisnya bertaut, sementara sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil yang penuh rasa ingin tahu.“Soal Mas Ardi?” tanyanya, menaruh spatula di pinggir kompor. “Kenapa lagi dengan Mas Ardi, Sel? Bukannya dia sudah mulai masuk kerja lagi, ya?”Selly mengangguk pelan. Ujung jarinya memainkan ujung meja dapur, seolah mencari keberanian untuk melanjutkan. “Iya, Mbak. Bukan soal itu, sih. Tapi, soal dia ingin melamarku.”Suara lembut itu membuat Evi spontan menaikkan alisnya tinggi-tinggi.“Lamaran?” ulangnya ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status