“Bukti itu tidak benar, Liam!” suara Nala pecah, keras dan getir.Tangannya mengepal di sisi tubuh, kukunya menekan telapak tangan hingga memutih.“Kamu memfitnahku! Kamu membuat semuanya seolah-olah aku perempuan hina yang mengkhianati rumah tanggaku sendiri!”Liam terkekeh sinis, nada tawa yang tidak benar-benar tawa. “Memfitnah?” suaranya rendah, tetapi penuh tekanan.“Nala, jangan anggap aku sebodoh itu. Semua bukti yang ada bukan karangan. Semua foto, rekaman, bahkan jejak digital yang kamu tinggalkan, semuanya nyata.”Tampaknya Liam sudah dibuat jengkel oleh Nala. Wanita itu terus menerus menganggap dirinya yang paling tersakiti setelah tahu Liam diam-diam selingkuh dengan Evi.Wajah Nala berubah pucat seketika, namun cepat-cepat dia menggeleng dengan keras, seolah ingin menolak kenyataan yang ditamparkan tepat di wajahnya.“Tidak! Itu semua rekayasa! Kamu sengaja mencari jalan untuk menghancurkan aku! Kamu ingin membuatku tampak bersalah supaya semua orang membenarkan keputusan
Pagi itu, kantor Liam sudah dipenuhi dengan hiruk pikuk kesibukan.Para karyawan bergegas dengan tumpukan berkas, suara telepon berdering, dan langkah tergesa-gesa dari satu ruangan ke ruangan lain.Namun, kehebohan tiba-tiba tercipta ketika pintu utama terbuka dengan kasar.Nala masuk dengan langkah penuh emosi, wajahnya merah padam, dan mata liar mencari sosok Liam.Ia tidak peduli pada tatapan terkejut para karyawan yang berhenti bekerja, membisu, dan berbisik-bisik di balik meja.“Mana suamiku?!” serunya lantang dan membuat suasana kantor yang semula riuh seketika hening. “Mana laki-laki tidak tahu diri itu?!”Liam yang baru saja keluar dari ruang meeting bersama dua stafnya langsung menghentikan langkahnya.Rahangnya mengeras begitu melihat Nala yang berteriak sembarangan di tempat kerja. Tatapannya menusuk, dingin, dan penuh amarah yang berusaha dia kendalikan.“Nala.” Liam mendekat dan berusaha menahan diri. “Kamu sudah gila datang ke sini dan membuat keributan di depan semua o
“Argh! Sialan! Bajingan! Berengsek! Gila kamu, Liam!”Ruang tamu rumah itu kembali dihancurkan oleh Nala. Foto pernikahan yang retak tergeletak di lantai, vas bunga pecah dengan air yang membasahi karpet, dan sofa besar miring tak pada tempatnya.Nala berdiri di tengah ruangan, wajahnya merah padam, rambutnya berantakan, napasnya memburu seolah baru saja bertarung habis-habisan.Pintu terbuka keras. Liam masuk dengan langkah lebar, matanya menatap liar ke arah Nala.“Cukup, Nala!” suaranya berat, penuh amarah yang ditahan. “Kamu sudah membuat rumah ini seperti medan perang!”Nala mendengus dan menoleh dengan sorot mata penuh kebencian.“Bagus! Memang itulah yang kamu inginkan, kan? Kamu hancurkan rumah tangga kita, lalu sekarang kamu pura-pura jadi korban?!”“Korban?” Liam melangkah maju menatap sengit wajah Nala.“Jangan memutarbalikkan fakta, Nala! Kamu yang berselingkuh, kamu yang menghancurkan segalanya. Dan sekarang kamu menuduhku macam-macam?!”Nala terkekeh, tapi suaranya terde
Pintu rumah terbuka dengan hentakan keras.Liam baru saja turun dari mobil, wajahnya suram setelah menerima kabar dari Ardi tentang Nala yang kembali ke rumah.Suasana sore itu begitu mencekam, udara yang seharusnya sejuk justru terasa panas, dipenuhi amarah yang sudah membara.Begitu langkah Liam masuk, suara lantang menyambar telinganya.“LIAM!!!”Nala berdiri di ruang tengah dengan wajah merah padam, matanya membelalak penuh kebencian.Rambutnya kusut, napasnya memburu seakan baru saja berlari mengejar setan.Tangannya memegang sesuatu—celana dalam pria—yang langsung dilemparkan ke arah Liam begitu pria itu melangkah lebih dekat.“APA INI, HAH?! JAWAB, LIAM!” Nala menjerit, suaranya menggema ke seluruh ruangan. “Jangan coba-coba bilang ini bukan punyamu! Aku hapal setiap helai pakaianmu!”Liam tertegun. Benda itu jatuh di kakinya. Dadanya terasa diremas, bukan karena malu, tapi karena tahu apa yang sedang dipikirkan istrinya.“Nala ….” Liam menghela napasnya dengan panjang. “Aku ak
Suara pintu rumah berderit keras saat Nala membukanya.Wajahnya masih panas oleh amarah setelah pertengkarannya dengan Sarah. Napasnya memburu, dan tangannya mengepal kuat.Begitu melangkah masuk, dia langsung berteriak memanggil nama Evi.“Evi! Hei, Evi! Keluar kamu sekarang juga!” suaranya bergema ke seluruh ruangan.Tidak ada jawaban sedikit pun dari wanita itu. Rumah itu masih sepi dan hanya suara langkah kakinya sendiri yang terdengar menghentak lantai.“Jangan pura-pura nggak ada, Evi!” Nala menjerit lagi, kali ini lebih keras. “Aku tahu kamu di sini! Keluar sekarang juga!”Tetap sunyi. Nala mendengus kasar lalu bergegas menuju kamar Evi.Pintu kamar itu terbuka, tetapi di dalamnya kosong.Dia kemudian masuk ke dalam, matanya liar menyisir sekeliling ruangan. Tempat tidur rapi, meja kecil bersih. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Evi.“Ke mana dia?!” geramnya. “Sudah dua hari tidak pulang, tidak mungkin kalau dia pergi ke kampungnya padahal aku belum kasih dia cuti! Enak saja main
Langkah Nala terhuyung cepat ketika dia sampai di halaman rumah Sarah.Wajahnya pucat karena amarah, matanya merah menyala, dan jemarinya mengepal erat surat cerai yang tadi sempat dia bawa.Tanpa basa-basi, dia menekan bel berulang-ulang, hingga pintu terbuka dengan suara engsel berderit.Sarah muncul dengan pakaian rumah sederhana, rambutnya tergerai rapi, wajahnya tenang. Namun, senyum yang tersungging di bibirnya bukanlah senyum ramah, melainkan sinis, penuh ejekan.“Mau apa kamu kemari, Nala?” tanya Sarah dingin dan menatapnya dari ujung kepala hingga kaki.Nala langsung melangkah masuk tanpa izin. “Jangan sok polos kamu, Sarah!” suaranya meninggi penuh amarah.“Kamu pikir aku tidak tahu?! Semua ini gara-gara kamu! Kamu goda Liam sampai dia tega gugat cerai aku!”Sarah terkekeh pelan lalu melipat tangannya di dadanya. “Astaga, Nala. Jadi, sekarang kamu main tuduh aja, ya? Lucu sekali kamu ini.”“Jangan pura-pura di hadapanku, Sarah!” Nala menunjuk wajah Sarah dengan tangan berget